12 Tahun Iwan Dento Menjaga Karst Rammang-rammang
Meski begitu, ia mengatakan tujuannya telah tercapai. Yaitu mengabarkan perjuangannya ke pemerintah pusat.
Penulis: Andi Muhammad Ikhsan WR | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUNMAROS.COM, BONTOA - Iwan Dento hanya panggilan. Nama resminya; Muhammad Ikhwan. Di usia 40 tahun, Iwan Dento mencatat sejarah.
Ia menjadi orang Maros pertama yang masuk nominasi peraih Kalpataru.
Kalpataru merupakan penghargaan lingkungan level nasional dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Pengharagaan ini pertama kali diberikan kepada para pengabdi, perintis, penyelamat dan pembina lingkungan, bersamaan dengan tahun kelahirannya, 1980-an.
Sayangnya, perjuangan Iwan berhenti di 20 besar.
Meski begitu, ia mengatakan tujuannya telah tercapai. Yaitu mengabarkan perjuangannya ke pemerintah pusat.
"Tujuan utamanya bukan mendapat penghargaan, bagi kami itu hanya bonus. Kami hanya ingin mengabarkan ke pihak kementrian, jika di Maros ada perjuangan seperti ini," ujarnya
Kedua, ia ingin memotivasi perintis lingkungan lainnya, bahwa yang mereka lakukan tidak sia-sia.
"Penghargaan ini membuktikan, bahwa pemerintah punya perhatian khusus ke para pemerhati lingkungan," jelasnya.
Jadi baginya, bisa masuk nominasi sudah merupakan sesuatu yang luar biasa.
Iwan sendiri lahir 10 Oktober 1980, di Rammang Rammang. Secara administratif Rammang-Rammang tercatat di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros.
Iwan yang merintis dan mengabdikan diri sejak 12 tahun lalu, untuk menjaga originalitas Rammang Rammang, hingga menjadi destinasi wisata alam di Sulsel.
"Saya mulai berlawan saat anak pertama saya lahir, sekitar tahun 2008," terangnya.
Perjuangan yang ia lakukan bukan untuk menang. Melainkan menyiapkan jawaban kepada anaknya kelak.
"Saya tidak ingin suatu waktu anak saya bertanya soal karst yang hilang. Padahal saya sendiri (bapaknya) adalah seorang pendaki,” jelasnya.
Pria yang juga bekerja sebagai petani ini, selalu merasa bertanggungjawab pada anak-anak dan generasi berikutnya.
“Anak-anak kita juga berhak atas apa yang ada sekarang,” ucapnya.
Hidupnya seakan tanpa privasi. Rumahnya jadi ‘Sekretariat Rammang-Rammang’.
Selain sebagai tempat tinggal, Iwan Dento juga memfungsikan rumahnya sebagai kedai kopi; Rumah Kedua.
Disanalah ia dan komunitasnya "Anak Sungai", mengerjakan banyak hal, seperti membuat rumah belajar, kerajinan dari bahan alami, dan membuat kerajinan dari sampah plastik.
"Kegiatan ekowisata juga telah mampu mendorong kemandirian masyarakat, seperti adanya simpanan darurat dan bantuan- bantuan sosial, pengelolaan sampah secara mandiri, perpustakaan, kelas belajar dan pengembangan usaha - usaha kreatif lainya,” kata Iwan.
Meski merupakan lulusan Sarjana Manajemen Dakwah, namun penampilannya layaknya rakyat kebanyakan.
Dengan rambut gonrong, bersarung dan berbaju kaos oblong adalah gaya hariannya.
Ia mengungkapkan perjuangannya ini juga merupakan "dakwah" untuk mengajak orang-orang menjaga lingkungan.
"Kami berlawan menggunakan konsep ekonomi tanding, jadi karst itu tidak hanya dilihat sebagai semen, tapi juga bisa difungsikan sebagai tempat wisata. Bedanya tidak ada yang kami rusak," terangnya.
Saat ditanya kapan ia akan berhenti berlawan. Ayah 5 anak ini (Gibran, Galang, Bimbing, Ibnu, Raya) mengatakan, dirinya akan berhenti apabila Tuhan menggerakkannya untuk melakukan hal lain.
"Saya selalu percaya, bahwa apa yang saat ini kita lakukan pasti ada campur tangan Tuhan. Dan saat ini Tuhan ingin saya tetap berlawan," katanya sambil tertawa.