Penanganan Covid
Cerita Mahasiswa Makassar Jadi Relawan Covid-19, Swab hingga 9 Kali hingga Jadi Panggilan Jiwa
Baru saha tiba di kampus, Sahrul kemudian mendapat telepon dari dr Hisbullah Amin untuk segera menuju ke salah satu rumah sakit.
MAKASSAR- Sahrul Fajar Perdana tak pernah membayangkan selama empat bulan harus tinggal di rumah sakit darurat menjadi relawan penanganan Covid-19 di Makassar.
Sahrul adalah Tim Bantuan Medis (TBM) Calcaneus, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin (Unhas).
Saat Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah mengumumkan adanya kasus Covid-19 pertama di Sulawesi Selatan pada 19 Maret 2020, Sahrul sedang mengikuti kegiatan caving bersama TBM Calcaneus di salah satu gua di Kabupaten Maros, Sulsel.
"Saat itu saya masih di dalam gua dan mendapat telepon untuk segera kembali ke Makassar,"kata Sahrul dalam Live Bincang Kampus yang disiarkan di kanal YouTube Tribun Timur, Jumat (9/10/2020) lalu.
Baru saha tiba di kampus, Sahrul kemudian mendapat telepon dari dr Hisbullah Amin untuk segera menuju ke salah satu rumah sakit.
Informasi yang ia dapat juga masih belum jelas, namun ia segera meluncur ke rumah sakit yang diperintahkan.
"Saya ingat sekali pesan dr Hisbullah, bawa pakaianmu tiga pasang dan tidak usah pulang-pulang ke rumah,"kenang Sahrul.
Sahrul pun membantu dr Hisbullah Amin merancang pendirian rumah sakit darurat Covid-19 secara administrasi hingga mengatur mekanisme skrining awal Covid-19.
Sejak saat itu pun, Sahrul tidak pernah pulang ke rumah selama empat bulan.
Swab hingga 9 kali

Sebagai anggota TBM Calcanesu FK Unhas, kesibukan Sahrul di masa pandemi Covid-19 tidak hanya sekadar menangani pasien Covid-19.
Namun, ia juga tetap melakukan berbagai kegiatan kemanusiaan untuk memberikan bantuan medis.
Seperti saat Masamba di Kabupaten Luwu Utara dilanda bencana banjir bandang pada Juli 2020 lalu.
"Kita tetap harus turun meski harus berbagi shift jaga di rumah sakit darurat,"ujar Sahrul.
Saat melakukan aksi kemanusiaan di Masamba, Sahrul bahkan harus menjalani tes swab hingga sembilan kali untuk memastikan agar setiap ia ke Masamba dirinya aman dari Virus Corona.
Ramadan dan Lebaran Tanpa Orangtua

Pengalaman berharga sebagai relawan juga dirasakan Yan Sanjaya. Mahasiswa Fakultas Teknologi Industri (FTI) Universitas Muslim Indonesia (UMI) tersebut menjadi bagi bagian Tim Relawan FTI UMI.
Sejak awal pandemi, Tim Relawan FTI UMI bergerak melakukan penyemprotan di sejumlah tempat umum, seperti puskesmas, rumah sakit, perkantoran, hingga rumah ibadah dengan menggunakan cairan disinfektan buatan sendiri.
Tak hanya itu, mereka juga membuat handsanitizer hingga Alat Pelindung Diri yang akan dibagi-bagikan kepada tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan penanganan Covid-19.
Yan mengaku pada awalnya sempat merasa takut karena yang akan mereka hadapi adalah virus, sesuatu yang tidak 'terlihat' kasat mata.
Tapi, saat terjun menyemprot disinfektan di berbagai rumah sakit dan puskesmas, ia tetap mengutamakan keamanan dengan memakai APD.
Saat menjalani kegiatan kerelawanan tersebut, ternyata Yan juga mendapat pengalaman lucu.
"Tapi hal lucu itu, terkadang kita saat di rumah sakit menyemprot, kami tiba-tiba mau buang air kecil, sebelum masuk toilet kami sterilkan dulu dan harus menahan bau disinfektan sembari buang air kecil. Lalu setelah itu kita semprot lagi agar betul-betul steril,"kata Yan.
Ia juga mengaku pernah merasakan buka puasa dengan segelas air mineral dan teh kemasan di mobil saat pulang dari daerah karena mereka tidak membawa bekal saat melintas di jalan tol.
Bahkan, segelas air mineral dan teh kemasan tersebut harus dibagi-bagi ke sejumlah relawan lain.
"Sedihnya itu ketika menjalani sahur pertama Ramadan hingga lebaran hanya bersama teman di kampus tanpa orangtua,"cerita Sahrul.
Jadi Relawan sebagai Panggilan Jiwa

Kegiatan Kerelawanan telah menjadi 'denyut jantung' bagi Dekan FTI UMI, Zakir Sabara sejak masih menjadi mahasiswa.
Di masa pandemi Covid-19, Zakir menggerakkan mahasiswanya menjadi relawan pencegahan Virus Corona atau Covid-19 di Sulawesi Selatan.
Tim relawan FTI UMI bergerak melakukan sterilisasi di sejumlah tempat publik di Makassar, seperti rumah sakit, puskesmas, perkantoran hingga rumah ibadah dengan menggunakan cairan disinfektan buatan sendiri.
Tak hanya membuat cairan disinfektan, tim relawan FTI UMI juga membuat hand sanitezer, alat pelindung diri (APD), hingga masker 3D.
Menurut Zakir, aktivitas kerelawanan yang ia lakukan bersama mahasiswa FTI UMI di masa pandemi ini berbeda dengan aksi kemanusiaan yang pernah mereka lakukan sebelumnya.
Kali ini, ia memastikan diri selalu hadir setiap gerakan yang dilakukan tim relawan. Padahal sebelumnya, ia banyak berbagi peran dengan para wakil dekan, kepala program studi, ataupun dosen muda.
"Musuh yang kita hadapi hari ini adalah musuh tidak nyata. Aktivitas kerelawanan kita di lapangan rentan terpapar. Sehingga dengan kehadiran saya minimal bisa menjadi alarm bagi para relawan agar lebih waspada,"katanya.
Zakir menyadari tim relawan FTI UMI adalah sekelompok generasi milenial yang mungkin saja bisa lalai dalam melaksanakan aktivitas kerelawanan mereka.
"Di lapangan mungkin mereka bercanda dengan temannya dan tidak sadar ceroboh hingga berisiko terpapar. Apalagi yang disentuh adalah tempat publik yang memiliki risiko tinggi,"jelasnya.
Zakir, bahkan pernah sebulan tinggal di kampus bersama para tim relawan FTI UMI, meninggalkan keluarga di rumah.
Namun menurutnya hal tersebut bukanlah sebuah duka, melainkan sebuah bentuk pengabdian diri untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam diri anak muda.
"Sehingga ketika mereka kembali ke masyarakat, soal kemanusiaan sudah menjadi panggilan jiwa,"katanya.
Catatan Redaksi:
Bersama-kita lawan virus corona. tribun-timur.com mengajak seluruh pembaca untuk selalu menerapkan protokol kesehatan dalam setiap kegiatan. Ingat pesan ibu, 3M (Memakai masker, rajin Mencuci tangan, dan selalu Menjaga jarak)