Presiden Malioboro
INNALILLAHI Presiden Malioboro Umbu Landu Paranggi Meninggal Dunia, Ini Profil dan Kumpulan Puisinya
Umbu Landu Paranggi, penyair yang dijuluki sebagai Presiden Malioboro sekaligus guru bagi Emha Ainun Nadjib itu meninggal dunia pukul 03.55 WITA.
Umbu merupakan penyair sekaligus guru bagi para penyair muda pada zamannya, antara lain Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Eko Tunas, Linus Suryadi AG, dan lain-lain.
Pada tahun 2020, ia mendapatkan penghargaan dari Festival Bali Jani di bidang sastra.
Dia pernah dipercaya mengasuh rubrik puisi dan sasatra di Pelopor Yogya, dan rubrik Apresiasi di Bali Post.
Cerita tentang Umbu pernah ditulis Emha Ainun Nadjib di laman caknun.com miliknya.
Bagaimana Cak Nun pertama bertemu dengan Umbu dan belajar tentang apa yang disebutnya sebagai Kehidupan Puisi.
Pendidikan:
- SMA BOPKRI Yogyakarta.
- Sarjana Sosiatri, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
- Sarjana Hukum, Universitas Janabadra, Yogyakarta.
Kumpulan Puisi Umbu Landu Paranggi
Berikut kumpulan puisi Umbu Landu Paranggi atau Presiden Malioboro dilansir Tribun-timur.com dari http://umbulanduparanggi.blogspot.com/:
- Ibunda Tercinta
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan
berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba
di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya
(1965)
Sumber : Tonggak 3 : Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 244). Puisi ini diambil dari Manifes, Antologi Puisi 9 Penyair Yogya, Yogyakarta, 1968.
- Percakapan Selat
Pantai berkabut di sini, makin berkisah dalam tatapan
sepi yang lalu dingin gumam terbantun di buritan
juluran lidah ombak di bawah kerjap mata, menggoda
di mana-mana, di mana-mana menghadang cakrawala
Laut bersuara di sisi, makin berbenturan dalam kenangan
rusuh yang sampai, gemas resah terhempas di haluan
pusaran angin di atas geladak, bersabung menderu
di mana-mana, di mana-mana, mengepung dendam rindu
Menggaris batas jaga dan mimpikah cakrawala itu
mengarungi perjalanan rahasia cintakah penumpang itu
namun membujuk jua langkah, pantai, mega, lalu burung-burung
Mungkin sedia yang masuk dalam sarang dendam rindu
saat langit luputkan cuaca dan laut siap pasang
saat pulau-pulau lengkap berbisik, saat haru mutlak biru