Pahala tersebut adalah seperti puasa terus-menerus dalam hidupnya.
Sebagaimana cerita Abu Dzar Al Ghiffari berikut ini:
"Kami diperintah oleh Rasulullah SAW agar berpuasa sebanyak tiga kali di setiap bulan yakni pada hari-hari cemerlang: tanggal 13 14 dan 15. Sabdanya, bahwa puasa itu seperti puasa sepanjang masa." (HR Nasa'i).
2. Memenuhi wasiat Rasulullah
Umat Islam adalah kesayangan Allah dan juga Rasulullah,.
Betapa banyak bentuk kasih sayang Rasulullah pada umat Muslim berupa petunjuk dan ajuran menuju kebaikan.
Seperti anjuran dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dan yang kedua oleh Muslim, Abu Hurairah dan Abu Darda':
"Junjunganku Rasulullah SAW berpesan kepadaku akan tiga hal yang jangan sampai ditinggalkan selama hidup, yaitu berpuasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dua rakaat dan shalat witir dua rakaat sebelum tidur."
Kedua orang sahabat Rasulullah tersebut diberi pesan yang berlaku bagi seluruh umat, seakan-akan beliau bersabda:
"Umat-umatku, laksanakan 3 hal sepanjang hidup kalian setiap harinya, tanpa boleh lupa, yaitu puasa 3 hari dalam sebulan, shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum tidur."
Seakan Beliau menyatakan bahwa dengan melaksanakan ketiga hal tersebut, akan banyak keutamaan dan keuntungan yang akan kita dapatkan.
Selain itu, ada pesan Rasulullah SAW kepada Abu Qatadah bin Milhan ra:
"Adalah Rasulullah SAW menyuruh kita berpuasa pada hari-hari putih, yaitu tanggal 13. 14 dan 15 setiap bulan." (HR Abu Daud).
3. Mengikuti kebiasaan Rasulullah
Rasulullah SAW tak hanya menganjurkan sahabat dan umatnya untuk berpuasa 3 hari dalam sebulan.
Beliau juga menjalankannya sepanjang hidup.
Ini merupakan salah satu akhlak utama Rasulullah yang tak hanya memerintahkan namun beliau sendiri merupakan pelaku utama dari perintah tersebut.
4. Dilaksanakan baik di rumah atau berpergian
Bukti komitmen Rasulullah akan puasa tanggal 13, 14 dan 15 ini adalah beliau tak pernah meninggalkannya dalam kondisi apapun baik sedang di rumah maupun saat berpergian.
Seperti cerita Ibnu Abbas ra:
"Rasulullah SAW tidak pernah berbuka pada hari-hari putih, baik beliau sedang di rumah atau dalam perjalanan." (HR Nasa'i).
Ini membuktikan bahwa penting dan utamanya puasa ini, hingga beliau tak ingin melewatkannya dalam kondisi apapun.
Bagaimana Jika Ayyamul Bidh saja dengan Senin Kamis, tanpa Qadha Ramadhan?
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Beberapa dhowabith (batasan) dan qowaid dalam hal menggabungkan niat dalam ibadah:
1. Masalah menggabungkan niat dalam ibadah di dalam ilmu fikh disebut dengan Tasyrik an-Niyat (Menggabungkan niat) atau Tadakhol an-Niyah.
2. Hukum menggabungkan niat menurut Syaikh Muslim bin Muhammad bin Majid ad-Dusari (Dosen Fakultas Syariah di Univ Imam Ibnu Su’ud) ada tiga kondisi:
Kondisi Pertama: Menggabungkan niat dalam ibadah yang dapat membatalkan ibadah itu sendiri. Yaitu orang yang meniatkan sesuatu yang bukan bagian dari ibadah dengan ibadah, maka tidak mungkin bisa tadakhul (saling bersatu). Misalnya seseorang yang niat berkurban karena Allah dan selain Allah, maka niat kurbannya batal dan ibadahnya menjadi haram.
Kondisi Kedua: Menggabungkan niat yang tidak membatalkan niatnya maupun ibadahnya, seperti seseorang yang berniat suatu ibadah dengan ibadah lainnya yang memang memungkinkan tadakhul. Seperti orang yang salat dua rakaat dengan niat Tahiyatul Masjid dan Qabliyah salat wajib.
Kondisi Ketiga: Menggabungkan niat yang membatalkan salah satu ibadahnya, tidak kedua-duanya, karena niat di dalam kedua ibadah tersebut tidak bisa tadakhul. Seperti misalnya orang yang berniat puasa qadha Ramadan digabungkan dengan niat puasa sunnah Syawal.
3. Kondisi kedua dan ketiga di atas dijelaskan para ulama, bahwa ibadah itu ada dua macam:
a. Ibadah al-Maqshudah Lizatiha:
Ibadah yang dituju secara zat/esensinya. Yaitu yang dimaksud oleh syariat secara khusus pengerjaannya (dan juga sebutannya), dan tidak sah jika dimasuki niat ibadah lainnya. Ibadah seperti ini secara umum yang paling banyak, seperti salat, puasa, haji, dll.
b. Ibadah Ghoyru Maqshudah Lizatiha:
Ibadah yang tidak dituju secara zatnya. Yaitu ibadah yang tidak dimaksud oleh syariat secara khusus pengerjaannya, sehingga bisa dimasuki niat ibadah lainnya. Seperti salat Tahiyatul Masjid, di mana Nabi ﷺ hanya memerintahkan untuk salat dua rakaat ketika masuk masjid, maka boleh salat sunnah ataupun salat wajib itu sendiri (seperti salat fajr). Intinya, saat masuk masjid salat dua rakaat. Demikian pula dengan salat sunnah wudhu, Nabi ﷺ memerintakkan untuk salat dua rakaat setelah wudhu tanpa mengkhusukan jenis salatnya.
Termasuk juga puasa tiga hari dalam sebulan, maka ini juga bersifat umum. Boleh puasa pada Ayyamul Bidh, Puasa Senin Kamis, Puasa Dawud ataupun Puasa Mutlak (bebas). Yang penting puasa sebulan minimal tiga hari.
4. Ketika dalam satu ibadah berkumpul beberapa niat ibadah, ada beberapa kondisi:
– Terkumpulnya Ibadah Maqshudah Lizatiha dengan Maqshudah Lizatiha. Misal niat salat wajib Zuhur dengan salat sunnah Qabliyah Zuhur, maka ini tidak boleh. Salat Zuhurnya sah, namun salat Qabliyahnya tidak sah (menurut pendapat sebagian ulama). Bahkan menurut ulama lainnya kedua-duanya tidak sah.
– Terkumpulnya ibadah Maqshudah Lizatiha dengan Ghoyru Maqshudah Lizatiha. Misal niat salat Qabliyah Zuhur dengan salat Tahiyatul Masjid dan salat Bakda Wudhu, maka ini boleh dan sah.
Contoh lainnya pula puasa sunnah tiga hari dalam sebulan bergabung niat dengan puasa Senin, juga sah dan boleh.
– Terkumpulnya ibadah Ghoyru Maqshudah Lizatiha dengan Ghoyru Maqshudah Lizatiha, misal niat salat Tahiyatul Masjid dengan Salat Mutlak Wudhu. Ini juga sah dan boleh.
5. Meski dalam beberapa kondisi diperbolehkan untuk menggabungkan niat beberapa ibadah dalam satu ibadah, sekaan seperti satu kayuh beberapa pulau terlampaui, namun secara asal hendaknya ibadah itu dikerjakan dengan niat masing-masing, dan ini lebih utama.
Di dalam kaidah disebutkan:
Ma kana aktsaru fi’lan kana aktsaru fadhlan (semakin banyak amalannya, maka semakin besar keutamaannya), asalkan tetap memenuhi syarat ibadah yaitu IKHLAS dan MUTABA’AH (Mencontoh Nabi ﷺ).
Maka dengan demikian, apabila kita hendak melakukan ibadah sunnah, jika memungkinkan masing-masing, seperti misal puasa Senin Kamis sendiri, puasa Ayyamul Bidh sendiri dst. Kecuali apabila terjadi bersamaan, misal puasa Senin Kamis jatuh pada hari Ayyamul Bidh.