Anies Baswedan - Ridwan Kamil Terancam karena Protokol Covid-19? Tito Karnavian Keluarkan Instruksi
Gubernur Anies Baswedan dan Ridwan Kamil terancam karena protokol Covid-19? Tito Karnavian keluarkan instruksi.
TRIBUN-TIMUR.COM - Gubernur Anies Baswedan dan Ridwan Kamil terancam karena protokol Covid-19? Tito Karnavian keluarkan instruksi.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengatakan, dirinya ikut menyoroti kerumuman massa yang terjadi akhir-akhir ini, termasuk di Jakarta dan Jawa Barat, daerah yang dipimpin Gubernur Anies Baswedan dan Gubernur Ridwan Kamil.
Untuk itu, Tito Karnavian mengatakan, akan menerbitkan instruksi terkait penegakan protokol kesehatan Covid-19 kepada seluruh kepada daerah agar konsisten dalam penanganan Covid-19.
"Hari ini saya keluarkan instruksi Mendagri tentang penegakan protokol kesehatan. Di sini menindaklanjuti arahan presiden pada Senin lalu untuk menegaskan konsistensi kepatuhan Covid-19 dan mengutamakan keselamatan rakyat," kata Tito Karnavian dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR secara virtual, Rabu (18/11/2020).
Tito Karnavian meminta kepala daerah untuk menjadi teladan dalam mematuhi protokol kesehatan Covid-19 termasuk tidak ikut dalam kerumunan massa.
Mantan Kapolri itu mengingatkan, kepada daerah wajib mematuhi aturan perundangan-undangan, sesuai UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Ia mengatakan, jika kepada daerah melanggar ketentuan dalam UU maka bisa diberhentikan.
"Kita lihat UU Nomor 12 tahun 2012 yang diubah jadi UU no 15 tahun 2019 tentang peraturan perundang undangan, di antaranya termasuk peraturan daerah dan peraturan kepala daerah itu termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan dan kalau itu dilanggar sanksinya dapat diberhentikan sesuai dengan pasal 78," ucapnya.
Lebih lanjut, Tito Karnavian mengatakan, langkah proaktif perlu dilakukan dalam menegakkan protokol kesehatan Covid-19 termasuk membubarkan kerumunan massa secara tegas dan terukur.
"Karena mencegah lebih baik daripada menindak, mencegah dapat dilakukan secara humanis termasuk dengan membubarkan kerumunan secara tegas dan terukur," katanya pungkas.
Tak bisa serta merta
Menanggapi hal itu, pakar hukum tata negara pada Universitas Andalas Feri Amsari menytakan, pemberhentian seorang kepala daerah tidak dapat dilakukan sepihak oleh pemerintah pusat.
"Tidak bisa serta merta, tidak ada yang seperti era Orde Baru ya mau main berhentikan, semua ada proses hukumnya dan itu pasti berlarut-larut dan lama, tidak sesederhana yang disampaikan oleh beberapa pihak," kata Feri Amsari saat dihubungi, Rabu (18/11/2020).
Feri Amsari menjelaskan, seorang kepala daerah memang dapat diberhentikan apabila melanggar undang-undang, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pasal 78 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan, kepala daerah dapat diberhentikan karena tidak melaksanakan kewajiban, salah satunya menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi, kata Feri Amsari, proses pemberhentian seorang kepala daerah tidak bisa serta-merta dilakukan karena ada sejumlah proses yang harus dilewati.
Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat mengajukan hak interpelasi, dilanjutkan dengan hak menyatakan pendapat untuk menyatakan seorang kepala daerah melanggar Undang-Undang.
Namun, keputusan DPRD itu tidak menjamin seorang kepala daerah langsung diberhentikan karena keputusan itu akan dibawa ke Mahkamah Agung terlebih dahulu.
"Mahkamah Agung bilang ya atau tidak itu telah terjadi pelanggaran undang-undang, baru berujung berhentinya kepala daerah kalau Mahkamah Agung bilang iya telah terjadi," kata Feri Amsari.
Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri juga dapat mengajukan usul pemberhentian kepala daerah namun tetap harus melalui sidang Mahkamah Agung.
"Menteri Dalam Negeri dalam titik tertentu bisa saja kemudian melaporkan karena pelanggaran undang-undang tertentu untuk impeach tetapi dia tidak bisa juga langsung mengatakan berhenti," ujar Feri Amsari.
Feri Amsari pun berpendapat, sanksi pemberhentian bagi kepala daerah yang tidak menegakkan protokol kesehatan juga terlalu berlebihan.
Sebab, menurut Feri Amsari, para kepala daerah telah berupaya menegakkan protokol daerah meski implementasinya tidak berjalan baik.
"Kalau konsekuensinya pemberhentian terlalu jauh, kecuali ada kepela daerah yang terang-terangan menolak misalnya untuk menjalankan protokol kesehatan, kan tidak ada juga," kata dia.
Diberitakan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengaku telah mengeluarkan isntruksi Mendagri tentang penegakan protokol kesehatan.
Tito Karnavian meminta kepala daerah untuk menjadi teladan dalam mematuhi protokol kesehatan Covid-19 termasuk tidak ikut dalam kerumunan massa.
Tito Karnavian mengingatkan, kepada daerah wajib mematuhi aturan perundangan-undangan, sesuai UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.(*)