Agresi Makhluk Tak Terlihat
Kita akan dipaksa merevolusi sistem kesehatan kita, mengubah pola interaksi sosial, selektif mendatangi kerumunan fisik
Oleh: Muhammad Hamzah
Kepala Subbagian Pemberitaan Pemerintah Kota Makassar
SEJARAH mengintai setiap pilihan langkah yang kita putuskan akhir-akhir ini. Wajah gelap ancaman kekalahan manusia sedang dipahat oleh musuh tak terlihat yang terus bekerja mencabik jiwa demi jiwa, hari demi hari. Corona membuat kita sadar bahwa ini hanyalah satu kemungkinan dari seribu jalan menuju akhir kehidupan Homo Sapiens.
Corona menjelaskan secara mudah tentang begitu rapuhnya sistem yang dibangun manusia, serta meyakinkan kita begitu masuk akalnya runtuhnya peradaban manusia yang telah bertahta sekian abad lamanya.
Hidup tidak akan pernah sama lagi. Masihkah ada jeda sebelum usai, adakah hal yang lebih jelas dibalik beribu tanda tanya ini. Ibarat sebuah perjalanan, adakah yang tahu kita sedang dimana, sudah sampai dimana. Apakah pandemi ini sudah dipuncak, ataukah sudah separuh jalan, atau malah masih proses permulaan.
Belum satupun peta yang selesai di gambar untuk bisa menjadi pedoman dan mengeluarkan kebingungan global manusia saat ini. Corona mempermudah melunakkan hati kita untuk menerima bahwa hidup penuh ketidakpastian.
Namun manusia selalu berhasil menemukan pegangan, entah itu ilalang rapuh, atau lumut yang basah nan licin. Dalam situasi yang tidak jelas, akhirnya orang akan memilih dan mempercayai pendapat berdasarkan arah hembusan kabar angin. Layaknya memilih baju di toko, semua kini berdasarkan selera, apakah memutuskan untuk optimis atau memilih pesimis dan pasrah berjalan menuju kegetiran.
Tidak ada kepastian yang pasti. Di pihak manapun akan sama saja, kekaburan menjadi kawan karib dihari-hari terakhir ini. Untuk para penurut yang tinggal dirumah, para petugas yang berjaga diperbatasan, paramedis yang bertarung digaris depan, relawan yang berjibaku di posko-posko perlawanan, serta kaum yang tidak peduli dan masih terus berkeliaran secara liar dijalan raya.
Inilah waktu yang paling menekan energi batin, menunggu kabar baik dari kaum saintifik yang kini berjibaku di bilik-bilik sunyi, diantara tabung-tabung reaksi, cawang, thermometer serta segala tetek bengek laboratorium demi menemukan formula perlawanan sekaligus memberikan pukulan balasan yang berarti terhadap agresi makhluk yang terlihat.
Hidup tidak akan pernah sama lagi. Entah apa yang dipikirkan Yuval Noah Hariri kini. Adakah buku yang tengah disiapkan tentang perang besar umat manusia atau keruntuhan Homo Sapiens untuk mengoreksi immortality manusia seperti yang ditulisnya di Homo Deus.
Atau setidaknya mengganti hipotesa yang dibangunnya tentang algoritma sebagai penguasa baru yang akan melengserkan peran manusia sebagai pengendali tatanan dunia. Ataukah Corona akan menuntunnya menjadi lebih bijak bahwa selalu ada yang belum kita tahu dan tidak akan pernah kita tahu.
Corona mengajari kita untuk rendah hati dalam ketakutan. Namun, Corona juga mengajak kita untuk membuka dan belajar kembali pada kearifan tradisi lama, tentang gentong tanah liat yang terpasang di samping tangga rumah panggung orang tua kita dulu sebagai alat cuci kaki dan tangan. Tentang jalan keluar yang dilakukan generasi Nabi Nuh yang percaya, patuh dan tunduk untuk naik ke dalam bahtera besar demi melawan ancaman air bah yang datang menggulung.
Bisakah generasi hari ini untuk memiliki kepercayaan yang sama bahwa berani bersabar untuk tinggal di rumah adalah jalan keluar untuk selamat dari adangan invisible enemy yang terus mengintai.
Ataukah ketidakpatuhan menjadi ancaman yang akan membawa kita menuju akhir sejarah penguasaan manusia di dunia, dan awal lahirnya cerita baru tentang sang penakluk yang bernama Virus Covid-19.
Corona juga memperlihatkan mekanisme penyembuhan lingkungan secara nyata dan cepat. Seluruh metode mengurangan emisi demi menjaga kerusakan bumi akibat efek rumah kaca yang terus digemakan sekian tahun lamanya terkalahkan secara mudah oleh kehadiran virus ini. Pun juga sirnanya begitu saja kemacetan lalu lintas metropolitan tanpa perlu revolusi sistem perlalulintasan.
Corona juga mengembalikan tradisi berkumpul di rumah yang sekian lama hilang oleh amuk rutinitas yang menjebak. Para lelaki muslim dewasa kini punya kesempatan untuk belajar mengimami shalat berjamaah di rumah bersama keluarga sebagai imbas pelarangan sementara aktifitas di rumah ibadah.