Mendikbud Nadiem Makarim Dituntut Transparan soal Anggaran Belajar dari Rumah di TVRI Gegara Hal ini
Tuntutan transparansi anggaran BDR Kemendikbud disuarakan lebih dari 200 pekerja seni dari 40 kota yang memberikan dukungannya terhadap Ucu Agustin
TRIBUN-TIMUR.COM- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaa (Kemendikbud) yang dipimpin Nadiem Makarim dituntut transparan soal anggara program 'Belajar dari Rumah' yang disiarkan di TVRI.
Hal ini adalah buntut pelanggaran hak cipta yang dilakukan Kemendikbud atas penayangan film Sejauh Kumelangkah pada 25 Juni 2020 karya Ucu Agustin tanpa izin.
Film Sejauh Kumelangkah diputar TVRI melalui program Belajar dari Rumah di TVRI yang dilakukan sejak Pandemi Covid-19.
Bahkan, film Sejauh Kumelangkah juga diputar ulang di UseeTV, platform penyiaran digital milik PT Telkom Indonesia.
Tuntutan transparansi anggaran BDR Kemendikbud disuarakan lebih dari 200 pekerja seni dari 40 kota yang memberikan dukungannya terhadap Ucu Agustin dalam kasus pelanggaran hak cipta film Sejauh Kumelangkah.
Dilansir dari keterangan rilis yang disebar Joko Anwar di akun Twitternya, atas masalah ini, para pekerja seni dari berbagai daerah di Indonesia menandatangani dukungan kepada Ucu Agustin agar kasus ini bisa diselesaikan sesuai dengan tuntutan.
Tak hanya Joko Anwar, beberapa pekerja seni yang turut memberikan dukungan, antara lain Dwimas Angga Sasongko, Sammaria Sari Simajuntak, Nia Dinata, Cholil Mahmud, dan Bonita.
Dukungan juga dinyatakan oleh berbagai para pelaku profesi di dunia film dan kesenian seperti sinematografer, sound designer, make up artist, visual effect artist, peneliti, pengelola ruang kesenian, pengelola festival dan lain-lain.
“Output dari industri kreatif adalah karya dan hak cipta melekat dari tiap karya tersebut. Tidak menghargai hak cipta berarti mensabotase keberadaan dan kemajuan industri kreatif. Jika ini dilakukan pemerintah, ini
bukan saja ironis. Ini menyedihkan,"kata Joko Anwar.
Sementara itu, Produser film Nia Dinata mengatakan, setipa karya apapun, pasti memiliki hak cipta yang melekat. Untuk film apapun, juga menyatu hak cipta di dalamnya.
"Kasus Ucu adalah pelajaran publik karena setiap orang yang berkarya harusnya menyadari hal itu, sehingga
ketika ada yang meminjam, menyewa, membeli karya tersebut, sudah seharusnya menjalankan kedisiplinan yang dituangkan dalam persetujuan bersama berupa kontrak atau perjanjian. Indonesia harus terbiasa berdisiplin saling menghormati demi transparansi dan keadilan sosial bersama,"jelasnya.
Penulis dan dosen kajian media Macquarie University, Sydney, Intan Paramaditha juga mengaku prihatin atas kasus ini.
“Dari isu pengambilan keputusan hingga pengelolaan anggaran, transparansi masih menjadi persoalan besar institusi negara. Dalam membayangkan pelayanan dan pendidikan publik, institusi negara belum melihat pekerja
seni sebagai rekan berdialog dengan hak-hak yang patut dihargai,"katanya.
Menurutnya, kasus yang dialami Ucu Agustin adalah salah satu contoh dilanggarnya hak pekerja seni untuk, pertama, mendapatkan pengakuan layak atas kerja yang telah ia lakukan, dan kedua, memperoleh informasi yang jelas tentang bagaimana karyanya akan diedarkan.
Berdasarkan dokumen Siaran Pers yang diterbitkan oleh Ucu Agustin dan Kuasa Hukumnya AMAR (AMAR Law Firm and Public Interest Law Office) pada tanggal 4 Oktober 2020 dan 12 Oktober yang lalu, kami mendukung Ucu menuntut hak-haknya sebagai pencipta karya film dokumenter sebagai berikut:
1. Permintaan maaf Kemendikbud secara publik, bukan hanya terkait penayangan seperti yang sudah disebutkan dalam Siaran Pers Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (No. 191/sipres/A6/X/2020 tanggal 5 Oktober 2020), tetapi juga disertai penjelasan bahwa telah terjadi pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh Kemendikbud termasuk mengubah isi dan bentuk karya tanpa pengetahuan pembuat dan pemilik film.