Opini Tribun Timur
Opini: Jangan Sampai Bahasa Indonesia Punah oleh Penuturnya
Mereka membuka pintu selebar-lebarnya, membiarkan era itu masuk ke dunianya. Akibatnya, budaya global tumbuh, budaya lokal terancam luluh
Oleh:
Asis Nojeng
SekumMasika ICMI Makassar dan Pengurus KNPI Sulsel
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Sumpah Pemuda merupakan momentum memperdalam cinta terhadap bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Anehnya, semakin rakyat menyatakan cintanya terhadap republik, malah semakin menjauhkan bahasa persatuan dari aktivitas keseharian.
TagarNKRI harga mati, misalnya, seolah hendak menunjukkan upaya untuk tetap menjaga semangat berbangsa dan bernegara. Namun, slogan itu hanyalah sebatas postingan medsos, yang terasa tawar dan instan.
Tak mampu menumbuhkan dengan subur cinta kepada republik kita. Republik yang dibangun dengan perjuangan yang berdarah-darah dan doa yang dirapalkan seluruh anak bangsa.
Tak Lagi Mengindonesia
Antara tahun 1980-an hingga 1990-an, diwarnai lahirnya generasi baru, datangnya kaum pemuja digitalisasi, yakni kaum milenial. Generasi gawai ini punya sejuta kreativitas yang sangat terbuka terhadap teknologi mutakhir.
Tak ayal jika mereka menyambut era digitalisasi dengan menghamparkan karpet merah. Mereka membuka pintu selebar-lebarnya, membiarkan era itu masuk ke dunianya.
Akibatnya, budaya global tumbuh, budaya lokal terancam luluh. Mulai dari fesyen, kuliner, hingga bahasa, serba pengaruh asing.
Gelombang media massa dan media baru, menjadi penyebabnya. Alhasil, ihwal kecintaan kita terhadap bahasa Indonesia tak lagi menjadi poin penting. Bahasa Indonesia dinomor-kesekiankan demi status, gengsi, modern, dan agar terlihat menginternasional.
Kaum milenial dalam bergaul, lebih mengedepankan bahasa asing daripada bahasa Indonesia.
Terbukti, pada beberapa ruang, mereka lebih senang menggunakan istilah asing dibanding bahasa nasional, atau bahasa ibunya. Padahal, padanan kata setiap istilah asing sudah tersedia di kosakata bahasa kita. Bukankah kita mesti mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing?
Kredo Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud RI ini jangan dimaknai sebagai mendahulukan, apalagi memuja bahasa asing, sehingga bahasa asing malah menguasai segala lini kehidupan kita.
Tumbuh berkembangnya dunia usaha juga memengaruhi eksistensi bahasa kita. Dominasi bahasa asing tak bisa dipungkiri hampir terlihat di ruang-ruang publik. Kafe, restoran dan tempat nongkrong menggunakannya. Tak hanya nama tempat, dalam penulisan menu pun nyaris tak dijumpai bahasa Indonesia.
Sebagai contoh, sekaligus menjadi bahan renungan bagi kita, ada kedai yang terletak di batas kota menulis menunya keinggris-inggrisan. Untuk menyebut kopi hitam saja, tertera di daftar menu dengan tulisan: Black Coffee 23K. Sungguh, betapa tidak berharganya bahasa kita saat ini.
Pemangku Kebijakan Lalai
Pemangku kebijakan terkesan tak ambil peduli terhadap fenomena ini. Mereka terlena dan menikmati penggunaan bahasa asing yang meruyak, bagai tak ada masalah. Bahkan, aneh bin ajaib, pemerintah sendiri ikut melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Walau dalam undang-undang tersebut sangat jelas disebutkan tentang peruntukkan penggunaan bahasa Indonesia, yang sejatinya dirujuk oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Begitupun, dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 menegaskan dengan seterang-terangnya bahwa Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut bahasa Indonesia, adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sehingga, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pelayanan administrasi publik pada instansi pemerintahan.
Namun, sangat miris melihat kenyataan karena sejumlah lembaga pelayanan publik menggunakan bahasa asing.
Di RSUD, yang notabene milik pemerintah, menuliskan Nurse Station, dan masih banyak lagi contoh.
Ketentuan yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama bangunan atau gedung, apartemen atau permukiman, perkantoran, dan kompleks perdagangan yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, juga tak dipatuhi.
Pemangku kebijakan tidak konsisten, bahkan melanggar beleid tersebut.
Misalnya, pembangunan “Makassar New Port”, yang secara sederhana bisa menggunakan nama Pelabuhan Baru Makassar. Ada lagi penanda khas Kota Makassar yang juga menggunakan istilah asing, yakni “City of Makassar”.
Bahkankawasan “Center Point of Indonesia”, yang diklaim bakal dibangun Wisma Negara, penamaannya juga menggunakan bahasa asing.
Melalui momentum Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2020, ini mestinya bisa jadi refleksi, sekaligus mengevaluasi cara kita berbahasa dan memperlakukan bahasa Indonesia.
Jangan sampai, bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa nasional, bahasa persatuan, justru terbunuh oleh kita, sebagai anak bangsanya sendiri. Banggalah berbahasa Indonesia, karena bahasa menunjukkan bangsa.(*)