Kajian Wali Wanua
Habib Rizieq Shihab dan FPI Kian Dipermasalahkan,Tokoh Sulsel Nilai FPI NGO Ideal Sederajat Partai
Kondisi Habib Rizieq Shihab hari ini dan FPI imbas dari fobia pada kekuatan NGO yang ideal.FPI sederajat dengan partai, tak perlu FPI jadi partai.
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Situasi yang dihadapi Habib Rizieq Shihab dan FPI sudah diprediksi sebelumnya. kondisi Habib Rizieq Shihab hari ini sudah diperingatkan sedari dulu oleh sejumlah tokoh dan intelektual Sulel. Salah satunya Koordinator Kajian Kawasan Timur Indonesia, AM Sallatu.
Situasi yang dialami FPI dan kondisi Habib Rizieq Shihab hari ini harusnya dijadikan pijakan mengkai plus minus FPI jadi partai.
“Untuk menjawab pertanyaan tentang potensi FPI menjadi Parpol, plus minus FPI jadi partai, dengan perspektif saya, itu adalah pengulangan mengurai lebih jauh ejarah yang sudah salah arah,” ujar AM Sallatu. Penyataan AM Sallatu ini menyambung Kajian Wali Wanua di Group WhatsApp Senter-senter Bella.
“Cermati saja apa yang sudah mampu dilakukan oleh FPI sejak awal kehadirannya. Bahkan demikian potensialnya di bidang keuangan, sehingga rekening FPI diblokir, dan rekening para tokohnya harus diblokir,” jelas AM Sallatu, Rabu (13/1/2021).
Situasi yang dialami ormas seperti FPI dan kondisi Habib Rizieq Shihab hari ini sudah diprediksi AM Sallatu delapan tahun sebelum FPI dideklarasikan di Tangerang, Banten, pada 17 Agustus 1998.
“Banyak yang sudah dilakukan oleh FPI selama ini, tanpa banyak yang tahu bagaimana FPI mengelola sumberdaya yang selama ini mendukungnya. Saya anggap, keberadaan FPI ini adalah sebuah Smart Practice dari prototipe NGO yang memang ideal!” kata AM Sallatu.
Menurutnya, apa yang menimpa FPI dan kondisi Habib Rizieq Shihab hari ini adalah imbas dari fobia pihak tertentu pada kekuatan NGO yang ideal.
“Saya mau flash back sedikit tentang pendapat saya sekitar dua dekade yang lalu. Pertama, saya berharap dan karena itu respek terhadap keberadaan non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop, sekitar 3-4 dekade yang lalu,” kata AM Sallatu.
Saat itu, AM Sallatu masih menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulsel. AM Sallatu, yang berstatus Dosen Fakultas Ekonomi Unhas diangkat menjadi Kepala Bappeda Sulsel oleh Gubernur Sulsel Ahmad Amiruddin yang juga mantan Rektor Unhas.
Sebagai Bappeda, AM Sallatu diberi tanggung jawab memikirkan pembangunan di Sulsel. Untuk mewujudkan tanggung jawab ini, AM Sallatu berinteraksi dengan berbagai elemen masyarakat.
Dalam interakti dan kajian itulah, AM Sallatu menyadari posisi penting non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop.
“Karena itu, saya termasuk mendorong terbentuknya FIK ORNOP (Forum Informasi Komunikasi Ornop) pada awal 1990-an. Dalam perspektif saya, mencermati perkembangan fungsi pemerintahan dan fungsi pembangunan,nasional maupun daerah, saya berkesimpulan bahwa pemerintah dan sektor publik sangat membutuhkan institusi yang berperan sebagai sparing partnernya,” jelas AM Sallatu.
“Mengapa? Karena saya menyadari bahwa kinerja pemerintahan dan sektor publik tidak bisa maksimal tanpa kehadiran non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop. Apalagi saya anggap akan merupakan lapangan pengabdian kaum muda yang energik dan kreatif, dimana dunia pemerintahan dan sektor publik sudah sesak (terbatas yg bisa jadi PNS),” kata AM Sallatu menambahkan.
Karena itu non-governmental organization -NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop, dalam perspektif AM Sallatu bukan hanya sebagai peluang dan kesempatan pengabdian, melainkan memang dibutuhkan oleh masyarakat sebagai kekuatan pengimbang.
Karena kesadaran seperti itulah, AM Sallatu sebagai aparat pemerintah mauoun akademisi menyatakan bersedia membantu dan memfasilitasi non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop sesuai kemampuan dan kapasitas yang dia miliki.
Sayang sekali, AM Sallatu harus memendam kecewa pada kenyataan ketika non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop semakin menjamur.
“Saya kemudian kecewa karena ternyata seolah-olah non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop hanya merupakan jembatan menuju peran-peran politik, bukan justru mengembangkan peran-peran kemasyarakatan sesuai sifat dasar non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop. Bagi saya, ada kesetaraan antara institusi politik dan non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop, bukan satu kelas di bawah Parpol,” jelas AM Sallatu.
Fenomenan akan non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop “merasa perlu naik kelas” itu, juga diamati AM Sallatu pada perspektif perkembangan global.
Dimana non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop, kalau mau menaikkan kelasnya, maka non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop tersebut akan bertransformasi menjadi institusi think tank.
“Artinya, pada saatnya non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop akan sejatinya merupakan pencerminan masyarakat sipil, yang memang telah melembaga dan berpengalaman melakukan fungsi-fungsi pendampingan pada masyarakat. Bahkan lebih jauh akan berfungsi sebagai sparing partner dunia akademik di kampus-kampus, dimana non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop lebih kaya dengan pengalaman empirik dan dunia nyata di sekitarnya,” jelas AM Sallatu.
Dengan spesifikasi yang dimilikinya, lanjut AM Sallatu, non-governmental organization-NGO atau Organisasi non Pemerintah-ornop akan mampu mengembangkan sektor pengetahuan (Knowledge Sector). Sektor pengetahuan inilah yang menjadi salah satu titik lemah dalam perkembangan masyarakat di sekitar kita.
Celakanya, menurut AM Sallatu, pengembangan Sektor pengetahuan itu dianggap merupakan tugas dunia pendidikan tinggi (kampus). Padahal menurutnya, tidak semuanya (kebutuhan pengetahuan) mampu disupply oleh institusi pendidikan tinggi.
“Oleh karena itu, jangan heran sampai detik ini, unsur kampus dan para akademisilah yang dipandang mewakili masyarakat sipil (civil siciety), yang pada kenyataannya tidak juga bisa berfungsi optimal. Apalagi dalam kekuasaan rezim saat ini, mereka bahkan bisa didikte oleh penguasa,” kata AM Sallatu.
Pada akhirnya, AM Sallatu menilai pentingnya wawasan restorasi bila menginginkan kehidupan masyarakat mampu berkembang secara lebih baik ke depan.(*)