Hari Puisi Nasional
Selamat Hari Puisi Nasional, Sejarah di Balik Sebuah Hari Mengenang Wafatnya Penyair Chairil Anwar
Puisi merupakan suatu karya sastra yang berasal dari ungkapan atau curahan hati penyair.
Penulis: Nur Fajriani R | Editor: Anita Kusuma Wardana
TRIBUNTIMURWIKI.COM - Setiap tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional sekaligus mengenang wafatnya Chairil Anwar, penyair terkemuka di Indonesia.
Ia diperkirakan membuat 96 karya termasuk 70 puisi. HB Jassin menobatkan Chairil Anwar sebagai pelopor angkatan '45 dan puisi modern bersama Asrul Sani dan Rivai Apin.
Pada Hari Puisi Nasional menjadi kesempatan untuk para netizen mengunggah status bergaya puitis bak seorang pujangga di berbagai akun media sosial mereka.
Puisi merupakan suatu karya sastra yang berasal dari ungkapan atau curahan hati penyair.
Didalamnya berisi karangan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan mengutamakan keindahan kata-kata.
Namun, tahukah kamu sejarah di balik Hari Puisi Nasional?
Nyatanya, hari ini tak sekadar memperingatai Hari Puisi semata, melainkan untuk mengenang wafatnya penyair terkemuka Indonesia, Chairil Anwar.
Dijuluki "Si Binatang Jalang", Chairil lahir pada 26 Juli 1922 dan wafat 28 April 1949.
Artinya, hari ini tepat 71 tahun kepergian sang pelopor puisi modern Indonesia itu.
Namun, kepergian sang penyair tetap dikenang melalui karya-karyanya yang melegenda hingga kini.
Chairil lahir dan besar di Medan, sebelum akhirnya pindah ke Jakarta dengan ibunya pada tahun 1940.
Masa-masa di Jakarta inilah menjadi awal perkenalan Chairil muda dengan dunia sastra.
Saat itu Chairil banyak membaca tulisan-tulisan dari para pengarang internasional ternama.
Karya-karya dari H. Marsman, Edgar du Perron, J. Slaurhoff, dan Rainer M. Rilke sudah menjadi santapannya sehari-hari.
Pada tahun 1942 Chairil mempublikasikan puisi pertamanya, dan terus menulis.
Diperkirakan, ia telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi.
Puisi-puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar menuliskan puisi-puisi yang bertemakan tentang dukungannya terhadap kemerdekaan negara Indonesia.
Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia pun dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.
Chairil meninggal di usia muda.
Puisi terakhir yang ditulisnya berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh pada tahun 1949.
Namun, karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi, sebab menjadi salah satu saksi nyata dukungannya atas kemerdekaan Indonesia.
Berikut beberapa kumpulan puisi Chairil Anwar yang tak lekang oleh waktu.
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan akan akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
CERITA BUAT DIEN TAMAELA
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut
Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan
Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
TAK SEPADAN
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
CahyaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
KARAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
DERAI-DERAI CEMARA
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
(*)
Follow akun instagram Tribun Timur:
Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur:
(*)
Artikel ini telah tayang di tribunkaltim.co dengan judul Hari Puisi Nasional, Peringatan Wafatnya Chairil Anwar, Berikut Kumpulan Puisi 'Si Binatang Jalang'
