Guru Honorer
Kisah Guru Honorer di Pulau Bahuluang hingga Belajar Daring Selama Pandemi, Arti: Makasih Telkomsel
Namanya Sukarti. Orang memanggilnya Arti. “Hidup adalah pilihan, maka memilihlah jika kamu ingin hidup,” begitulah prinsip hidup perempuan 31 tahun
Penulis: Arif Fuddin Usman | Editor: Arif Fuddin Usman
Jaringan seluler Telkomsel diakui Arti lumayan bagus di pinggir pantai. Tapi kalau sudah bergerak jauh pesisir, timbul tenggelam dan lebih banyak hilang.
“Jadi kalau mau berkomunikasi dengan keluarga atau teman, saya berlama-lama di pesisir. Itupun tidak semua pesisir ada jaringan,” jelas Arti.
Bapak Meninggal Dunia
Dalam sembilan tahun mengabdi sebagai guru honorer di SMPN 7 Kecamatan Bontosikuyu, pengalaman yang tak bisa dilupakan Sukarti. Adalah saat ia menerima kabar bapaknya sedang terbaring tak berdaya di rumah sakit di tahun2015.
Arti berniat pulang ke menjenguk dan menemani bapaknya selama dirawat. Namun bapaknya yang sudah berusia lanjut tak merestuinya pulang ke Benteng. “Jangan tinggalkan tanggung jawabmu di sana, kalau cuma mau menemani bapak”, lirihnya.
Namun Arti tidak mematuhi perintah bapaknya. Dia meminta izin ke kepala sekolah untuk pulang. Sesampainya di rumah sakit, Arti mendapati bapak memaksa pulang ke rumah meskipun masih membutuhkan perawatan.
Sehari saja Arti menikmati kebersamaan dengan bapak dan keluarga. Di hari kedua, setengah memaksa sang ayah memintanya kembali ke tempat tugas.
Karena tidak kuasa menolak, Arti pun berangkat ke tempat tugasku keesokan harinya. “Kata Bapak, aku tidak boleh berlama-lama meninggalkan peserta didikku yang sangat membutuhkan kehadiranku,” ujarnya.
Apalagi saat itu Arti diberi amanah oleh pihak sekolah untuk menggandakan di Kota Benteng dan membawa kembali soal Ujian Akhir Sekolah (UAS) ke Pulau Bahuluang.
Nah, saat perjalanan kembali ke Pulau Bahuluang, tiba-tiba hujan turun disertai angina kencang dan ombak bergulung. Nahkoda terpaksa mematikan mesin kapal karena jarak pandang yang sangat terbatas.
“Langit gelap seakan mengisyaratkan kami untuk berhenti sejenak. Seluruh penumpang basah kuyup karena terpaan hujan dan ombak,” kisah Arti dari ujung telepon.
“Aku berusaha merapikan pembungkus soal UAS yang aku bawa serta. Biarlah aku basah kuyup asalkan soal-soal itu tak ikut basah,” lanjutnya.
Tidak berselang lama, langit mulai berangsur-angsur cerah, nahkoda kembali menghidupkan mesin dan perjalanan kembali dilanjutkan.
“Kami pun tiba di tempat tujuan dengan selamat. Buru-buru kuangkat barang bawaanku termasuk soal UAS yang sejak tadi berlindung di bawah tas pakaianku,” lanjutnya.
Saat ujian berlangsung, tahun 2015, Arti aku menerima kabar bahwa kondisi bapaknya memburuk. Tapi Arti tak bisa berbuat apa-apa. Dia ada di seberang lautan. Perempuan berhijab ini harus menunggu hingga ujian akhir sekolah selesai untuk segera pulang dan menemani bapak.