Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

opini aswar hasan

Rekonsiliasi Pemerintah dengan FPI Urgen Tapi Pelik, Faksi Cebong dan Faksi Kampret Masih Ngotot!

perkubuan masih begitu kuat dan mengemuka saling klaim kebenaran. Faksi Cebong, faksi kampret, atau faksi Kadrun masih eksis dan ngotot-ngototan

Editor: AS Kambie
Dok Pribadi Aswar Hasan
Dr Aswar Hasan, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Unhas 

Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisip Unhas Makassar

Opini aswar hasan ini dimuat di Tribun Timur cetak edisi Senin, 11 Januari 2021 dengan judul Rekonsiliasi Solusi Pelik. Opini aswar hasan ini mengingatkan, masih ada perkubuan begitu kuat dan jelas mengemuka dalam wujud saling klaim kebenaran. Faksi Cebong, faksi kampret, atau faksi Kadrun masih eksis dan ngotot-ngototan. opini aswar hasan ini mengingatkan pentingnya segera rekonsiliasi pemerintah dengan FPI atau yang sekarang menjadi Front Persatuan Islam

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Bangsa kita saat ini terbelah dalam kepingan agama, ekonomi, politik, dan sosial. Itulah fakta yang senantiasa kita hindari dan pungkiri di tengah asumsi bahwa kita sebagai bangsa baik- baik saja.

Sebut saja misalnya, dalam keterbelahan ekonomi yang merealitakan kesenjangan, difaktakan oleh data BPS (2019) bahwa perbandingan usaha kecil dan menengah dengan usaha dalam skala besar, yaitu 99,99 persen usaha kecil dan menengah dengan tenaga kerja sekitar 117 juta orang berbanding 0,01 persen usaha dalam skala besar tetapi hanya menyerap 3,5 juta tenaga kerja. 1% orang terkaya, menguasai 46% kekayaan penduduk.

Sebuah kesenjangan yang memprihatinkan. Itulah fakta kesenjangan ekonomi yang bisa berimplikasi negatif pada multi sektor.

Secara politik, partai-partai sudah mayoritas berkoalisi dalam lingkaran eksekutif dan  selama ini, lebih sibuk menjadi legitimator  kebijakan pemerintah daripada aspirator suara rakyat yang diwakilinya.

Opini Aswar Hasan di Tribun Timur cetak edisi Senin, 11 Januari 2021.
Opini Aswar Hasan di Tribun Timur cetak edisi Senin, 11 Januari 2021. (dok.tribun)

Telah terjadi polarisasi, terkadang juga dikhotomi antara aspirasi rakyat dengan kepentingan kebijakan elit pemerintah. Keterbelahan kepentingan tersebut, seolah berkesinambungan sesuai kepentingan elit politik dalam dinamika pemerintahan.

Di mana-mana terjadi friksi. Konflik kepentingan pada ujungnya menjadikan rakyat sebagai objek penderita. Ujungnya, terjadi distrust pada sejumlah kebijakan publik, baik yang berskala regional maupun nasional. Fenomena tersebut telah cukup merepotkan elemen pemerintahan dalam mengelola tanah air yang sama kita cintai.

Pada tataran kemasyarakatan, kita pun sedang terbelah. Itu tampak dengan jelas dari diksi dan tema yang mengemuka dalam percakapan di media sosial.

Ada perkubuan yang begitu kuat dan jelas mengemuka dalam wujud saling klaim kebenaran di masing- masing pihak. Faksi cebong dan faksi kampret atau faksi kadrun masih eksis dan saling ngototan. Penampakan perkubuan itu terasa miris dan mengiris rasa cinta kita pada bangsa ini yang sedang tercabik olesanya sendiri

Bersatu dalam Perbedaan

Keterbelahan tersebut rentan menggiring bangsa ini dalam perpecahan yang menggerogoti kekuatan kita sebagai bangsa yang besar.

Perbedaan pada masing-masing pihak yang berlarut-larut, rentan mengarah pada perpecahan. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Itulah bayangan buruk ke depan, jika perbedaan tersebut tidak terkelolah secara bijak. Perlu ada  upaya serius dan tulus tanpa basa basi,  untuk memulai rekonsiliasi kebangsaan secara menyeluruh.

Setidaknya ada 2 (dua) komponen masalah kebangsaan yang urgen untuk direkonsiliasi yaitu; Pertama, masalah Tana Papua. Kedua, rekonsiliasi pemerintah dengan FPI (Front Pembela Islam, sekarang menjadi Front Persatuan Islam) beserta komponen umat penyokongnya, PA 212.

Mengapa menjadi urgen rekonsiliasi pemerintah dengan FPI dan masalah Tanah Papua, karena pengalaman kita dalam berbangsa menunjukkan bahwa tradisi oposisi tidak pernah berkembang dengan  sehat dalam mendukung  tata pemerintahan yang baik serta menguatkan negara secara profesional dan proporsional. 

Oposisi selalu berujung pada saling mematikan posisi, peran dan potensi dalam memperkuat negara yang menguntungkan rakyat. Atau justru berakhir secara sepihak dan diam-diam dalam bargaining yang bersifat pragmatis karena lelah dalam posisi oposisi

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kajili-jili!

 

Kajili-jili!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved