Tribun Sulsel
APBD 2020 Sulsel Defisit Rp 620 M, Andi Sudirman: Karena Kurang Bayar Berujung Utang
Plt Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman mengikuti Rapat Paripurna, menyampaikan nota pengantar LKPJ
Penulis: Muhammad Fadhly Ali | Editor: Suryana Anas
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Plt Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman mengikuti Rapat Paripurna, menyampaikan nota pengantar Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Tahun Anggaran (TA) 2020, di Kantor Gubernur Sulsel Jl Urip Sumoharjo Makassar, Selasa (30/3/2021).
Dalam laporannya, realisasi Pendapatan Daerah TA 2020 sekitar Rp 9,36 triliun. Sementara realisasi Belanja Daerah sekitar Rp 9,98 triliun. Artinya, pada APBD TA 2020 Sulsel defisit sekitar Rp 620 miliar.
Andi Sudirman mengatakan, realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Selatan sampai dengan akhir 2020 Rp 9,36 triliun atau 95,31 persen dari target yang ditetapkan pada Perubahan APBD TA 2020 Rp 9,82 triliun.
"Pendapatan daerah tersebut bersumber dari masing-masing jenis penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), DanaTransfer, Dana Perimbangan dan Lain-Lain Pendapatan yang Sah," katanya.
Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dicapai Rp 3,89 triliun atau 94,35 persen dari target yang ditetapkan Rp 4,12 triliun.
Pendapatan Asli Daerah bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi dan Hasil Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan serta lain-lain PAD yang sah.
Realisasi kelompok penerimaan Dana Transfer dari Pemerintah Pusat mencapai Rp 5,39 triliun atau 97,10 persen dari target yang ditetapkan Rp 5,56 triliun.
Pendapatan transfer tersebut bersumber dari masing-masing jenis yaitu, transfer dana perimbangan, jumlah Pendapatan Transfer Pusat-Lainnya.
Realisasi Pendapatan Transfer Dana Perimbangan Rp 5,39 triliun atau 97,09 persen dari Rp 5,55 triliun, Realisasi Transfer Pemerintah Pusat Lainnya Rp 4,5 miliar atau 100 persen dari target yang ditetapkan Rp 4,5 miliar yang merupakan Dana Penyesuaian dari pemerintah pusat.
Realisasi penerimaan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Rp 75,52 miliar atau 53,30 persen dari target yang ditetapkan Rp 141,71 miliar yang merupakan pembayaran dana hibah dari pemerintah pusat.
"Sementara untuk realisasi Belanja Daerah sampai dengan akhir TA 2020 Rp 9,98 triliun atau 88,87 persen dari target yang ditetapkan Rp 11,23 triliun," katanya.
Detailnya, realisasi Belanja Operasional Rp 6,18 triliun atau 90,02 persen dari target yang ditetapkan Rp 6,86 triliun. Realisasi Belanja Modal Rp 1,19 triliun atau 73,09 persen dari target yang ditetapkan Rp 1,63 triliun.
Sementara itu realisasi Transfer Bagi Hasil Rp 1,53 triliun atau 94,34 persen dari target yang ditetapkan Rp 1,6 triliun, kemudian Realisasi Belanja Tak terduga Rp 267,76 miliar atau 89,26 persen dari target yang ditetapkan Rp 300 miliar.
Untuk transfer bantuan keuangan terealisasi Rp 805,33 miliar atau 99,86 persen dari target sebesar Rp. 806,47 miliar.
Realisasi pembiayaan daerah Rp 1,009 triliun atau 71,53 persen dari target yang ditetapkan Rp 1,410 triliun, terdiri dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran sebelumnya (SILPA) sejumlah Rp 72,06 miliar.
Dengan uraian Rp 3,17 miliar berada di Kas Daerah, Rp 1,60 miliar pada Kas Bendahara Pengeluaran, Rp 28,39 miliar pada Kas Bendahara BLUD, dan Rp 38,90 pada Kas Bendahara BOS, ditambahkan dengan sisa Penerimaan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pinjaman Dalam Negeri Lembaga Keuangan Bukan Bank sebesar Rp 937,14 miliar yang belum terserap.
Laporan realisasi APBD dalam dokumen LKPJ ini merupakan gambaran capaian angka unaudited.
"Realisasi atau angka kongkrit (audited) baru dapat diketahui secara real, setelah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2020 dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan," jelas Andi Sudirman.
Di samping itu terdapat kesenjangan antara realisasi keuangan dan realisasi fisik di beberapa Organisasi Perangkat Daerah, di mana realisasi fisik lebih besar dibandingkan dengan realisasi keuangan.
"Hal ini disebabkan oleh efisiensi pembelanjaan serta kurang bayar yang kemudian menjadi kewajiban utang terhadap pihak ketiga, baik yang telah diakui maupun yang belum diakui dalam konteks Sistem Akuntansi Pemerintah," katanya. (*)