Satrawan, Budayawan Ajip Rosidi Suami Artis Nani Wijaya Meninggal Setelah Terjatuh, Profil dan Karya
Sastrawan dan budayawan Ajip Rosidi suami artis Nani Wijaya meninggal dunia setelah terjatuh, profil dan karyanya.
TRIBUN-TIMUR.COM - Sastrawan dan budayawan Ajip Rosidi suami artis Nani Wijaya meninggal dunia setelah terjatuh, profil dan karyanya.
Innalillahi wainna ilaihi rajiun.
Sastrawan dan budayawan Ajip Rodisi meninggal dunia di usia 82 tahun.
"Betul, saya sedang mengurus segala sesuatu ini," kata salah seorang anak Ajip Rosidi, Nundang Rundagi dikutip dari Antara, Rabu (29/7/2020) malam.
Suami dari Nani Wijaya ini menjalani operasi di RSUD Tidar Kota Magelang, Jawa Tengah akibat terjatuh di rumah anaknya di Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
Nundang menambahkan, ayahnya menjalani operasi karena perdarahan di otak.
Saat ini, kata Nundang, dirinya tengah sibuk mengurus jenazah ayahnya.
Ajib Rosidi, sastrawan yang berasal dari Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, menaruh minat besar terhadap perkembangan bahasa dan sastra Sunda.
Dirinya meraih gelar doktor kehormatan, honoris causa, bidang ilmu budaya dari Universitas Padjadjaran pada 9 tahun lalu.
Tak Tamat SMA, tapi Ngajar di Kampus
Disalin dari laman Wikipedia.org, Ajip Rosidi lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938.
Beliay mulai menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Jatiwangi (1950), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953) dan terakhir, Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956).
Meski tidak tamat sekolah menengah, namun dia dipercaya mengajar sebagai dosen di perguruan tinggi Indonesia, dan sejak 1967, juga mengajar di Jepang.
Pada 31 Januari 2011, ia menerima gelar Doktor honoris causa bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Ajip mula-mula menulis karya kreatif dalam bahasa Indonesia, kemudian telaah dan komentar tentang sastra, bahasa dan budaya, baik berupa artikel, buku atau makalah dalam berbagai pertemuan di tingkat regional, nasional, maupun internasional.
Ia banyak melacak jejak dan tonggak alur sejarah sastra Indonesia dan Sunda, menyampaikan pandangan tentang masalah sosial politik, baik berupa artikel dalam majalah, berupa ceramah atau makalah.
Dia juga menulis biografi seniman dan tokoh politik.
Ia mulai mengumumkan karya sastra tahun 1952, dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada waktu itu seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Indonesia, Zenith, Kisah, dll.
Menurut penelitian Dr. Ulrich Kratz (1988), sampai dengan tahun 1983, Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek yang paling produktif (326 judul karya dimuat dalam 22 majalah).
Bukunya yang pertama, Tahun-tahun Kematian terbit ketika usianya 17 tahun (1955), diikuti oleh kumpulan sajak, kumpulan cerita pendek, roman, drama, kumpulan esai dan kritik, hasil penelitian, dll., baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda, yang jumlahnya sekitar seratus judul.
Karyanya banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, dimuat dalam bunga rampai atau terbit sebagai buku, a.l. dalam bahasa Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Perands, Kroatia, Rusia, dll.
Pada umur 12 tahun, saat masih duduk di bangku kelas VI Sekolah Rakyat, tulisan Ajip telah dimuat dalam ruang anak-anak pada harian Indonesia Raya.
Sejak SMP Ajip sudah menekuni dunia penulisan dan penerbitan.
Ia menerbitkan dan menjadi editor serta pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955).
Pada tahun 1965-1967 ia menjadi Pemimpin redaksi Mingguan Sunda; Pemimpin Redaksi majalah kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979); Pendiri penerbit Pustaka Jaya (1971).
Mendirikan dan memimpin Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda (PPP-FS) yang banyak merekam Carita Pantun dan mempublikasikannya (1970-1973).
Menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981).
Bersama kawan-kawannya, Ajip mendirikan penerbit Kiwari di Bandung (1962), penerbit Cupumanik (Tjupumanik) di Jatiwangi (1964), Duta Rakyat (1965) di Bandung, Pustaka Jaya (kemudian Dunia Pustaka Jaya) di Jakarta (1971), Girimukti Pasaka di Jakarta (1980), dan Kiblat Buku Utama di Bandung (2000).
Terpilih menjadi Ketua IKAPI dalam dua kali kongres (1973-1976 dan 1976-1979).
Menjadi anggota DKJ sejak awal (1968), kemudian menjadi Ketua DKJ beberapa masaja batan (1972-1981).
Menjadi anggota BMKN 1954, dan menjadi anggota pengurus pleno (terpilih dalam Kongres 1960).
Menjadi anggota LBSS dan menjadi anggota pengurus pleno (1956-1958) dan anggota Dewan Pembina (terpilih dalam Kongres 1993), tetapi mengundurkan diri (1996).
Salah seorang pendiri dan salah seorang Ketua PP-SS yang pertama (1968-1975), kemudian menjadi salah seorang pendiri dan Ketua Dewan Pendiri Yayasan PP-SS (1996).
Salah seorang pendiri Yayasan PDS HB Jassin (1977).
Sejak 1981 diangkat menjadi guru besar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka), sambil mengajar di Kyoto Sangyo Daigaku (1982-1996) dan Tenri Daignku (1982-1994), tetapi terus aktif memperhatikan kehidupan sastra-budaya dan sosial-politik di Tanah Air dan terus menulis.
Tahun 1989 secara pribadi memberikan Hadiah Sastera Rancagé setiap yang kemudian dilanjutkan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikannya.
Setelah pensiun ia menetap di desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Magelang, Jawa Tengah.
Meskipun begitu, ia masih aktif mengelola beberapa lembaga nonprofit seperti Yayasan Kebudayaan Rancagé dan Pusat Studi Sunda.
Pada tahun 2008, beberapa sastrawan mengapresiasi karyanya yang dituangkan dalam buku berjudul Jejak Langkah Urang Sunda 70 Tahun Ajip Rosidi.(*)