Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Manusia Tertua

Usianya Disebut 193 Tahun, Mbah Arjo Menjadi Saksi Perjalanan Panjang Indonesia, Hidup di Tepi Hutan

Sebanyak enam kali menikah itu, ia mengaku dikaruniai 18 anak. Namun, 17 anaknya sudah meninggal dunia dan tinggal satu orang, yakni Ginem yang hidup

Editor: Arif Fuddin Usman
tribunjatim.com
Mbah Arjo dan rumah tinggalnya berwujud gubuk di pinggir hutan 

Untuk makanan, ia mengandalkan sayur yang ditanam sendiri, seperti daun singkong, dan bayam. Untuk beras, ia mengaku mendapat jatah beras raskin dari pemerintah.

"Kalau nggak dapat jatah beras, ya saya sudah biasa cukup minum air putih saja," paparnya.

• New Stadion Mattoanging Dibongkar Setelah Groundbreaking, Ini Desain Baru & Komentar Nurdin Abdullah

• Tampilannya Bak Artis Korea dengan Tatapan Mata Bikin Wanita Naksir, Tapi Saat Masker Dibuka, Aduh?

Ditanya usianya berapa, Mbah Arjo mengaku berumur 200 tahun. Soal tahun kelahirannya, ia mengaku lupa dan hanya ingat harinya, yaitu Selasa Kliwon (pada Subuh). Ia dilahirkan di Desa Gadungan yang berjarak sekitar 8 kilometer dari tempat tinggalnya kala itu.

"Kalau dikait-kaitkan dengan peristiwa jaman dulu soal masa kecil saya, ya saya sudah lupa. Namun, ketika jaman penjajah Jepang, saya sudah beristri yang keenam kali.

"Sebab, kelima istri saya itu meninggal dunia, sehingga saya menikah lagi dan dapat istri orang Ponorogo, namanya Suminem. Ia meninggal dunia ketika Indonesia merdeka," paparnya.

Sebanyak enam kali menikah itu, ia mengaku dikaruniai 18 anak. Namun, 17 anaknya sudah meninggal dunia dan tinggal satu orang, yakni Ginem yang hidup bersamanya dan mengalami keterbelakangan mental.

Jamaah Calon Haji (JCH) tertua asal Tana Toraja, Kaso binti Bakka Tanan (86) bersama istri Halimah (83) saat berangkat ke Makassar.
Jamaah Calon Haji (JCH) tertua asal Tana Toraja, Kaso binti Bakka Tanan (86) bersama istri Halimah (83) saat berangkat ke Makassar. (HANDOVER)

Widodo, Kades Gadungan menuturkan, sebelum tinggal di komplek Candi Wringi Branjang, mbah Arjo tinggal di desanya. Namun, sejak menemukan candi itu, ia memilih tinggal di situ dan mendirikan gubuk.

"Kalau data di kependudukan desa kami, mbah Arjo itu tercatat kelahiran Desa Gadungan pada 19 Januari 1825. Kalau data pendukungnya, ya nggak ada.

"Cuma, kakek saya mbah Mawiro Pradio yang kelahiran 1918 saja, memangil mbah Arjo itu kakek. Berarti bisa dibayangkan, kalau mbah Arjo sudah sangat tua.

"Mbah saya itu meninggal tahun 1990 lalu," ungkap Widodo yang saat diwawancara berusia 48 tahun.

Entah kelebihan apa yang dimiliki mbah Arjo, karena setelah menemukan candi dan tinggal di dekatnya, hampir selalu ada tamu yang datang di hari-hari tertentu.

Kebanjiran Tamu Tiap Malam Suro

Lebih-lebih setiap malam 1 Suro, menurut Widono, mbah Arjo selalu kebanjiran tamu. Tak hanya dari Blitar, namun dari berbagai daerah, seperti Jogjakarta, Ponorogo, Pacitan, bahkan Jakarta.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved