Tribuners Memilih
Soal Pilkada Asimetris, Pengamat Politik Unibos: Terlambatmi Pak Tito
Ide penerapan Pilkada asimetris oleh Mendagri Tito Karnavian ditanggapi Pakar Politik Universitas Bosowa (Unibos) Arif Wicaksono.
Penulis: Muhammad Fadhly Ali | Editor: Suryana Anas
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Ide penerapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) asimetris oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian ditanggapi dingin Pakar Politik Universitas Bosowa (Unibos) Arif Wicaksono.
Menurutnya, wacana itu sulit diterapkan, selain teknis juga substansinya.
"Terlambat mi Pak Tito. Konsep pilkada asimetris sudah lama mengiringi konsep desentralisasi asimetris. Kalau mau dirubah lagi, butuh waktu dan proses yang panjang dan lebih mahal," ujar Arif via pesan WhatsApp, Senin (22/6/2020).
Menurutnya, karena sudah terlambat, kenapa baru sekarang terpikirkan?
"Padahal konsep desentralisasi asimetris sudah lama disuarakan? Menurut saya harus dikaji ulang lagi oleh pemerintah, tidak bisa ujug-ujug Mendagri berwacana, kemudian harus jadi," ujarnya.
Dosen Unibos itu menilai, ada hal yang lain juga, terkait hal tersebut. Apa ukurannya kedewasaan berdemokrasi?
"Mengapa ada kesan, bahwa demokrasi prosedural dilaksanakan berdasarkan kelas? Apa jaminan sebuah daerah yang dikatakan maju, berpendapatan (PAD) tinggi, kemudian dengan serta merta demokrasi proseduralnya bisa secara langsung?" ujarnya.
Begitupun sebaliknya, mengapa di daerah yang belum maju demokrasinya lewat DPRD saja?
"Katakanlah pilkada DKI Jakarta yang lalu, status ibukota negara, penduduknya well educated, high class, lantas dengan serta merta kualitas pilkadanya bagus, begitu?" ujarnya.
Yang ada malahan Pilkada DKI Jakarta jadi percontohan buat daerah diseluruh Indonesia, bahwa sentimen keagamaan, label agama, politik identitas, bagaimanapun resiko pembelahan masyarakatnya, bisa direplikasi di daerah lain.
"Pendekatan itu berbau rasisme. Justru karakter sosial yang inheren dalam diri masyarakat yang harus dijadikan indikator penilaian utama menurut saya," katanya.
Relasi etnis, agama, budaya, dan konflik seharusnya menjadi titik awal merubah lanskap kepolitikan di ranah lokal. Tinggi atau rendahnya kelas suatu daerah, tidak menjamin kualitas demokrasi kita semakin baik.
"Pilkada asimetris ala Pak Tito menghilangkan keunikan daerah. Kecuali kalo disepakati bahwa tinggi dan rendah kelas sebuah daerah, itulah keunikannya," jelas Arif.(tribun-timur.com)
Laporan Wartawan Tribun-Timur.com, @fadhlymuhammad