Nadiem Makarim Pamer 'Filosofi Teras' di Instagram, Buku Karya Henry Manampiring tentang Stoicisme
Nadiem Makarim juga mengajak para orangtua untuk mencintai buku agar bisa menularkan kepada anaknya sebagai pendidikan literasi.
TRIBUN-TIMUR.COM- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengunggah sebuah foto saat sedang membaca buku di akun instagram pribadinya @nadiemmakarim, Selasa (13/10/2020).
Buku yang ada dalam foto Nadiem Makarim tersebut berjudul 'Filosofi Teras' karya dari Henry Manampiring terbitan Kompas.
Di keterangan foto, Nadiem Makarim menulis tentang dahsyatnya kekuataan membaca buku di tengah gempuran media digital saat ini.
Menurutnya, tidak ada hal lain yang bisa menggantikan fungsi dari buku.
"Bagi saya tidak ada substitusi dari buku. Dari sisi pendalaman konsep, dari sisi mengasah imajinasi, format konten lain susah mengalahkan buku,"tulis Nadiem.
Lewat unggahannya tersebut, Nadiem Makarim juga mengajak para orangtua untuk mencintai buku agar bisa menularkan kepada anaknya sebagai pendidikan literasi.
"Kalau orang tuanya tidak cinta buku, bagaimana kita mengharap anaknya mencintai buku?,"tambahnya.
Tentang Buku Filosifi Teras
Buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring adalah sebuah buku pengantar filsafat stoa yang dibuat khusus sebagai panduan moral anak muda.
Buku ini ditulis untuk menjawab permasalahan tentang tingkat kekhawatiran yang cukup tinggi dalam skala nasional, terutama yang dialami oleh anak muda.
Filosofi Stoa adalah sebuah filosofi tua dari Yunani kuno yang kembali populer akhir-akhir ini mengungkap cara untuk mengatasi berbagai emosi negatif.
Jauh dari kesan buku filosofi yang berat dan mengawang-awang, buku Filosofi Teras justru bersifat praktis dan relevan dengan kehidupan generasi milenial dan gen-z masa kini.
Kenapa judulnya Filosofi Teras?
Dikutip dari webstie pribadinya henrymanampiring.com, Henry Manampiring menyadari banyak orang yang kesulitan mengucapkan atau mengeja kata 'Stoic' atau 'Stoicisme'.
Untuk memudahkan, ia pun menerjemahkan istilah Stoic yang diambil dari tempat awal para filsuf dan murid-murid Stoic nongkrong, yakni di sebuah teras berpilar dihiasi lukisan.
Henry juga mengungkapkan alasan menulis buku ini karena ia tidak menemukan literatur atau buku mengenai Stoicisme dalam Bahasa Indonesia.
"Mungkin ada, tapi terbatas untuk komunitas filsafat ya? Bahkan buku2 kontemporer-nya saja tidak ada yang menterjemahkan. Jadi gw menulis buku ini siapa tahu jadi “panglaris”, jadi lebih banyak orang yang tertarik,"katanya.
Ia pun berharap setelah mengangkat topik tersebut dapat men-trigger penulis lain atau penerbit untuk menterjemahkan buku-buku Stoic yang sudah ada.
Henry menilai buku ini adalah gabungan penjelasan topik-topik Stoicisme yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, dan sharing pengalaman pribadi mengaplikasikannya dalam kehidupannya sehari-hari.
Ia menjelaskan, Stoicisme adalah aliran/mashab filsafat Yunani-Romawi kuno (pada jamannya, selain Stoicisme ada aliran Epicureanisme, Cynicism, Skepticism, Neoplatonism), yang berkembang 2.300 SM – 200 M (kira2 500 tahun).
Menurutnya, ada dua prinsip utama dari Stoicisme.
Pertama, terkait dikotomi kendali. Menurutnya, ada hal-hal yang berada di bawah kendali kita, ada pula yang tidak di bawah kendali kita.
"Dalam hidup, ada hal-hal yang di bawah kendali kita seperti pikiran, nalar, pertimbangan, perkataan, dan tindakan kita. Sisanya, tidak di bawah kendali kita, termasuk kekayaan, karier, reputasi, orang lain, sampai kesehatan kita.
Menurut Stoicisme, kata Henry, segala sumber bete, baper, galau, dan marah-marah itu karena kita menggantungkan kebahagiaan kita pada hal-hal yang tidak di bawah kendali kita.
"Gimana mau happy kalo hal-hal itu tidak di bawah kendali kita?,"katanya.
Prinsip kedua Stoicisme, yakni “It is not things that disturb us, but our opinion about them”.
"Kita ini sebenarnya merasa sedih, kecewa, marah, stress bukan karena peristiwa hidup yang menimpa kita, tapi karena pendapat atau opini kita mengenai peristiwa tersebut,"kata Henry.
Ia mencontohkan, dua karyawan perusahaan yang sama, dengan kondisi ekonomi yang sama, di-PHK bersama.
Yang satu depresi, marah-marah merasa dizholimi, yang satunya lagi woles dan terinspirasi nyari ide bisnis.
Peristiwa eksternalnya sama, tapi interpretasinya bisa beda. Implikasinya bisa menjadi dua sisi, bad news dan good news.
Menurutnya, kita tidak bisa menyalahkan peristiwa eksternam untuk emosi kita.
"Gak boleh bilang, gue sedih, bete, marah karena peristiwa atau orang lain. Emosi kita adalah tanggung-jawab kita, dan sepenuhnya di bawah kendali kita,"jelasnya.
Namun, hal tersebut juga bisa menjadi kabar baik. Pasalnya, kalau emosi disebabkan pikiran kita sendiri, artinya bisa dikenalikan juga.
"Gak perlu nunggu situasi hidup sesuai kemauan kita untuk bisa damai dan happy,"katanya.
Nah, bagaimana Tribuners tertarik baca buku Filosofi Teras seperti Mas Menteri?
(tribun-timur.com).