Inspirasi Ramadan Hamdan Juhannis
Bumi Kebermaknaan (7): Hiduplah Selagi Masih Hidup, Bagai Ikan di Tengah Air Asin yang Tetap Tawar
Orang yang tidak punya daya saring sejatinya sudah kehilangan identitas, jati diri,atau martabat.
Oleh:
Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Kali ini masih tentang ikan.
Saya berbincang dengan seorang kakak senior yang ahli perikanan.
Dia tiba-tiba menyentak saya tentang daya tarik kehidupan ikan, tentu karena terkait dengan ulasan saya tentang memancing.
Dia bertanya kepada saya mengapa ikan laut tidak asin?
Bukankah leluhurnya sejak awal hidup di laut, dan seluruh hidupnya berada di laut?
Tentu sebuah pertanyaan yang menarik untuk digali, dan jadinya saya tanya balik.
Menurutnya ternyata ikan memiliki kemampuan untuk mengatur tekanan cairan dalam tubuhnya.
Dia menyebut istilahnya tapi saya sengaja lupa karena disamping bukan keilmuan saya, akan memperumit pikiran saya.
Lanjut, menurutnya, cairan tubuh ikan lebih encer dari air laut, sehingga ketika ia lepaskan keluar, air laut akan masuk ke dalam cairan itu dan tidak menggarami tubuh ikan.
Ikan rupanya memainkan bagaimana irama mengeluarkan cairan itu untuk tetap membuat dirinya hidup, karena kapan kehabisan cairan, selnya juga akan mati.
Dan saat ikan sudah mati di laut, tubuhnya berubah menjadi rasa asin.
Bukankah ikan itu sedikit saja kalau sudah mati dan sudah dijemur menjadi asin.
Sedikit saja tersentuh garam dapur pasti terasa asin.
Yang menarik dari penjelasan senior di atas, bahwa ternyata setiap makhluk hidup harus memiliki jati diri saat berhadapan dengan lingkungan di mana mereka hidup.
Ketika ingin dikatakan hidup, harus memiliki kemampuan untuk menyaring apa yang akan memberi pengaruh buruk dalam hidupnya.
Pada kasus ikan, saringan itulah yang membuat dirinya hidup.
Saringan cairan itulah membuat dirinya menggeliat di tengah garamnya air laut.
Saringan cairan itulah membuatnya beridentitas sebagai makhluk hidup.
Ketika tidak bisa lagi menyaring air asin, itu pertanda kematian bagi dirinya.
Samalah dalam kehidupan nyata manusia.
Manusia harus mampu melakukan saringan terhadap pengaruh yang masuk dalam dirinya untuk tetap dianggap hidup.
Dia harus mampu menyaring sesuatu yang bisa mencoreng nilai kemanusiaannya.
Orang yang hidupnya tidak mampu melakukan penyaringan, diombang-ambingkan oleh perubahan, ibaratnya dia sudah mati, mati dalam kehidupan.
Orang yang tidak punya daya saring sejatinya sudah kehilangan identitas, jati diri, atau martabat.
Anda memang menghitung orang seperti itu?
Tentunya tidak, karena anda menganggapnya dia tidak ada secara spirit, meskipun dirinya masih berwujud.
Kehadirannya, ibarat ikan terapung mati terombang ambing dan sudah tergarami oleh asinnya lingkungan kehidupan.
Yah, kita rupanya hanya sibuk makan ikan, tapi lupa belajar dari kehidupannya.
Apa pelajarannya? Hiduplah, ketika masih hidup!(*)
DISCLAIMER:
Dalam Ramadan 1442 H/2021 M ini, Prof Dr Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddin, berbagi tulisan Inspirasi Ramadan 2021 dengan tema Bumi Kebermaknaan dan dimuat di Tribun Timur cetak dan di Tribun-Timur.com