Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tribun Wajo

Cium Mahasiswi, Kepala Desa Lempong Wajo Jadi Tersangka Kasus Pelecehan Seksual

Diketahui, Abdul Karim mencium seorang mahasiswi berinisial AP (23), sebanyak 3 kali pada Juli 2020 lalu.

Penulis: Hardiansyah Abdi Gunawan | Editor: Sudirman
TRIBUN-TIMUR.COM/HARDIANSYAH
Kapolres Wajo, AKBP Muhammad Islam Amrullah merilis kasus pelecehan seksual yang melibatkan Kepala Desa Lempong, Jumat (16/10/2020) 

TRIBUNWAJO.COM, SENGKANG - Kepala Desa Lempong, Abdul Karim akhirnya ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual, Jumat (16/10/2020).

Diketahui, Abdul Karim mencium seorang mahasiswi berinisial AP (23), sebanyak 3 kali pada Juli 2020 lalu.

"Hari ini kita sudah menaikkan status AK, dari saksi menjadi tersangka," kata Kapolres Wajo, AKBP Muhammad Islam Amrullah.

Proses penyelidikan yang berjalan selama kurang lebih 3 bulan itu, penyidik memeriksa setidaknya 10 orang saksi.

"Termasuk saksi ahli hukum dan ahli bahasa, pemeriksaannya agak panjang. Apalagi pandemi saat ini beliau tidak sembarang menerima tamu," katanya.

Kejadian pelecahan seksual yang dilakukan Abdul Karim ketika korban AP hendak meminta tanda tangan hasil laporan akhir KKP di Kantor Desa Lempong.

"Sangat disayangkan kejadian seperti ini, kita harapkan tidak ada lagi kejadian serupa terulang di tempat lain," katanya.

Survei Penyebab Banyak Kepala Desa Terjerat Korupsi

Perkembangan lain, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat mayoritas terdakwa kasus korupsi sepanjang Semester I 2020 adalah laki-laki.

Dari 906 terdakwa jenis kelamin terdakwa korupsi yang teridentifikasi sebanyak 896 terdakwa berjenis kelamin laki-laki.

"Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mendominasi klaster terdakwa kasus korupsi. Pantauan ICW menunjukkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 814 orang dan perempuan hanya 82 orang," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, saat pemaparan 'Hasil Pemantauan Tren Vonis Persidangan Perkara Korupsi Semester I Tahun 2020' yang digelar secara daring, Minggu (11/10/2020).

Sementara itu, perangkat desa menempati peringkat atas dari sisi latar belakang terdakwa kasus korupsi.

Dari keseluruhan terdakwa yang dipantau oleh ICW, perangkat desa menjadi sektor yang paling banyak, yakni sejumlah 263 orang. 

"Sepanjang satu semester tahun 2020 ICW mencatat setidaknya 1.043 terdakwa telah disidangkan di berbagai tingkatan pengadilan. Dari data tersebut, ditemukan 883 terdakwa yang berhasil diidentifikasi latar belakang pekerjaannya. Tiga peringkat teratas masing-masing: perangkat desa (263 orang), aparatur sipil negara (222 orang), dan swasta (198 orang)," kata Kurnia.

Berdasarkan usia, orang yang berusia di atas 30 tahun ditemukan paling banyak menjadi terdakwa kasus korupsi. Selengkapnya, usia di bawah 30 tahun hanya sebanyak 14 orang, sedangkan di atas 30 tahun sebanyak 379 orang.
"Data di atas menunjukkan bahwa mayoritas terdakwa kasus korupsi berusia di atas 30 tahun. Sedangkan Pemuda (definisi berdasarkan Undang-Undang Kepemudaan) terbilang minim terlibat praktik korupsi. Jika dikaitkan dengan isu kontekstual, yang mana beberapa regulasi, seperti Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, menaikkan syarat usia untuk menjadi Pimpinan lembaga tidak sepenuhnya tepat," kata Kurnia.

ICW juga menemukan fakta bahwa Mahkamah Agung (MA) mengurangi hukuman terhadap delapan terpidana kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tingkat peninjauan kembali (PK) sepanjang tahun 2020.

Terbaru, MA mengabulkan PK mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan mengurangi hukuman Anas dari 14 tahun pada tingkat kasasi menjadi delapan tahun penjara.

Nama-nama terpidana lainnya seperti mantan Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud, mantan panitera PN Jakarta Utara Rohadi, mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyuni Maria. Kemudian, mantan wali kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi, mantan anggota DPR Musa Zainudin, mantan direktur di Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman, dan mantan pejabat Kemendagri Sugiharto.

Kurnia pun menilai pemotongan hukuman tersebut tak lepas dari pensiunnya Artidjo Alkostar sebagai hakim agung di tahun 2018. Diketahui, Artidjo dikenal sebagai sosok yang tidak segan menjatuhkan hukuman berat bagi para koruptor. Menurutnya, para terpidana koruptor memanfaatkan pensiunnya Artidjo untuk mendapatkan pemotongan hukuman. “Gelombang terpidana ini tidak bisa kita lepaskan dari faktor pensiunnya Hakim Agung Artidjo Alkostar yang sekarang sudah menjadi Dewan Pengawas KPK,” ucap dia.

“Tidak ada lagi sosok seperti Artidjo Alkostar yang mempunyai perspektif yang baik ketika menyidangkan perkara korupsi,” sambung Kurnia. Untuk itu, ICW pun mendorong KPK untuk mengamati lebih jauh sidang PK di MA demi mencegah praktik korupsi ketika koruptor dijatuhi hukuman ringan.

Lebih jauh lagi Kurnia menjelaskan tren hukuman terhadap terdakwa perkara korupsi dalam periode semester I tahun 2020 masih rendah. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan ICW sepanjang Januari 2020 hingga Juni 2020, pelaku korupsi rata-rata dihukum 3 tahun pidana penjara.

"Rata-rata vonis untuk semester I 2020 ternyata hanya tiga tahun penjara. Tentu ini ironis sekali karena masuk dalam kategori hukuman ringan berdasarkan penilaian ICW," kata Kurnia.

ICW mengkategorikan hukuman ringan berkisar pada 0 tahun pidana penjara hingga 4 tahun pidana penjara, hukuman sedang berkisar antara 4 tahun hingga 10 tahun dan hukuman berat di atas 10 tahun penjara. Dari pemantauan yang dilakukan ICW sepanjang semester I 2020, terdapat 1.008 perkara korupsi dengan 1.043 terdakwa yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

Dari jumlah itu, pengadilan Tipikor atau pengadilan tingkat pertama menyidangkan 838 perkara korupsi dengan rata-rata hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa korupsi 2 tahun 11 bulan.

Sementara Pengadilan Tinggi atau pengadilan tingkat banding mengadili 162 perkara dengan rata-rata hukuman 3 tahun 6 bulan, sedangkan Mahkamah Agung yang menangani kasasi dan

Peninjauan Kembali mengadili delapan perkara dengan rata-rata hukuman 4 tahun 8 bulan. Kurnia mengakui rata-rata hukuman terdakwa korupsi pada semester I 2020 mengalami peningkatan dibanding rata-rata hukuman koruptor pada 2019 berdasarkan pemantauan ICW yakni 2 tahun 7 bulan.

Namun, dengan rata-rata hukuman terdakwa korupsi pada semester I 2020 yang masih tergolong ringan tersebut, ICW pesimis dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku korupsi.

"Cita-cita untuk menciptakan Indonesia yang bebas dari korupsi pemberian efek jera yang maksimal rasanya masih sangat jauh akan bisa terealisasi kalau kita melihat data seperti ini," kata Kurnia.

Gara-gara Dana Desa

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengadakan acara bertajuk 'Pantauan ICW soal korupsi dana desa', di Kantor ICW, di Jl Kalibata Timur IV D, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

ICW menggelar acara ini sebagai lanjutan dari proses penyikapan OTT korupsi dana desa di Pamekasan oleh KPK beberapa waktu lalu.

Almas Sjafrina, peneliti ICW yang menjadi pembicara dalam acara ini, menuturkan ada empat faktor penyebab terjadinya korupsi dana desa.

"Faktor paling mendasar adalah kurang dilibatkannya masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan dana desa," ujar Almas yang mengenakan kerudung biru dongker dan kemeja pink.

Menurut Almas, akses masyarakat untuk mendapatkan informasi pengelolaan dana desa dan terlibat aktif dibatasi.

Padahal di pasal 68 UU Desa, telah diatur hak dan kewajiban masyarakat desa untuk mendapatkan akses dan dilibatkan dalam pembangunan desa.

"Pelibatan masyarakat menjadi faktor paling dasar karena masyarakat desa lebih mengetahui kebutuhan desa dan secara langsung menyaksikan bagaimana pembangunan desanya. Namun, masyarakat desa seolah kurang peduli," ujar Almas.

Faktor kedua, yang juga dirasa penting adalah terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa.

Keterbatasan ini secara khusus mengarah pada teknis pengelolaan dana desa, pengadaan barang dan jasa, serta penyusunan pertanggungjawaban keuangan desa.

Almas mengaku masih rendahnya latar belakang pendidikan dari kepala desa dan perangkat desa sangat berpengaruh akan faktor ini.

Tidak optimalnya lembaga desa menjadi faktor ketiga. Terutama lembaga yang secara langsung memainkan peran penting dalam pemberdayaan masyarakat dan demokrasi tingkat desa, seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Faktor terakhir yang tak kalah penting adalah fakta mengenai penyakit cost politik yang tinggi akibat kompetitifnya arena pemilihan kepala desa.

"Karena cost yang tinggi harus mereka keluarkan dalam menuju pemilihan kepala desa, mereka kebanyakan akan berusaha mengembalikan defisitnga melalui proses korupsi setelah berhasil menjabat. Bahkan ada kepala desa yang berusaha menghimpun dana desa ketika menjabat untuk maju dalam pemilihan berikutnya," ujar Almas.

Berkaitan pula dengan faktor terakhir, meningkatnya anggaran desa dirasa menjadi alasan banyaknya minat dari berbagai pihak untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa meski tanpa komitmen untuk membangun desa.

Diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Komisi antirasuah tersebut mengamankan Bupati Pamekasan, Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan, Kepala Desa Dassok, serta dua orang aparatur sipil lainnya dalam praktek korupsi dana desa, Rabu (02/08).

Kasus korupsi di Pamekasan tersebut menambah daftar panjang mengenai korupsi dana desa berdasarkan pantauan ICW.(tribun network)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved