Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Koruptor Bansor

Hukuman Mati Juliari Batubara & Pokrol Bambu,Budayawan Sulsel 'Pasti Seru Biar Semua Sibuk Menunggu'

Amran Alimuddin, jika suatu kasus hukum dikomentari dan dinilai oleh yang bukan ahlinya, bukan hakimnya, maka itu gaya pokrol. bambu. Tapi pasti seru

Editor: AS Kambie
handover
Eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Praktisi hukum asal Sulsel Amran Alimuddin tidak sepakat jika hukuman mati untuk Edhy Prabowo dan Juliari Batubara sudah dibicarakan. Sementara kasus yang membeit Edhy Prabowo dan Juliari Batubara masih proses penyidikan.

“Tahapan masih penyidikan sudah bicara jenis hukuman, ini adalah dalih atau kesimpulan yang premateur,” tegas Amran Alimuddin.

Menurut Amran Alimuddin, hakim senior saja, jika dia bukan majelis hakim yang menangani suatu perkara, maka ia dianggap tidak tahu apa-apa atas suatu perkara.

“Kendati hakim senior itu membaca di koran atau dengar juga di radio dan nonton di televisi tentang peristiwa atau kasusnya. Dia tetap dianggap tidak tahu apa-apa atas suatu perkara jika bukan dia yang tangani kasus tersebut,” jelas Amran Alimuddin.

“Lalu bagaimana kita sebagai orang awam tapi dengan mudah berkesimpulan pantas dihukum mati,” ujar Amran Alimuddin menambahkan.

Dikatakan Amran Alimuddin, jika suatu kasus tidak pernah lihat berita acaranya, barang buktinya, saksi-saksinya, dan lain-lain, lalu berkomentar setuju atau tidak setuju, maka itu gaya pokrol bambu.

“Hukum itu mirip-mirip pekerjaan dokter, harus melalui diagnosa. Tanpa diagnosa, dokter tidak mampu berkesimpulan atas suatu penyakit,” kata Amran Alimuddin.

“Hukunan mati dikenal, hukuman 2 tahun dikenal, putusan bisa bebas juga dikenal. Tapi itu urusan persidangan. Ini masih penyidikan belum selesai, tapi sudah bicara hukuman mati. Jika cara pandang seperti ini, maka dapat dipastikan masuk sebagai kategori orang awam, tidak tahu apa-apa atas konstruksi peristiwa, yah pokrol bambu,” jelas Amran Alimuddin.

Budayawan asal Sulsel, Moch Hasymi Ibrahim, membayangkan betapa serunya Edhy Prabowo dan Juliari Batubara benar-benar diancam hukuman mati.

“Seru, pasti seru. Biar kita semua sibuk menunggu dan melupakan hal-hal lain,” ujar Moch Hasymi Ibrahim.

Hanya saja, menurut Moch Hasymi Ibrahim, memang harus hati-hati karena salah sedikit, unsur keadilan bisa tidak terpenuhi.

“Apalagi kalau terhukum bukan pelaku tunggal,” kata Moch Hasymi Ibrahim.

Perkembangan Kasus

Kasus korupsi bansos, Juliari Batubara, terus bergulir dan menggelinding. Ketua PDIP Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, Akhmat Suyuti, diperiksa KPK.  Akhmat Suyuti diduga terima uang.

Disebutkan, Akhmat Suyuti diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap pengadaan bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020 pada Kememterian Sosial, Jumat (19/2/2021).

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, dalam pemeriksaan ini, tim penyidik mencecar Akhmat Suyuti mengenai pengembalian sejumlah uang yang diterimanya dari Juliari.

Hanya saja, Ali Fikri tidak merinci kapan pemberian dan pengembalian uang itu.

Termasuk jumlah uang yang dikembalikan dan tujuan Juliari memberikan uang itu.

"Akhmat Suyuti (Ketua DPC PDIP Kab. Kendal) didalami pengetahuannya terkait dengan adanya pengembalian sejumlah uang," kata Ali melalui keterangannya, Jumat (19/2/2021).

Ali Fikri juga tidak menjelaskan lebih jauh sumber uang yang diberikan Juliari kepada Akhmat Suyuti ini.

Ia hanya menyebutkan, pemberian uang itu tidak dilakukan langsung oleh Juliari Batubara, melainkan melalui perantara pihak lain.

"(uang) diduga diterima (Akhmat Suyuti) dari tersangka JPB (Juliari P Batubara melalui perantaraan pihak lain," kata Ali.

Saat ditanya wartawan usai diperiksa, Akhmad Suyuti bungkam.

"Enggak," ucapnya singkat di pelataran Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.

Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan mantan Mensos Juliari Peter Batubara sebagai tersangka penerima suap. Juliari Batubara diduga menerima suap terkait pengadaan barang dan jasa berupa bansos dalam penanganan pandemi Covid-19.

Selain Juliari Batubara, KPK juga menetapkan empat tersangka lainnya.

Empat tersangka itu yakni l Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek bansos Covid-19 di Kemensos.

Kemudian, dua tersangka pemberi suap yakni, Ardian Iskandar Maddanatja alias Ardian Maddanatja yang merupakan Presiden Direktur PT Tiga Pilar Agro Utama atau PT Tigapilar Agro Utama (TPAU/TAU) dengan akronim TIGRA.

Juliari Batubara diduga menerima suap senilai Rp17 miliar dari fee pengadaan bansos sembako untuk masyarakat terdampak Covid-19 di Jabodetabek.

Untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu perpaket bansos.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved