Duit Negara untuk Influencer
Daftar Influencer Pemerintahan Jokowi Mulai dari El Rumi Anak Ahmad Dhani Hingga Gritte Agatha
Daftar influencer Pemerintahan Jokowi Mulai dari El Rumi Anak Ahmad Dhani Hingga Gritte Agatha
TRIBUN-TIMUR.COM - Kata kunci influencer masih jadi Trending Google hingga saat ini.
Gara-gara ICW membongkar ratusan miliar uang Negara dihabiskan untuk membiayai influencer.
Sejumlah artis dalam dokumen resmi Negara dipakai sebagai influencer.
Mulai dari Gritte Agatha, El Rumi putra Ahmad Dhani dan Maia Estianty, serta Ali Syakieb. Instansi Kemendikbud yang dipimpin Nadiem Makarim paling wow.
Apa itu influencer?
Apa itu influencer? Diberitakan Kompas.com (21/8/2020), influencer adalah orang atau akun media sosial yang memiliki nama dan latar belakang jelas yang bertujuan menyebarkan informasi atau mendukung sesuatu isu atau orang.
"Jadi kalau misalnya akun tersebut memiliki nama dan real orangnya, contohnya selebritis atau profesi lainnya yang punya follower besar dan punya sikap atau preferensi untuk mendukung sesuatu atau tidak mendukung sesuatu maka bisa disebut dengan influencer," ujar pengamat media sosial Enda Nasution, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (21/8/2020).
"Dalam kategori influencer, mereka memiliki nama asli dan latar belakang yang jelas, misalnya orang-orang partai, politisi, orang bisnis, atau pengamat-pengamat politik, kita tidak bisa menyebut mereka sebagai buzzer, mereka adalah influencer yang punya preferensi dukung mendukung sesuatu isu atau orang," jelas Enda.
Berbeda halnya dengan buzzer.
Enda menjelaskan buzzer merupakan akun-akun di media sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan.
" Buzzer lebih ke kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, lalu kemudian biasanya memiliki motif ideologis atau motif ekonomi di belakangnya, dan kemudian menyebarkan informasi," kata Enda.
Lembaga pemantau antikorupsi, Indonesia Coruption Watch atau ICW mengungkap, pemerintah telah menghabiskan Rp 90,45 miliar untuk aktivitas digital yang melibatkan jasa influencer.
"Total anggaran belanja pemerintah pusat untuk aktivitas yang melibatkan influencer mencapai Rp 90,45 miliar," kata peneliti ICW Egi Primayogha dalam konferensi pers, Kamis (20/8/2020).
Angka tersebut didapat dari hasil penelusuran ICW pada situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sejumlah kementerian dan lembaga pada periode 2014-2018.
Terdapat 34 kementerian, 5 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), serta dua institusi penegak hukum yakni Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung yang ditelusuri.
Egi menuturkan, pengadaan untuk aktivitas yang melibatkan influencer baru muncul pada 2017 dan terus berkembang hingga 2020 dengan total paket pengadaan sebanyak 40 sejak 2017-2020.
"Di tahun 2014, 2015 dan 2016 kami tidak menemukan kata kunci itu. Mulai ada penggunaannya di tahun 2017, hingga akhirnya meningkat di tahun berikutnya," kata Egi.
Egi menuturkan, instansi dengan anggaran pengadaan jasa influencer adalah Kementerian Pariwisata dengan nilai Rp 77,6 miliar untuk 22 paket pengadaan jasa influencer.
Instansi lain yang menggunakan jasa influencer adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Rp 1,6 miliar untuk 12 paket), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Rp 10,83 milair untuk 4 paket), Kementerian Perhubungan (Rp 195,8 juta untuk 1 paket), serta Kementerian Pemuda dan Olahraga (Rp 150 juta untuk 1 paket).
Egi mencontohkan, Kemendikbud menggunakan jasa influencer; digunakan untuk menyosialisasikan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Dalam lampiran yang ditunjukkan Egi, Kemendikbud mengucurkan dana Rp 114,4 juta untuk membayar artis Gritte Agatha dan Ayushita WN serta Rp 114,4 juta untuk Ahmad Jalaluddin Rumi atau El Rumi putra Ahmad Dhani dan Maia Estianty, dan Ali Syakieb.
Sementara, Kemenpar menghabiskan Rp 5 miliar untuk pengadaan berjudul Publikasi Branding Pariwisata Melalui International Online Influencers Trip Paket IV.
Terkait penggunaan jasa influencer ini, pemerintah diminta transparan dalam segi penggunaan anggaran serta penentuan nama-nama influencer yang akan ditunjuk.
Egi juga mempertanyakan peran instansi kehumasan yang dimiliki Pemerintah dengan maraknya penggunaan jasa influencer tersebut.
"Apabila penggunaan jasa influencer semakin marak seperti apa gitu, kan jadi tidak berguna jangan-jangan peran institusi kehumasan yang dimiliki oleh pemerintah," kata Egi.
Adapun secara umum pemerintah telah menghabiskan anggaran senilai total Rp 1,29 triliun untuk aktivitas digital sejak 2014, termasuk di dalamnya Rp 90,45 miliar yang digunakan untuk pengadaan 'influencer'.
Rp 1,29 Triliun untuk Aktivitas Digital
ICW juga mencatat, pemerintah telah menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,29 triliun untuk keperluan aktivitas digital sejak tahun 2014 hingga 2020.
Egi mengatakan, anggaran tersebut digunakan untuk belanja penyediaan infrastruktur untuk menunjang kegiatan di ranah digital, pengadaan komputer dan media sosial, serta membayar influencer.
"Secara garis besar, itu total anggaran belanja pemerintah pemerintah pusat terkait aktivitas digital secara umum mencapai Rp 1,29 triliun, ini secara umum memang, belum kita breakdown sampai ke berapa influencer-nya gitu," kata Egi.
Angka tersebut didapat dari hasil penelusuran ICW pada situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sejumlah kementerian dan lembaga yang dikumpulkan pada 14 Agustus 2020 hingga 18 Agustus 2020 lalu.
Terdapat 34 kementerian, 5 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), serta dua institusi penegak hukum yakni Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung yang ditelusuri.
Berdasarkan hasil penelusuran ICW tersebut, belanja pemerintah untuk aktivitas digital mulai meningkat sejak tahun 2017.
Pada 2017, ICW menemukan terdapat 24 pengadaan terkait aktivitas digital dengan nilai paket pengadaan mencapai Rp 535,9 miliar.
Padahal, pada tahun 2014 hanya ada 2 paket pengadaan dengan nilai Rp 609 juta, lalu pada 2015 ada 3 paket pengadaan dengan nilai Rp 5,3 miliar, serta 1 paket dengan nilai Rp 606 juta pada 2016.
Adapun pada 2018 terdapat 42 paket pengadaaan dengan niai Rp 247,6 miliar dan 36 paket pengadaan dengan nilai Rp 183,6 miliar pada 2019.
"Untuk 2020 sendiri, bisa jadi jumlahnya semakin meningkat karena barangkali ada saja yang belum dipublikasikan di LPSE gitu, sehingga jumlahnya bisa meningkat dari Rp 322,3 miliar," kata Egi.
Sementara itu, bila ditilik dari kata kuncinya, paket pengadaan untuk aktivitas digital yang terbanyak adalah terkait media sosial yakni sebanyak 68 paket pengadaan dengan nilai paket Rp 1,16 triliun.
Sedangkan, pengadaan terkait jasa influencer atau key opinion leader (KOL) berjumlah 40 paket pengadaan dengan nilai mencapai Rp 90,45 miliar.
Egi mengatakan, total anggaran aktivitas digital itu dapat membengkak bila penelitian dilakukan dengan mengecek dokumen anggaran sebagai bahan data atau mencantumkan LPSE institusi lainnya.
"Tidak menutup kemungkinan sebetulnya secara jumlah ini lebih besar. Kalau tadi jumlahnya Rp 1,29 triliun bisa jadi jumlahnya lebih besar dari itu, belum lagi kalau ditambah pemerintah daerah," kata Egi.
Jalan Pintas
ICW khawatir meningkatnya penggunaan jasa influencer oleh instansi pemerintah akan membuat pemerintah terbiasa mengambil jalan pintas.
Egi mengatakan, jalan pintas yang dimaksud adalah pemerintah memanfaatkan influencer untuk memengaruhi opini publik terkait sebuah kebijakan yang kontroversial.
"Misalnya guna memuluskan sebuah kebijakan publik yang terutamanya mendapat kontroversi, maka Pemerintah mengambil jalan pintas dengan menggunakan jasa influencer untuk mempengaruhi opini publik," kata Egi.
Egi mengatakan, hal tersebut dapat menjadi persoalan karena mengindikasikan tidak sehatnya proses demokrasi.
Sebab, pengerahan influencer itu dikhawatirkan menutup ruang percakapan publik terkait kebijakan kontroversial tersebut.
"Dia bisa bisa mengaburkan substansi kebijakan yang telah disusun, dan pada ujung akhirnya berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik tentang kebijakan itu," kata Egi.
Ketua YLBHI Asfinawati menambahkan, pengerahan influencer atau buzzer juga dapat menipu publik apabila informasi yang dipublikasikan bayaran, bukan pendapat pribadi.
"Yang masalah dengan dengan influencer atau buzzer, publik itu tidak bisa membedakan mana yang karena pendapat pribadi atau mana yang karena iklan. Mungkin beberapa orang bisa mengira-ngira tapi lebih banyak yang tidak," kata Asfinawati.
Menurut Asfinawati, hal berbeda ditunjukkan media massa seperti televisi atau radio yang memberi batas jelas antara siaran yang bersifat berita dan siaran iklan.
"Pemisahan yang tegas antara mana yang iklan, mana yang pesanan, dan mana yang genuine itu yang sulit kita temukan akhir-akhir ini dengan fenomena influencer atau buzzer ini," kata Asfinawati.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Saat Dana Miliaran Rupiah untuk Influencer Jadi Sorotan..."