Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tribun WIki

TRIBUN WIKI: Sejarah Penamaan Seko, Sebuah Kecamatan Terpencil di Luwu Utara

Kecamatan ini berada di wilayah pegunungan dan berbatasan langsung dengan Sulawesi Barat.

Penulis: Chalik Mawardi | Editor: Sudirman
Ist
Pemandangan alam Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan 

TRIBUNLUTRA.COM, SEKO - Seko adalah sebuh kecamatan di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Kecamatan ini berada di wilayah pegunungan dan berbatasan langsung dengan Sulawesi Barat.

Terdapat beberapa versi mengenai nama Seko.

Menurut sejumlah informan kata Seko berarti sahabat atau saudara.

Kata Seko muncul dari istilah Sisekoang yakni ikatan hidup harmonis dalam segala perbedaan.

Padanan kata yang sama dengan kata ini ialah lea yang diartikan sebagai saudara, kerabat dan sahabat.

Dikutip TribunLutra.com, Jumat (3/7/2020) dari sejumlah sumber, nama Seko muncul pada waktu terjadi ritual rekonsiliasi.

Antara masyarakat Seko Embonatana dengan masyarakat Karama di bagian barat Seko.

Waktu itu kedua pimpinan suku (Tobara’) mengadakan pertemuan perdamain yang dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat kedua suku.

Dalam upacara rekonsiliasi itu terjadi pemotongan kerbau jantan sebagai simbol perdamaian.

Daging kerbau dimakan secara bersama sedangkan kepalanya ditanam.

Sebelum kepala kerbau ditanam, kedua kepala suku berdiri di depan masyarakat sambil mengucapkan kata perdamaian.

Inti kata perdamaian yang diucapkan adalah sisekome, sileame (saapan yang menunjukkan kedekatan yang akrab seperti sahabat, kerabat dan saudara).

Karena itu kata siseko atau sisekoang mengandung makna yang sakral dan harus dipatuhi.

Sementara narasi lain menjelaskan bahwa kata Seko berasal dari nama seorang moyang masyarakat Seko yang bernama Seko.

Kemudian menikah (mappobahine) dengan seorang putri dewi air (anak ni lea, Dehata Uhai).

Perkawinan itu berlangsung di kediaman dewa air (lipu dehata).

Dari perkawinan itu, melahirkan lima anak laki-laki yakni Yane, Honeang, Balong, Padang, dan Tappa.

Kelima anak mereka masing-masing diwariskan tanah untuk dihuni sebagai tempat berburu dan bercocok tanam.

Lalu masing-masing anak Seko mendirikan perkampungan sesuai nama mereka.

Yane mendirikan kampung Hoyane, Honeang mendirikan kampung Pohoneang, Balong mendirikan kampung Amballong.

Padang mendirikan kampung Padang yang juga disebut Hono’, Tappa yang tinggal di daerah Kalletehong tidak dapat mendirikan perkampungan sebab ia 'mandul'.

Informan tidak menjelaskan asal kelima istri anak Seko.

Daerah yang dihuni oleh kelima anak itu kemudian diberi nama Seko sesuai dengan nama moyang mereka.

Versi yang lain menceritakan bahwa dahulu kala orang Seko dikenal dengan dua perkampungan besar yakni kampung Pohoneang dan Hono.

Leluhur kedua kampung tersebut berasal dari keturunan tosumalu (orang yang datang menyuri sungai) menikah dengan seorang gadis Panasuan, bagian barat Seko Embonatana.

Di Seko mereka melahirkan lima anak laki-laki lalu menyebar menduduki daerah itu.

Cerita lainnya menegaskan moyang masyarakat Seko bernama Hulu Pala, menikah dengan seorang bernama Tamelai, lalu melahirkan lima anak laki-laki.

Tapadang, Tabalaong, Tahoneang dan Tayane dan masing-masing mendirikan kampung sendiri di Seko.

Anak kelima berpropesi sebagai pottappa’ (pandai besi) tidak mendirikan kampung sendiri, keturunannya membaur di kampung saudara-saudaranya.

Masyarakat itu menggunakan bahasa Seko sebagai bahasa sehari-hari yang tidak serumpun dengan bahasa Toraja, Luwu, Enrekang, Bugis, Mamuju, Rampi, dan Bada.

Bahasa Seko mempunyai kemiripan dengan bahasa penduduk Panasuan di lereng gunug Sandapang sebelah barat kampung Pohoneang dan Tabulahang di daerah Mambi.

Kedua komunitas ini merupakan penduduk asli Seko, sedangkan generasi kedua datang di Seko ialah masyarakat To Lemo dari daerah Kanandede, Rongkong yang tidak tahan dengan kesewenang-wenangan para pemimpin masyarakatnya.

Kaum eksosdus ini disambut oleh para pemuka masyarakat Seko di Pohoneang dan diberi pemukiman di daerah Lemo, sebelah barat dekat Sungai Uro.

Kemudian mereka dikenal dengan To Lemo, dengan menggunakan bahasa Rongkong suatu dialek bahasa Toraja.

Unsur yang ketiga masuk di Seko ialah masyarakat Rampi yang datang dari daerah Bada’ Sulawesi Tengah dan tinggal di Sigkalong bagian utara Seko Padang.

Diantara tiga komunitas itu berlangsung ikatan kekeluargaan yang baik, harmonis dan damai didalamnya terjadi perkawinan silang.

Sehingga interaksi itu semakin mengeratkan hubungan sosial antara mereka.

Daerah yang dihuni oleh tiga unsur masyarakat Seko di atas dibagi menjadi tiga bagian.

Yaitu Seko Padang di timur, Seko Embonatan di bagian tengah dan Seko Lemo di bagian barat.

Seko sendiri merupakan kecamatan yang terletak ±1200–1800 M di atas permukaan laut.

Pada segitiga perbatasan antara Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah.

SK Bupati Luwu Utara Nomor 300 tahun 2004 mengakui daerah Seko dengan 9 wilayah adat.

Wilayah itu masing-masing dipimpin oleh ketua adat.

Wilayah adat Hono' dipimpin oleh Tubara’ Hono, wilayah adat Lodang dipimpin Tubara Lodang, wilayah adat Turong dipimpin Tubara’ Turong, wilayah adat Singkalong dipimpin Tokey, wilayah adat Ambalong dipimpin Tobara Embonatana.

Wilayah adat Hoyane dipimpin Tobara’ Hoyane, wilayah adat Pohoneang dipimpin Tobara’ Pohoneang, wilayah adat Kariango dipimpin Tomukaka Kariango’ dan Wilayah adat Beroppa’ dipimpin Tomukaka Beroppa’.

Laporan Wartawan TribunLutra.com, Chalik Mawardi

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved