Masyarakat Adat
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tuding Negara Danai Perampasan Wilayah Adat
Sekjend AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan, Perpres itu merupakan langkah mundur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan wilayah adatnya.
Penulis: Jumadi Mappanganro | Editor: Jumadi Mappanganro
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menolak lahirnya Perpres Nomor 66 Tahun 2020 Pendanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
AMAN menyatakan kehadiran Perpres tersebut sama saja negara secara terang-terangan mendanai perampasan wilayah adat.
Direktur Advokasi Hukum dan HAM AMAN Muhammad Arman menyampaikan hal itu melalui rilisnya ke tribun-timur.com, Senin (29/6/2020) malam.
Sekjend AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan kehadiran Perpres Nomor 66 Tahun 2020 itu merupakan langkah mundur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan wilayah adatnya.
• Pasien Covid-19 di Sulsel Bertambah 197, Makassar Terbanyak 143 Orang
"Padahal tanpa Perpres No. 66 tahun 2020 saja, proses pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat atas wilayah adatnya telah tersandera melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang berbelit-belit, sektoral, dan tumpang tindih," tutur wanita berdarah Toraja yang terpilih memimpin AMAN pada 19 Maret 2017 lalu di Medan, Sumatera Utara ini.
Deputi IV Sekjend AMAN Bidang Sosial Budaya Mina Setra juga berpandangan bahwa penerbitan Perpres 66 Tahun 2020 itu justru bertolak belakang dengan seruan Presiden Jokowi untuk membangun solidaritas seluruh kalangan termasuk masyarakat adat, petani, dan nelayan untuk menghadapi ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19.
Mengantisipasi krisis pangan sebagai akibat dari pandemi ini hanya dapat dilakukan jika petani dan masyarakat adat punya kejelasan hak atas tanah meraka dan hak mengusahakan atau mengelola tanah dan wilayah adatnya secara leluasa, lepas dari gangguan konflik dan perampasan.
Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat (PPMAN) Nuramalia juga menilai bahwa terbitnya Perpres 66 makin memperkuat legitimasi perampasan tanah termasuk wilayah masyarakat adat.
Perpres 66 akan semakin memperpanjang kriminalisasi masyarakat adat dalam mempertahankan hak atas wilayah adatnya.
“Lahirnya Perpres 66 merupakan rangkaian peraturan perundang-undangan yang berwatak refresif dan mempertegas politik hukum yang eksploitatif terhadap sumberdaya alam,” papar Nuramalia.
• Digelar Oktober, Kompetisi Liga 1 Akan Dipusatkan di Pulau Jawa, Ini Penjelasan Ketua PSSI
Mengutip rilis yang diterima tribun-timur.com, AMAN menegaskan bahwa saat ini yang paling dibutuhkan oleh masyarakat adat pengesahan RUU Masyarakat Adat yang telah mangkrak selama 10 tahun di DPR RI.
RUU Masyarakat Adat merupakan utang konstitusi dan Komitmen Nawacita Presiden Jokowi periode pertama.
Kelahiran UU Masyarakat Adat sejatinya merupakan jalan pemulihan hak-hak masyarakat adat untuk menjadi warga negara yang seutuhnya. Hal ini sejalan dengan prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.
Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, AMAN menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak Presiden untuk mencabut Perpres No.66 Tahun 2020, yang akan melegalkan perampasan wilayah adat atas nama pembangunan proyek strategis nasional dan mengakibatkan konflik dan pemiskinan bagi masyarakat adat.
Model-model pembangunan harus dilandaskan dan didayagunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana telah dimandatkan secara tegas di dalam kontitusi dan tujuan bernegara.
2. Mendesak Presiden dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang yang menyediakan proses pengakuan, perlindungan dan
pemenuhan hak-hak masyarakat adat secara holistik. (*)