Citizen Analisis: Bom Waktu Kisruh Bantuan Tak Bertuan di Tengah Pandemi Corona
justru ada ditemukan mendapat bantuan, hanya karena kedekatan dengan oknum aparat desa/kelurahan, dan kepala dusun.
Pun kategori hanya pembaca judul berita, tanpa mengetahui atau membaca isinya terlebih dahulu. Dan biasanya, ada yang langsung ikut-ikutan “bersuara”, dan membagikan postingan hoax itu.
Pemandangan ini bukan sesuatu yang sulit dijumpai dibeberapa group sosial media. Malah tidak sedikit, mereka saling mencaci dan menebar kebencian.
Memposisikan diri jauh dari seorang ahli. Sok tahu dan asal memberi komentar. Apalagi kalau sudah ada bumbu kepentingan politik didalamnya. Perdebatannya tak terkontrol.
***
Persoalan bantuan seolah ‘tak bertuan’ memang selalu menjadi perbincangan hangat di negeri kita.
Jauh sebelum ada wabah corona menyerang hampir semua provinsi, pasti isu ini agak sensitif dibahas di masyarakat. Selalu ada kritikan dan cercaaan yang mengiringi. Selalu ada pro-kontra. Luapan kekecewaan didalamnya.
Boleh jadi salah satu penyebab utamanya, karena data yang digunakan sebagian pemerintah daerah tidak akurat.
Data lama yang seolah diperbaharui. Data yang acuannya bukan sesuai syarat, tapi pertimbangan orang dekat atau ada faktor kepentingan politik. Dan tidak menutup kemungkinan juga, ada yang sebatas asal-asalan menggugurkan tanggungjawabnya bila ada pembaharuan data.
Fakta ini terjadi dibeberapa daerah. Sebab jika pendataan akurat, pasti tak ada lagi orang yang sudah meninggal dimasukkan dalam daftar penerima bantuan.
Tidak ada lagi orang yang tergolong kaya menerima bantuan. Tidak ada lagi orang yang benar-benar memenuhi syarat dibantu mengeluh karena tidak dimasukkan. Tidak ada lagi istilah orang “mariale” (hanya yang dekat) di data. Tidak ada lagi kata hanya pendukungnya yang diprioritaskan.
Selain faktor di atas, kita juga tak bisa menutup mata mengenai prilaku sebagian warga. Di saat ada pendataan, tak sedikit kurang pro-aktif memasukkan datanya.
Sekalipun sudah berulangkali diingatkan, diumumkan oleh aparat pemerintahan atau petugas pendataan. Mereka baru memprotes ketika bantuan sudah disalurkan ke warga lainnya. Sementara pendataan sudah berakhir. Ini yang kadang masih sering terjadi.
Berdasar dari potret di atas, maka seharusnya itu menjadi bahan evaluasi dan pelajaran agar tidak terulang lagi kedepannya, terutama di masa pandemic Covid-19. Bantuan harus benar-benar tepat sasaran.
Semua yang berhak menerima, tak boleh luput dari perhatian pemerintah. Harus tersentuh. Mengingat alokasi anggarannya sangat besar. Mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga dana desa.
Nah, jika mengacu pada beragam alokasi bantuan pemerintah selama pandemic Covid-19, maka jumlah Kepala Keluarga (KK) bisa jauh lebih banyak yang tersentuh. Sangat memungkinkan lebih dari jumlah KK secara keseluruhan di kabupaten/kota. Tapi dengan catatan, penyalurannya dan data-datanya tidak tumpang tindih. Benar-benar merata dan adil.
Penerima PKH dan lainnya misalnya, tidak berhak lagi menerima BLT Desa. Begitu pun bantuan sembako atau jenis bantuan lain, tak boleh doubel. Belum lagi kalau memasukkan bantuan kemanusiaan dari non-pemerintah. Seperti dari Baznas, CSR perusahaan dan lintas elemen. Sehingga jika ini diatur dengan baik, maka polemik dan perdebatan soal penerima bantuan akan berkurang.