Darurat Sipil dan Darurat Kesehatan
Di tengah kondisi darurat dan bahaya oleh pendemi global Coronavirus, kehadiran negara dirindukan dalam melindungi segenap tumpah darah rakyatnya.
Oleh: Abdul Azis
(Advokat dan Pemerhati Hak Asasi Manusia)
Teka-teki kebijakan pemerintah dalam penanggulangan covid-19 terjawab setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan darurat kesehatan dan memutuskan memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) (tribunnews.com). Keputusan ini diambil di tengah wabah Coronavirus sudah mulai memuncak dan di tengah bayang-bayang pemberlakuan darurat sipil. Apalagi dalam keterangan sehari sebelumnya presiden Jokowi menyatakan akan memperlakukan darurat sipil dalam mendukung pemberlakuan PSBB jika penanganan wabah corona virus tidak efektif.
Lewat tulisan ini penulis mencoba mengurai dasar dan implikasi dibalik kebijakan darurat sipil dan darurat kesehatan dari sudut pandang hak asasi manusia yakni dalam konteks perlindungan hak sipil dan pemenuhan hak ekosob .
Covid-19 dan Respon Negara
Sejak kemunculan pertama kali di Kota Wuhan Cina pada akhir Desember 2019, Corona Virus Disease Nine Ten (Covid-19) telah menjadi pendemik global. Tingkat kecepatan pendemik Coronavirus ini tidak dibarengi dengan daya tanggap dan mitigasi dari pemerintah.
Respon negara dalam dalam melindungi warganya akibat Covid-19 dirasakan gagap atau setidak-tidaknya lamban. Faktor ini antara lain dipengaruhi oleh lemahnya kepemimpinan dan kurangnya kapasitas pemerintah terutama pola koordinasi dan sistem informasi.
Kondisi ini diperparah oleh sistem informasi dan komunikasi dalam penanganan Covid-19, mulai dari soal validitas jumlah pasien yang terjangkit, tracking pasien positif hingga informasi area sebaran. Apatalagi komunikasi publik pemerintah yang kadang mengabaikan standar manajemen komunikasi resiko darurat dan krisis. Contoh yang paling kontroversi adalah pernyataan juru bicara pemerintah tentang “si kaya dan si miskin” yang cenderung menyudutkan rakyat kecil dalam penanganan Covid-19.
Darurat Sipil
Sebelum ditetapkannya darurat kesehatan, pelaksanaan pembatasan sosial kecemasan warga tidak hanya soal wabah Coronavirus tetapi ditambah dengan ancaman pidana dan sikap represif dari aparatus dalam menertibkan kerumunan atau perkumpulan warga. Situasi ini yang kemudian ditanggapi oleh pemerintah sebagai bentuk pendisiplinan dan penertiban dengan alibi darurat sipil.
Tindakan tersebut bukan hal yang ‘terlarang’ dalam negara rezim otoriter, tapi tidak bagi negara hukum demokratis seperti Indonesia. Di mana semua kebijakan atau tindakan pembelakuan keadaan darurat atau bahaya (state of emergency) harus mengacu pada hukum yang berlaku. Dalam doktrin necessity keadaan bahaya/darurat dapat diberlakukan sewaktu-waktu apabila timbul kebutuhan untuk itu (Pasal 12 UUD 1945).
Singkatnya, kebijakan atau tindakan pembatasan warga (sipil) dengan alasan darurat sipil harus dilakukan atau didasari oleh undang-undang atau setidaknya dalam bentuk pengumuman resmi dan deklaratif.
Pemberlakuan keadaan darurat atau bahaya dalam narasi yang dibangun oleh pemerintah hingga hari ini masih didasarkan pada Perpu No.23 Tahun 1959 tentang penetapan keadaan bahaya yang notabene adalah aturan peninggalan rezim otoriter Orde Lama yang sarat dengan pendekatan keamanan/militer.
Padahal sekarang ini terdapat beberapa regulasi yang lebih relevan seperti UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Letak perbedaan istilah dan konteks bisa ditelusuri dalam muatan ketiga regulasi tersebut. Perpu No.23 Tahun 1959 memuat jenis kondisi bahaya dan tingkat darurat sipil antara lain meliputi pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam, perang atau bahaya perang (pasal 1 ayat 1).
Sementara norma dalam UU No. 24 tahun 2007 lebih relevan dan kontekstual dengan memberikan kategorisasi bahaya bancana kedalam dua jenis yakni bencana alam dan bencana non alam, dimana bencana non-alam disebutkan antara lain berupa: gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. (Pasal 1 angka 3).
Darurat Kesehatan
Darurat kesehatan bisa dikategorikan kedalam keadaan darurat yang lebih khusus. Keadaan ini mengharuskan sebuah penetapan status Kedarutatan Kesehatan Masyatakat (KKM) dalam bentuk keputusan. Ketetapan pemerintah ini kemudian akan dijadikan dasar dan syarat pemberlakuan kebijakan karantina kesehatan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 10 ayat 1-3 UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan.
Dalam penanganan Covid-19 pemerintah telah menerbitkan Kepres No.11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) Cobid-19. Seperti dikutip dalam dalam UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) adalah kejadian masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara” (Pasal 1 angka 2).
Kepres ini dianggap regulasi yang mendahului PP tentang tata cara penetapan dan pencabutan KKM yang seharusnya dibuat paska UU No.6 tahun 2018 diundangkan. Sedangkan terkait dengan karantina wilayah dalam PP No.21 Tahun 2020 tentang PSBB belum menuju kepada sistem lockdown atau karantina seperti beberapa praktek negara lain.
Hal ini jelas terlihat dari ruang lingkup PSBB dalam Pasal 59 ayat (3) yang mengatur libur sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan kegiatan di tempat atau fasum. Pembatasan ini secara operasional telah dijankan jauh sebelum kedua regulasi di atas ditetapkan.
Bahkan di beberapa daerah yang terdampak telah mengambil kebijakan dan langkah penertiban pembatasan sosial bahkan isolasi wilayah terbatas. Arti penting pengaturan keadaan darurat atau bahaya tersebut di atas tidak lain untuk menjamin perlindungan hak asasi warga negara kaitannya dengan hak sipil dan politik seperti hak berkumpul, dan hak berekspresi.
Di mana pada saat kondisi damai atau aman hak-hak tersebut harus dikembalikan seperti keadaan semula kepada warga negara sebagai penyandang hak. Sementara dalam konteks hak ‘ekosob’ pemenuhan hak dasar warga dalam bentuk jaringan pengaman sosial dan pemulihan ekonomi menjadi merupakan wujud dari obligasi dalam pemenuhan hak ekosob oleh negara sebagai pemangku kewajiban.
Di tengah kondisi darurat dan bahaya oleh pendemi global Coronavirus, kehadiran negara dirindukan dalam melindungi segenap tumpah darah rakyatnya. Sebaliknya modal sosial dalam wujud solidaritas kewargaan menjadi dambaan republik.
Mengutip tulisan Yuval Noah Harari (2020) bahwa: dalam masa krisis seperti sekarang, kita dihadapkan dengan dua pilihan penting secara khusus. Pertama, antara pengawasan totaliter dan pemberdayaan sipil. Kedua, antara isolasi nasionalis dan solidaritas global. (*)