KEINDONESIAAN
Soekarno, Sosiolog FISIP Universitas Hasanuddin
Fakultas Sospol (FISIP) Universitas Hasanuddin dengan memberinya gelar Doktor HC kepada Soekarno (1964).
Oleh: Anwar Arifin AndiPate
Guru Besar Ilmu Komunikasi
Bulan Juni, dipopulerkan sebagai bulan Soekarno oleh para pengikutnya. Soekarno lahir 6 Juni 1901 di Surabaya. Wafat 21 Juni 1970 di Jakarta.
Bahkan Soekarno menyampaikan pidato bersejarah 1 Juni 1945 dalam Rapat BPUPK tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia Merdeka kelak.
Soekarno juga selaku Ketua Panitia Kecil berhasil menyelesaikan rumusan Rancangan Pembukaan UUD yang dikenal Piagam Jakarta.
Hal itu dapat kita pahami sebagai realitas sosial-politik yang patut diingat dari generasi ke generasi.
Pada 'Bulan Soekarno' ini patut juga dikenang beliau sebagai ahli ‘sosiologi politik’ yang diakui Fakultas Sospol (FISIP) Unhas dengan memberinya gelar Doktor HC kepada Soekarno (1964).
• Media Inggris Sebut Anies Lebih Cepat Respon Covid-19 Ketimbang Jokowi & Bertindak Layaknya Oposisi
Artinya Soekarno telah berusaha keras memahami realitas sosial Indonesia dengan menggunakan metode penalaran induktif.
Soekarno memahami realitas (das sein) bahwa 96% dari sekitar 72 juta jiwa penduduk Indonesia masih buta huruf, miskin, dan sakit-sakitan, sehingga perlu pemimpin yang kuat, cerdas, jujur, berwibawa, dan bijak.
Soekarno juga yakin bahwa demokrasi liberal masyarakat industri Barat yang kapitalistis tidak bisa diterapkan di Indonesia yang masih tergolong masyarakat agraris, kolektif, dan beragam yaitu terdiri atas: 1340 suku yang memakai 746 bahasa, dan mendiami 16.056 pulau.
Rakyat Indonesia juga dikenal sebagai masyarakat yang rukun dan relegius dengan beraneka agama, yaitu: Islam (sekitar 88%), Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Kebhinekaan tersebut kemudian melahirkan pengelompokan dalam bentuk organisasi sosial dan organisasi politik (partai politik) diawal abad ke-20.
Tiap organisasi itu memperjuankan ideologi masing-masing.
• Pasien Positif Corona Bertambah 3 Orang di Pinrang
Realitas itu dipahami Soekarno dengan berupaya menemukan suatu ideologi-politik yang dapat diterima semua pihak yaitu Pancasila atau lima perisip yang dapat diterima bersama sebagai dasar negara Indonesia Merdeka kelak.
Pancasila merupakan satu ideologi yang berbeda dengan semua ideologi yang ada di dunia.
Pancasila yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945, (18 Agustus 1945), dapat disebut ‘Ideologi Tengah’, yang berbeda dengan liberalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat, serta tidak-sama dengan komunime di Uni Soviet.
Jika Pancasila diperas menjadi satu sila, maka Soekarno menyebut ‘Gotong-royong’.
Gotong-royong atau kekeluargaan tersebut, kemudian menjadi asas dalam merumuskan UUD 1945.
Artinya Indonesia didesain sebagai negara gotong-royong (kekeluargaan) yang tidak mengenal ‘oposisi’ dan ‘koalisi’, karena yang kalah dan memang dalam pemilihan-umum, harus sama-sama memerintah dan menyusun GBHN Gagasan kekeluargaan bagi negara sebagai bentuk kolektivisme telah dipopulerkan Ki Hadjar Dewantara sejak 1919.
• Wagub Sulsel: Kita Fokus Tekan Penyebaran Sembari Sosialisasi
Asas itu mencakup semua tatanan politik paternalistik yang dipimpin khikmat kebijaksanaan yaitu demokrasi dengan kepempimpinan.
Gagasan itu didukung Soekarno, Hatta, dan Soepomo. Bahkan Soeharto dan AH Nasution mengakui gagasan Ki Hadjar sebagai prinsip dasarnya.
Hal tersebut sejalan prinsip demokrasi musyawarah dalam ajaran Islam yang memerlukan pemimpin dalam bermusyawarah.
Hal itu Presiden Soekarno (1959-1966), dengan nama ‘Demokrasi Terpimpin’ Indonesia berani tanpil beda dan berani memelopori lahirnya kelompok negara Non-Bolok yang tak disukai negara kapitalis (Blok Barat) dan negara komunis (Blok Timur). (*)
Artikel ini telah dimuat di Kolom Keindonesiaan koran Tribun Timur edisi cetak Kamis, 11 Juni 2020