Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

ILC TV One

Narasumber ILC TV One 24 November Ulas Bisakah Anies Baswedan dan Ridwan Kamil Dicopot Mendagri?

Berikut narasumber ILC 24 November, narasumber ILC malam ini ulas Bisakah Gubernur Dicopot, Foto ILC TV One, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Tito Kar

Editor: Mansur AM
instagram
Berikut narasumber ILC 24 November, narasumber ILC malam ini ulas Bisakah Gubernur Dicopot 

Berikut narasumber ILC 24 November, narasumber ILC malam ini ulas Bisakah Gubernur Dicopot, Foto ILC TV One, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Tito Karnavian

TRIBUN-TIMUR.COM - Talkshow ILC TVOne malam ini mengulas tentang isu aktual kemungkinan pencopotan dua gubernur; Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Ridwan Kamil. Dua gubernur ini sudah diperiksa polisi kasus kerumunan yang bisa menularkan Covid-19.

Inilah narasumber ILC malam ini mengulas Bisakah Gubernur Dicopot

Prof Yusril Ihza Mahendra (pakar tata negara)

Arteria Dahlan (PDIP)

Prof Gayus Lumbbun (pakar hukum/politisi)

Irmanputra Sidin (pengamat)

Maman Abdurahman

Fadli Zon (politisi)

Idris Ahmad 

Margarito Kamis (pakar hukum)

Bivitri Susanti (pengamat hukum)

Trubus Rahadiansyah (pengamat kebijakan publik)

Siaran talkshow ILC TV One malam ini akan mengangkat tema 'Bisakah Gubernur Dicopot?'.

Diangkatnya tema tersebut setelah Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menerbitkan Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020, yang salah satu poinnya adalah sanksi pencopotan bagi kepala daerah yang lalai menegakkan protokol kesehatan dalam penanganan Covid-19.

Instruksi ini menuai pro dan kontra.

Mendagri dinilai tak bisa serta merta mencopot gubernur.

Menteri Dalam Negeri atau Mendagri, Tito Karnavian mengatakan bahwa pihaknya akan membuat peraturan berupa instruksi penegakan protokol kesehatan.

Menurut Tito Karnavian, dalam instruksi itu, nantinya akan memuat aturan yang memungkinkan kepala daerah mulai dari tingkatan gubernur, bupati, dan wali kota bisa diberhentikan dari jabatannya.

 "Saya sampaikan kepada gubernur, bupati, dan wali kota untuk mengindahkan instruksi ini karena ada risiko menurut Undang-Undang. Kalau Undang-Undang dilanggar dapat dilakukan pemberhentian," kata Tito Karnavian sebagaimana dikutip dari Kompas TV, Kamis (19/11/2020).

Sanksi ini mengacu pada Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).

Menurut Pasal 78, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan.

Pasal 78 Ayat 1 Huruf C Pemda menyatakan, kepala daerah berhenti, di antaranya karena tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud Pasal 67 huruf b UU Pemda.

Dalam Pasal 67 tersebut, dikatakan bahwa kepala daerah wajib menaati seluruh ketentuan perundang-undangan.

Lantas, bagaimana aturan pemberhentian seorang kepala daerah?

Ketentuan pemberhentian kepala daerah

Berdasarkan pasal 79 UU Nomor 23 Tahun 2014, disebutkan ketentuan pemberhentian kepala daerah adalah sebagai berikut:

* Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diumumkan oleh pimpinan DPRD dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD kepada Presiden melalui Menteri untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota untuk mendapatkan penetapan pemberhentian.

* Dalam hal pimpinan DPRD tidak mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, Presiden memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur atas usul Menteri serta Menteri memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati serta wali kota dan/atau wakil wali kota atas usul gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

* Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak mengusulkan pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota, Menteri memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

Mekanisme pemberhentian kepala daerah

Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan dengan ketentuan berikut:

* Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta kepada Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah atau melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dan/atau melakukan perbuatan tercela.

* Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.

* Mahkamah Agung memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final.

* Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah atau melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah dan/atau melakukan perbuatan tercela, pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Presiden untuk pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur dan kepada Menteri untuk pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota

* Presiden wajib memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Presiden menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD.

* Menteri wajib memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak Menteri menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD.

Tanggapan pakar hukum

Instruksi Tito Karnavian ini pun telah memperoleh tanggapan dari berbagai pihak, mulai dari para kepala daerah hingga pakar hukum.

Kompas.com pada Rabu (18/11/2020), melansir, pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, pemberhentian seorang kepala daerah tidak dapat dilakukan sepihak oleh pemerintah pusat.

Ada sejumlah proses yang harus dilewati.

Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat mengajukan hak interpelasi, dilanjutkan dengan hak menyatakan pendapat untuk menyatakan seorang kepala daerah melanggar Undang-Undang.

Namun, keputusan DPRD itu tidak menjamin seorang kepala daerah langsung diberhentikan karena keputusan itu akan dibawa ke Mahkamah Agung terlebih dahulu.

Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri juga dapat mengajukan usul pemberhentian kepala daerah namun tetap harus melalui sidang Mahkamah Agung.

"Menteri Dalam Negeri dalam titik tertentu bisa saja kemudian melaporkan karena pelanggaran undang-undang tertentu untuk impeach tetapi dia tidak bisa juga langsung mengatakan berhenti," ujar Feri. 

Pendapat yang sama pun disampaikan oleh pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.

Menurut Yusril, proses pelaksanaan pemberhentian kepala daerah harus tetap berdasarkan pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

“Yang jelas bagi kita adalah Presiden maupun Mendagri tidaklah berwenang memberhentikan atau 'mencopot' kepada daerah karena kepada daerah dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai konsekuensinya, pemberhentiannya pun harus dilakukan oleh rakyat melalui DPRD,” jelas Yusril Ihza Mahendra seperti dikutip dari Kompas TV, Kamis (19/11/2020).

Live Streaming ILC TV One

LINK 1

LINK 2

(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved