Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Nelayan Kodingareng Ditangkap

Nelayan Kodingareng Ditangkap, Ini 8 Poin Tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel

Satu mahasiswa aktivis lingkungan bernama Rahmat yang sedang merekam kejadian ikut ditangkap dan mengalami kekerasan.

Penulis: Muslimin Emba | Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM/MUSLIMIN EMBA
Hasmiah, Darti dan Arini emak-emak Pulau Kodingareng saat unjukrasa di depan Kantor Gubernur Sulsel, Jl Urip Sumoharjo, Makassar, Kamis (13/8/2020) siang. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel menyebut penangkapan nelayan Pulau Kodingareng, aktivis, dan pers mahasiswa adalah bentuk kesewenang-wenangan polisi.

Penangkapan yang dilakukan personel Polair Polda Sulsel itu dikabarkan berlangsung Sabtu (12/9/2020) pagi, usai puluhan nelayan dan aktivis melakukan aksi penolakan tambang pasir.

Dalam penangkapan itu, tujuh nelayan, satu aktivis lingkungan, dan tiga anggota pers mahasiswa diamankan.

Ke tujuh nelayan itu, yakni Nawir, Asrul, Andi Saputra, Irwan, Mustakim, Nasar, dan Rijal.

"Satu nelayan mengalami kekerasan hingga berdarah di bagian wajah," tulis rilis resmi Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel yang dikirim Koordinator Bidang Hak atas Lingkungan Hidup LBH Makassar Edy Kurniawan Wahid ke tribun-timur.com.

Dalam rilis itu disebutkan, satu mahasiswa aktivis lingkungan bernama Rahmat yang sedang merekam kejadian ikut ditangkap dan mengalami kekerasan.

"Dipukul di bagian wajah dan badan, ditendang dan lehernya diinjak. Lalu handphone milik Rahmat yang dipakai merekam jatuh ke laut saat hendak disita oleh Polairud," tulisnya.

Tidak hanya itu, tiga mahasiswa yang turut ditangkap merupakan jurnalis pers mahasiswa yang sedang melakukan peliputan aksi.

Ketiganya, Hendra dari Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UKPM-UH), Mansur dan Raihan dari Unit Kegiatan Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UPPM UMI).

"Sebelum ditarik paksa, mahasiswa tersebut memperlihatkan kartu pers. Polisi tidak menghiraukan dan tetap menangkap mahasiswa tersebut," sebutnya.

Kronologi Penangkapan Versi Koalisi Masyarajat Sipil Sulsel

Sabtu, 12 September sekitar pukul 06.00 Wita kapal milik PT Royal Boskalis kembali melakukan aktvitas tambang pasir di daerah copong (wilayah tangkap nelayan).

Kegiatan ini menimbulkan reaksi dari masyarakat atau nelayan Pulau Kodingareng.

Tepat pukul 07.30 Wita ratusan nelayan yang didominasi oleh ibu-ibu bersama mahasiswa dan aktivis lingkungan serta jurnalis pers mahasiswa bergerak menuju lokasi tambang untuk melakukan aksi protes dengan menggunakan tiga jolloro (perahu tradisional berukuran besar) dan 45 lepa-lepa (perahu tradisional berukuran kecil).

Pukul 08.33 Wita, massa aksi tiba di lokasi tambang langsung menggelar aksi demonstrasi berupa orasi ilmiah dan pembentangan spanduk yang berisi penolakan kegiatan tambang.

Puluhan perahu nelayan kemudian mengelilingi kapal tambang dengan maksud menghentikan atau mengusir kapal.

Pukul 08.50 Wita, kapal milik PT Boskalis meninggalkan lokasi tambang. Disusul puluhan perahu nelayan kembali ke Pulau Kodingareng.

Pukul 09.40 Wita, saat nelayan dalam perjalanan pulang, tiba-tiba perahu nelayan dihadang oleh dua speedboat milik Polairud Polda Sulsel.

Perahu nelayan kemudian dipepet atau ditabrak dan alat kendali perahu (stir) dirusak.

Perahu terus didorong hingga penumpang atau nelayan yang ada di atas hampir terjatuh ke laut.

Kemudian Polairud menarik paksa dan menangkap nelayan, mahasiswa aktivis lingkungan dan jurnalis pers mahasiswa yang berada di atas perahu tersebut.

Pukul 14.10 Wita, ratusan masyarakat atay nelayan hendak menuju kantor Dit Polairud Polda Sulsel untuk melakukan aksi protes terhadap tindakan penangkapan.

Namun, anak buah kapal (ABK) yang akan ditumpangi tidak bersedia mengangkut para nelayan, karena menadapat ancaman dari pihak Polairud.

"Jika nekat mengangkut akan ditangkap," tulisnya menirukan ancaman yang diterima ABK Kapal.

Analisis Hukum Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel

Secara tegas, penggunaan kekuatan dengan menggunakan senjata api maupun alat lainnya merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka (vide; Ps 8 ayat 2 Perkap No 1/2009).

Bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindak Kepolisian, aparat polisi hanya boleh menggunakan kekuatan dengan kendali tangan kosong keras ketika pelaku bertindak aktif, dalam artian tindakan seseorang atau sekelompok orang untuk melepaskan diri atau melarikan diri.

Dan menggunakan kendali senjata tumpul ketika pelaku bertindak agresif, dalam artian bertindak menyerang aparat polisi, masyarakat, harta benda atau kehormatan kesusilaan.

Sedangkan faktanya, peristiwa penangkapan terjadi setelah aksi demonstrasi dan kapal milik PT Boskalis sudah pulang. Dalam artian sudah tidak ada aksi dan saat itu para nelayan dalam perjalanan pulang ke Pulau Kodingareng.

Sehingga tidak ada tindakan-tindakan bersifat aktif apalagi agresif.

Dengan demikian, tindakan kekerasan dan penangkapan Polairud Polda Sulsel sangat berlebihan dalam artian belum diperlukan dan masih dapat dihindari.

"Masih terdapat pilihan tindakan lain untuk melakukan penegakan hukum demi menghindari tindakan yang dapat merugikan korban," tulisnya.

Berdasarkan uraian diatas, tindakan Aparat Polairud Polda Sulsel tersebut diduga melanggar prinsip-prinsip penggunaan kekuatan berdasarkan Pasal 3 Perkap No 1 tahun 2009:

a). Prinsip nesesitas dimana penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi.

b). Prinsip proporsionalitas, dimana penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan.

c). Masuk akal (reasonable), dimana tindakan kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.

Di lain sisi, hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata karena memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dilindungi oleh Pasal 66 UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Serangkain aksi protes nelayan Kodingareng mesti dipandang sebagai wujud perjuangan untuk mempertahankan lingkungan hidup yang baik dan sehat, oleh karena kegiatan tambang pasir telah nyata merusak ekosistem laut.

Peristiwa ini berawal dari peristiwa enam bulan terakhir, tepatnya tanggal 13 Februari 2020 PT Boskalis melakukan kegiatan tambang pasir laut.

Fakta mana, nelayan Pulau Kodingareng sebagai terdampak langsung dari kegiatan tambang, tidak pernah dilibatkan pada tahap perencanaan, baik dalam bentuk sosialisasi maupun konsultasi publik.

Pasir laut tersebut digunakan untuk material urugan reklamasi Makassar New Port (MNP) sebagai proyek strategis nasional.

Lokasi tambang pasir, tepat berada di wilayah tangkap ikan nelayan yang dikenal dengan nama copong. Akibatnya, nelayan kehilangan hasil tangkapan karena.

Di sisi lain, secara nyata terjadi kerusakan ekosistem laut-terumbu karang, kekeruhan air laut dan gelombang tinggi.

Dampak dari semua itu adalah hilangnya mata pencaharian nelayan yang menyebabkan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup dasar-belanja rumah tangga dan biaya sekolah anak.

8 poin tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel

1. Direktur Polairud Polda Sulsel untuk segera membebaskan 11 orang nelayan, aktivis lingkungan dan jurnalis pers mahasiswa yang ditangkap.

2. Direktur Polairud Polda Sulsel untuk tidak melakukan pemeriksaan terhadap 11 orang ditangkap tanpa pendampingan dari penasehat hukum.

3. Komnas HAM RI dan Kompolnas RI untuk segera melakukan investigasi terkait dugaan pelanggaran HAM oleh aparat Polairud Polda Sulsel yang bertugas.

4. Polda Sulsel Cq Dit Polairud Polda Sulsel untuk menghentikan kriminalisasi terhadap nelayan Kodingareng yang tengah mempertahankan hak atas hidup dan kehidupannya.

5. Mendesak Gubernur Sulsel (Nurdin Abdullah) untuk menghentikan kapal milik Boskalis dan mencabut izin tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan.

6. Hentikan reklamasi Makassar New Port karena telah menghilangkan ruang hidup nelayan pesisir Makassar.

7. Mendesak Kementerian Kelautan Perikanan RI untuk mencabut PERDA SULSEL No. 2 tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

8. Mendesak Pemerintah Daerah Provinsi Sulsel melindungi hak-hak tradisional nelayan wilayah perairan spermonde sebagaimana diatur dalam UU No. 7 tahun 2016.

Organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel, yakni YLBHI-LBH Makassar, Walhi Sulsel, JATAMNAS, Green Peace, KIARA, AJI Makassar, KontraS Sulawesi, KPA Sulsel, IGJ, ICEL, FIK-ORNOP, SP-AM, Sawit Watch, KRUHA, FMN, FORMAT, Hima Sejarah UNM.

Fosis UMI, UPPM UMI, UKPM UNHAS, FPPI, FNKSDA Makassar, BEM FIS UNM, Lapar Sulsel, LAW Unhas, PPMI Makassar, BEM FIKP UNHAS, IM3I, Pembebasan, ELF Unhas, KisSa UIN, KNTI, Alinasi Mahasiswa UMI, Aliansi Mahasiswa Makassar, Federasi Mahasiswa UNHAS, Persaudaraaan Perempuan Nelayan Indonesia dan Aliansi Bara-Baraya Bersatu.

Polair Polda Sulsel Bantah Ada Tindakan Kekerasan

Direktur Kepolisian Air Polda Sulsel Kombes Pol Hery Wiyanto membantah adanya tindakan kekerasan saat mengamankan nelayan dan aktivis.

"Sesuai laporan anggota tidak ada yang melakukan kekerasan, anggota mengamankan mereka karena mereka mengejar kapal penyedot pasir yang selesai dia lempari bom molotov dan memotong kabel listrik kapal," kata Kombes Pol Hery Wiyanto dikonfirmasi terpisah.

Selain itu, ia juga menampik adanya penrusakan perahu milik nelayan.

"Pengrusakan perahu juga nggak (tidak) ada kalau perahunya rusak pasti orangnya kecebur (tenggelam) di laut," ujarnya.

Kronologi Penangkapan Versi Polair Polda Sulsel

Kronologi penangkapan nelayan dan aktivis serta tiga jurnalis mahasiswa itu, kata Hery Wiyanto bermula saat puluhan lepa-lepa (perahu kecil) nelayan mengejar kapal PT Royal Boskalis.

Selain itu, kata dia, nelayan melakukan pelemparan batu dan bom molotov serta memotong kabel listrik peunumaticnya di lokasi quarry.

"Karena dilempari bom molotov kapal balik ke Makassar dan dikejar-kejar kapal nelayan, ketemu tim dari Polairud dan diamankan 12 orang," terangnya.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved