Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

TRIBUN WIKI

Kopi Setia, Kuandy Jita, dan Kho Ping Hoo

Penggalan kisahnya disadur dari buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang yang ditulis Andhy Pallawa

Editor: Jumadi Mappanganro
Tribun Timur
Buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang. Ditulis Andhy Pallawa. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Bagi pecinta kopi di Makassar dan sekitarnya, nama Kopi Setia sangat melekat.

Tidak sedikit warung kopi terkenal di Kota Makassar dan daerah lainnya di Sulawesi Selatan mengambil kopi dari Kopi Setia.

Nah berikut ini kami sajikan sekilas sejarah Kopi Setia yang tak hanya di Makassar, tapi kini telah hadir di sejumlah kota besar di Jawa dan Bali.

Juga disajikan sedikit cerita jatuh bangun Kuandy Jita, sang perintis usaha Kopi Setia.

Usianya kini 78 tahun. Ia masih segar bugar. Masih kerap berenang di laut bersama para sahabatnya.

Lalu apa hubungannya Kho Ping Hoo dengan Kuandy Jita dan Kopi Setia yang menjadi judul tulisan ini?

Rupanya nama Kopi SETIA erat kaitannya komik karya Liong Jit Seng.

Berikut ini penggalan kisahnya yang disadur dari buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang yang ditulis Andhy Pallawa, alumni Universitas Hasanuddin.

Diterbitkan Global Publishing. Cetakan I: Januari 2015.

1. Keliling Beli Biji Kopi Mentah ke Sinjai dan Polewali

Kuandy Jita (78) bercerita, usaha kopi yang dirintisnya berawal dari pertemuannya dengan Oei Mau Tjiang, teman sekolahnya di Ching Hua dahulu.

Ching Hua adalah sekolah setingkat sekolah dasar. Dulu berlokasi di Jalan Irian, Makassar.

Mau Tjiang mengajak Kuandy Jita berdagang dengan membeli biji kopi dan pisang kepo di Pasar Sentral Sinjai. Saat itu tahun 1967-an.

Dengan modal dari pinjaman berbunga dengan jaminan emas pemberian istri, Kuandy Jita pun berkeliling membeli kopi dan pisang kepo dari para pedagang dan pengumpul yang ditemui di Pasar Sentral Sinjai.

Kopi yang dibelinya kemudian dibawa ke Makassar. Lalu dijual kepada eksportir di kawasan Jalan Nusantara.

Sedangkan pisang kepo terlebih dulu dipotong-potong kecil dan dijemur. Setelah kering baru dijual ke pengrajin makanan untuk dibuat kripik manisan.

Lalu atas saran sopir bus Padaidi Padaelo, Kuandy Jita dan Mau Tjian pindah melakukan pembelian kopi dari Sinjai ke Monomulyo, Polewali.

Selain kualitasnya lebih bagus, juga bisa membeli dalam jumlah lebih banyak karena daerah ini memang dikenal sebagai sentra penghasil kopi.

Untuk menghemat pengeluaran karena biaya angkutan barang saat itu mahal, kopi yang dibeli tidak dikirim menggunakan truk atau mobil angkutan umum.

Ayah 4 anak ini memilih menumpang di mobil milik Pertamina yang menyalurkan minyak tanah dan bensin ke daerah-daerah. Termasuk ke Wonomulyo.

Empat karung berisi 400 kg biji kopi miliknya kemudian ditempel sebelah menyebelah di perut tangki yang diikat dengan tali plastik.

Sedangkan Kuandy Jita duduk di depan bersama sopir dan kernet.

Perjalananan Wonomulyo ke Makassar waktu sekira 14 jam.

Sebagai balas jasa, Kuandy tahu diri dengan mentraktir makan dan rokok kepada sopir dan kernetnya.

Namun suatu hari, musibah itu datang. Harga kopi mentah di pasar dunia tiba-tiba anjlok, di bawah harga pembelian di Polewali.

Semua eksportir segera menyesuaikan harga pembelian. Maka tak ada pilihan lain bagi Kuandy kecuali istirahat sembari menunggu harga kopi kembali normal.

Beruntung, Mau Tjiang mengenal pemilik toko Lien Hong Fat (Toko Ujung) di Jalan Somba Opu, Makassar.

Toko ini merupakan penjual kopi bubuk eceran terkenal di Makassar.

Oleh pemiliknya, The Dian Hong, anak dari Caddi Bangkeng, Kuandy Jita dipinjamkan alat penggilingan dan penggorengan kopi model drup putar tangan.

Alat sederhan ini berkapasitas 10 kg dengan masa penggorengan satu jam, memakai kayu bangko untuk pembakaran.

Penggorengan dilakukan di warung kopi An Cim di Jalan Buru, Makassar.

Dengan cara ini, Kuandy Jita dan Mau Tjiang bisa terhindar dari kerugian sebab harga kopi yang sudah digorengnya lebih mahal dibanding kopi mentah.

Apalagi pihak Toko Ujung juga bersedia membeli kopi yang digoreng Kuandy Jita.

Kadang jika teringat kejadian ini, hati Kuandy Jita berliput sedih.

Tetapi akhirnya ia meyakini bahwa setiap kesulitan selalu ada jalan keluarnya.

Ini sesuai pesan bijak leluhur orang Tiongkok: shi bai qi shi zhi you yi zhong na jiu shi ni ban tu er fei.

Artinya, kegagalan sebenarnya hanya satu: ketika meninggalkan pekerjaan yang belum selesai.

Sumber: Buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang

2. Goreng Kopi di Bekas Kandang Ayam

Saat Kuandy Jita masih anak-anak bersama ibu dan kakaknya

Hanya beberapa pekan menggoreng kopi warung kopi An Cim di Jalan Buru, Kuandy Jita dan Mau Tjiang sepakat pindah ke Jalan Irian, Makassar.

Alat penggorengan dari The Dian Hong pun diboyong dan ditempatkan di sebuah bekas kandang ayam.

Letaknya tepat di belakang rumah Kuandy Jita. Luasnya sekira 2 x 3 meter persegi. Kongsi kedua sahabat ini berjalan lancar.

Kuandy Jita bertugas di bagian produksi. Sedangkan Mau Tjiang menangani pembelian kopi mentah dan pemasaran.

Mau Tjiang memang banyak kenalan hingga mudah membangun jaringan untuk mendistribusikan kopi produksi mereka.

Pasokan kopi mentah dibeli dari Ance Lie Hin dan Angko Tjie Hong di Jalan Agussalim, Makassar.

Belakangan, Mau Tjiang menyatakan ingin bekerja sama dengan kakak iparnya di Jalan Lompo Battang, Makassar, untuk membangun pabrik kopi.

Maka kongsi yang sudah berjalan lebih setahun akhirnya bubar pada tahun 1968.

Kondisi itu membuat Kuandy Jita sempat bingung lantaran kurang menguasai teknik-teknik pembelian bahan baku dan aspek pemasaran.

Juga karena saat itu Kuandy Jita masih berstatus warga negara asing (Tiongkok), sehingga belum mendapat izin memiliki usaha.

Meski demikian, Kuandy tetap melanjutkan usaha penggorengan kopi walau mesti memulai lagi dari nol.

Tercatat pelanggannya saat itu hanya Grand Hotel dan beberapa warung kopi di Makassar.

Ia juga masih menggunakan alat dari The Dian Hong, kendati sudah ketinggalan zaman dengan kapasitas produksi yang sangat terbatas.

Tapi keterbatasan itu justru memicu semangat kerjanya. Omsetnya pun terus naik.

Sumber: Buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang

3. Naik Sepeda Butut Pasarkan Kopi dan Pesan Ayah

Kuandy Jita bersama sahabatnya

Tak lama kemudian, Kuandy Jita memesan mesin penggorengan modern yang sama dengan milik Mau Tjiang di bengkel milik Ance Sengah di Jalan Andalas, Makassar.

Seiring perjalanan waktu, pemasaran kopi produksi Kuandy Jita juga terus berkembang.

Mengatasnamakan izin usaha milik rekannya, Angko Siong Teng, Kuandy Jita menyuplai kopi ke Toko Ujung dan para pedagang kopi di Pasar Sentra Makassar, Pasar Cidu, Pasar Maccini, dan Pasar Pabaengbaeng.

Kopi yang disuplainya tak lagi terbatas pada kopi biji, tetapi juga kopi bubuk dalam kemasan.

Selain ke pasar, ia juga menyuplai bubuk kopi ke sejumlah warung kopi di Makassar yang umumnya dimiliki warga dari suku Hainan (salah satu etnis di Tiongkok).

Hampir semua warung kopi mereka menempati sudut-sudut jalan. Makanya mereka kerap dikenal dengan sebutan China Panyingkulu.

Kuandy Jita mengantar langsung kopi yang telah digorengnya ke pasar-pasar dan warung kopi tersebut setiap hari dengan naik sepeda butut.

Namanya juga usaha, tidak selalu berjalan mulus. Ketatnya persaingan, membuat Kuandy Jita harus banting tulang mencari peluang-peluang pasar yang baruagar tetap bisa eksis.

Termasuk memberi merk Bentoel dan Bendera untuk kopi bubuk kemasan yang dijualnya.

Ini dilakukan agar ada ciri khusus yang akan diingat oleh konsumen. Namun strateginya ini kurang berhasil.

Apalagi kemasannya masih menggunakan plastik. Sedangkan produksi serupa dari Jawa telah memakai kertas timah sehingga aromanya tetap terjaga dalam waktu lama.

Yang membuat Kuandy Jita bertahan bisnis kopi karena mengingat dan menghargai pesan ayahnya, Djie A Tjek, sebelum meninggal pada 1968.

Ketika itu ayahnya berpesan khusus agar Kuandy Jita fokus mengurus bisnis kopi.

“Usaha kopi harus dipertahankan. Selain karena masa depannya cerah, juga terbuti bisa menghidupi keluarga,” pesan ayah Kuandy Jita yang disapanya sebagai Papa.

Pesan almarhum ayahnya itu dicamkan baik-baik oleh Kuandy Jita.

Maka setiap mendapat untung dari usaha perdagangan umum, pemilik Shio Kambing ini terus membenahi dan menambah alat penggorengan kopinya.

Sehingga kapasitas produksi kopinya pun semakin besar dengan aroma yang lebih harum dan berminyak.

Setahun berikutnya, Kuandy Jita membangun pabrik penggilingan kopi yang lebih luas dan permanen. Berukuran 10 x 12 meter persegi. 

Sumber: Buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang

4. Suntikan Dana dari Bank dan Peran Adik

Kuandy Jita bersama ibunya, istri, adik, dan anak-anaknya

Dengan sejumlah pembenahan, dari hari ke hari perkembangan bisnis kopi Kuandy Jita menggembirakan.

Bersama adiknya, Rully Jita, dan dibantu lima pekerjanya, Kuandy Jita bekerja keras mengembangkan bisnis penggorengan kopinya.

Terlebih setelah beberapa bank seperti Bank Panin, Bank Buana dan BNI memberinya suntikan modal.

Belakangan usahanya ini berubah nama menjadi PT Setia Jita Pratama.

“Nama ini atas usulan adik saya, Rully Jita,” tulis pria kelahiran Kaiping, Provinsi Ghuang Dong, Tiongkok, ini yang dikutip dari buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang.

Rully juga yang mendatangkan mesin penggorengan kopi modern merk Probat buatan Jerman sehingga produksi semakin meningkat.

Kata Kuandy Jita, adiknya ini memang seorang pekerja keras dan pintar sehingga pada tahun 1983 melakukan diversifikasi usaha dengan memproduksi sirup Jita dan mendirikan pabrik fiberglass.

Sumber: Buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang

5. Pabriknya Pindah Gegara Diprotes Tetangga

Kuandy Jita bersama keluarga dan sepupunya di Bangkok

Keberadaan pabrik penggorengan kopi milik Kuandy Jita yang hari demi hari terus berkembang, mendapat hambatan.

Sejumlah tetangganya keberatan dan bahkan terang-terangan memprotes karena merasa terganggu dengan asap dan bau kopi yang menyengat dari pabriknya.

Sejumlah tetangganya sampai menyatakan keberatannya ke polisi serta sejumlah pihak lainnya.

Beberapa kali Kuandy Jita terpaksa memenuhi panggilan polisi.

Menghormati protes tetangganya itu, pada 1986 Kuandy Jita memindahkan pabrik penggorengan kopinya dari Jalan Irian ke Jalan Ir Sutami. Berjarak sekira 5 km dari jembatan Tallo.

Tapi sebelum memindahkan pabriknya, Kuandy Jita terpaksa harus meminjam uang untuk membeli lahan di Jalan Ir Sutami, Makassar.

Saat itu, katanya, harga tanah di sana masih relatif murah yakni Rp 3.000 per meter persegi.

Ia pun membeli lahan seluas 5.200 meter persegi dengan lima lembar sertifikat. Lahan yang dulunya bekas sawah itu kemudian dibanguni pabrik.

Setelah cukup lama di Jalan Ir Sutami, pabrik kopi milik Kuandy Jita kemudian pindah lagi ke Kawasan Industri Makassar (KIMA).

Ini karena adanya kebijakan Pemerintah Kota Makassar yang menertibkan semua industri dalam satu kawasan tertentu. Ini berlangsung sampai sekarang.

Terkait hal itu, Kuandy Jita kemudian merasa sangat berterima kasih atas protes sejumlah tetangganya.

Sebab dengan demikian, ia ‘dipaksa’ berusaha keras untuk pindah.

“Kalau bukan karena keberatan mereka, boleh jadi usaha saya tidak berkembang seperti sekarang,” tulis Kuandy Jita dalam buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang.

Kuandy Jita pun sangat sadar dengan ungkapan arif yang tertanam kuat dalam sukmanya: sui ran bie ren fan cuo, ru guo ni da fa lei ting, jiu shi deng yu na bier en de cuo wu cheng fa zi ji, dao tou lain a fan cuo de ying gai shi ni zi ji le.

Artinya: Saat orang lain berbuat salah dan kau menyambutnya dengan marah, itu sama dengan mengambil kesalahan orang lain sehingga akhirnya kamulah yang bersalah.

Sumber: Buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang

6. Kenapa Diberi Nama Kopi SETIA?

Toko Kopi Setia di Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo No 181, Makassar. (Sumber foto: https://kopisetia.business.site/)

Kuandy Jita bercerita, nama SETIA yang menjadi brand bisnis kopinya itu terinspirasi dari komik Kho Ping Hoo.

Ayah lima anak (Emmy Jita, Rita Jita, Congky Jita, Hengky Jita dan Sanlewa Jita) ini mengaku sejak muda menyukai komik karya Liong Jit Seng.

Menurutnya, Kho Ping Hoo memiliki daya tarik tersendiri karena bercerita tentang dunia kang ouw, dunia persilatan yang penuh pergumulan dan pertarungan antara kekuatan baik melawan kekuatan-kekuatan jahat.

Di tengah pertarungan kedua kekuatan ini, terselip kisah-kisah percintaan yang romantis.

Ceritanya juga mengandung nilai etis, filosofis dan kemanusiaan yang universal. Misalnya tidak mudah menegakkan kebenaran sebab akan diadang banyak tantangan.

Kekuatan fisik dan keahlian silat saja tidak cukup untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan kejahatan.

Perlu keyakinan yang teguh, semangat yang tak kunjung padam, dan kesabaran. Termasuk pentingnya membangun KESETIAAN.

Terutama kesetiaan kepada mereka yang telah menanam budi dalam kehidupan. Demi kesetiaan ini, nyawa pun bahkan sering menjadi taruhan.

Pesan-pesan etik ini disajikan dalam cerita Kho Ping Hoo secara cukup tipikal tanpa terkesan mendikte para pembaca.

Harapan Kuandy Jita, dengan filosofi KESETIAAN, baik di antara para pemilik maupun dengan para pekerja pabrik kopi akan terbangun sikap kebersamaan yang melahirkan produktifitas tinggi.

Termasuk kesetiaan untuk tetap konsisten menyuguhkan aroma kopi berkualitas buat konsumen penikmati Kopi Setia. (*)

Sumber: Buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang

7. Dari Ghuang Dong ke Makassar

Kuandy Jita bersama pengurus Pengurus Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Sulsel menemui Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah di Kantor Gubernur Sulsel, Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, Rabu (10/10/2018).

Kuandy Jita bercerita, awalnya ia bernama lengkap Djie Hong Kuan. Djie itu nama marganya. Hong artinya burung besar. Sedangkan Kuan artinya logam keras.

Namun namanya berubah saat rezim Orde Baru mewajibkan warga etnis Tionghoa yang bermukim di Nusantara agar menggunakan nama Indonesia.

Maka namanya pun berubah menjadi Kuandy Jita. Tapi ia tak tahu arti nama barunya ini.

Yang diketahuinya, ia lahir di Kaiping. Sebuah pedesaan masuk dalam wilayah Provinsi Ghuang Dong, Tiongkok selatan.

Tanggal lahirnya, ada dua versi. Pertama, Kuandy Jita disebut lahir pada Selasa, 21 Februari 1943. 

Kedua, 17 Januari 1942. Versi terakhir inilah yang tercatat dalam kartu tanda penduduk (KTP) dan dokumen resmi atas nama Kuandy Jita

Perintis usaha Kopi Setia ini lahir dari pasangan Djie A Tjek dan Tjiang Chong Tak. 

Pada 1949, Kuandy Jita dan ibunya meninggalkan Ghuang Dong menuju Makassar. Menggunakan kapal laut. 

Makassar menjadi tujuan karena mengikuti panggilan ayahnya yang lebih awal bermukim di sini.

Di Makassar, Kuandy Jita dan keluarganya bermukim di Jalan Irian No 173. Rumahnya terbilang besar, walau bangunannya sangat sederhana.

Beratap seng tua. Berdinding kayu. Berlantai tegel yang terkesan mewah zaman itu.

Halaman rumahnya lumayan luas, 1.400 meter persegi. Sebagian digunakan untuk tempat penggergajian kayu. 

Usaha penggergajian ayahnya terbilang modern dan besar saat itu.

Ketika kebanyakan usaha serupa masih menggunakan tenaga manusia, penggergajian ayahnya sudah menggunakan mesin yang diimpor dari luar negeri.

Pelanggannya, para pengrajin mebel yang banyak terdapat di Jalan Sulawesi, Jalan Jampea, dan Jalan Butung. Ada juga beberapa tukang kayu rumah tangga dan kontraktor yang sering bangun rumah.

Sejak kecil, Kuandy Jita tumbuh menjadi anak mandiri. Saat adiknya lahir, Kuandy Jita rutin menggantikan ibunya belanja ke Pasar Bacan.

Setiap hari ia juga harus memberi makan babi yang diternak ibunya. Untuk itu, ia selalu ke Pasar Bacan mencari sayur sawi, wortel, dan kangkung yang sudah layu dan dibuang penjualnya.

Sering pula mengumpulkan sisa-sisa makanan dan tulang ikan dari warung Pangkep di Jalan Andalas. 

Pada 1958, Kuandy Jita berhenti sekolah. Saat itu sedang duduk di bangku kelas dua SMP.

Ia kemudian mengikuti kursus elektronik EKA di Jalan Bulusaraung (kini Jalan Jenderal M Jusuf). Lalu belajar di bengkel mesin bubut Sam Heng yang berada di depan rumahnya.

Seingat Kuandy Jita, Sam Heng adalah bengkel mesin bubut terbesar di Makassar pada masa itu. Salah satu pelanggannya adalah pabrik minya kelapa Heng Sun di Jalan Cakalang.

Ia berhenti bekerja di bengkel itu setelah mengalami kecelakaan yang menyebabkan ujung jari telunjuknya putus dan jari tengahnya terlipat. 

Kuandy Jita kemudian pindah kerja ke Toko Mas Kim Weng di Jalan Somba Opu pada tahun 1962. Di sini, ia belajar menjadi tukang mas sekaligus tinggal bersama pemilik toko selama hampir setahun.

Karena tinggal menumpang, Kuandy Jita sudah bangun pukul 5 subuh dan segera bekerja. Karena ulet, Kuandy Jita bisa menyelesaikan satu kalung emas dalam sehari. 

Sedangkan beberapa orang yang juga bekerja di Toko Mas Kim Weng butuh dua hari baru bisa menyelesaikan satu kalung emas serupa. 

Kuandy Jita kemudian mencoba menjadi pedagang. Berawal dari ajakan Man Che, rekannya yang bermukim di Jalan Sangir, Makassar.

Man Che adalah cucu Liem Sam Cit, pemilik pabrik minyak kelapa dan termasuk orang terkaya di Manado, Sulawesi Utara, saat itu.

Kuandy Jita kemudian diajak ke Surabaya. Di Kota Pahlawan itu, ia dibekali modal usaha oleh keluarga Man Che.

Dengan kesepakatan 30 persen keuntungan untuk Kuandy Jita dan 70 persen untuk pemilik modal.

Kuandy Jita kemudian memulai perdagangan umum. Di Surabaya, ia membeli barang berupa rokok, gula pasir, semen, seng, dan berbagai kebutuhan lainnya untuk dikirim ke Makassar.

Pengiriman barang dilakukan menggunakan espedisi di Pelabuhan Tanjung Perak. Sering pula ia ikut mengantar langsung barang ke Makassar.

Setelah barangnya semua terjual di Makassar, barulah Kuandy Jita kembali lagi ke Surabaya. Usahanya ini memberinya lumayan untung.

Waktu itu, pengiriman barang melalui kapal laut hanya bisa dilakukan sekali dalam dua atau tiga pekan. Sehingga banyak waktu lowong. 

Di sela-sela waktu lowong itu, Kuandy Jita juga menyempatkan membeli karung  goni bekas di Makassar untuk dikirim ke Surabaya. Selisih harganya lumayan memberinya banyak untung.

Namun usahanya ini sempat terhenti gegara pembagian keuntungan tak lagi sesuai kesepakatan awal.

Kondisinya diperparah dengan kejadian kerusuhan rasial di Makassar pascaperistiwa G-30 S PKI. 

Barang-barang dagangannya banyak dijarah. Toko perhiasannya di Pasar Sentral yang diurusnya juga tutup pada 1966.

Saat itu, Kuandy Jita telah mempersunting Yenny Suciandy, gadis pujaannya. Putri sulungnya, Emmy Jita, baru berusia setahun.

Sumber: Buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved