Virus Corona
Keresahan Di Antara Minimnya Kesadaran Warga dan APD Covid-19
Sembuhnya dokter ‘Spesialis Bencana’ senior Prof Dr dr Idrus Paturusi, jadi penyemangat baru, bahwa tenaga medis Sulsel bisa melalui masa-masa kritis
Penulis: Thamzil Thahir | Editor: Sakinah Sudin
Social Distancing atau mati ala Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Tiga pekan sudah aktivitas formil, ekonomi, dan kehidupan sosial kita dibelenggu keresahan.
Bukan di Makassar belaka, belenggu keresahan pandemi Corona ini mendera sekitar 3,4 miliar warga di 172 negara dunia.
Itulah defenisi pandemi global.
Kapan keresahan global ini berakhir?
Belum ada satu otoritas pun yang bisa menjamin batas akhirnya.
Jika wabah pneumonia seperti SARs, dan MARs, flu burung lebih mencurigai binatang sebagai pembawa ‘carrier’ wabah, maka pada COVID-19 ini; kita semua berpotensi jadi penyebar.
Kini, kita ‘dipaksa’ untuk waspada. Saling mencurigai.
Daripada dikategorikan orang dalam pemantauan (OPD) atau terpapar, sejauh ini, curiga adalah sikap terbaik.
Imbauan social distancing, jaga jarak, menetap dan kerja dari rumah (stay home notice) dilansir semua level otoritas.
Keputusan para pemimpin rumah tangga, lurah, camat, kepala daerah, direktur, manager hingga presiden, mendahulukan pencegahan tinimbang tindakan.
Nyaris semua pemimpin dunia modern apalagi millennial belum ada pengalaman mengatasi kondisi ini.
Tak terbayang betapa resahnya kita andai virus Corona ini mewabah 15 tahun lalu.
Jika bencana gempa bumi, banjir, atau teroris nyata, virus bernama lengkap Virus Disease 2019 (COVID-19) ini, kasat mata.
Beruntung, aplikasi sosial media mempermudah akses informasi, pola komunikasi dan koordinasi.
Internet dan gadget modern membuat kita update informasi apakah virus itu ada di pemukiman atau lingkungan kerja kita.
Terima kasih banyak jaringan internet.
Lantas bagaimana di kota kita, Makassar?
Seperti di kota lain, Internet hanya pereda hasrat komunikasi sosial sementara.
“Kalau beli pulsa Internet, kami makan apa?”
Di kenyataan sehari-hari, kesadaran pentingnya mematuhi imbauan #jagajarak, #stayhome atau #workfromhome hanya di sektor formil dan kelas menengah-atas warga.
Warga urban dan pekerja sektor informil, seperti pedagang kaki lima, buruh harian, dan transforter kota, kesadaran itu masih jauh dari level patuh.
“Kalau di rumah kami mau makan apa, kodong Pak.” kata Arifuddin Dg Rate (63), pemilik kedai kopi di Jl Dg Ngeppe, Kelurahan Jongaya, Kecamatan Tamalate, Makassar, kepada Tribun, Kamis (2/4/2020).
Meski tak seramai Februari lalu, sejak 14 Maret lalu, kedai Dg Rate, masih disambangi tukang becak, rider dan driver angkutan online, hingga pekerja lepas lainnya.
Pelanggan kedai Dg Rate adalah mereka yang tak punya tabungan apalagi deposito yang cukup untuk bertahan di masa ketidakpastian ini.
Karantina rumah hanyalah imbauan dan harapan elite pengambil keputusan.
Minimnya kesadaran warga untuk memutus mata rantai wabah ini, lebih karena desakan hajat dasar hidup manusia. Makan!
Rendahnya kesadaran warga untuk menetap di rumah juga dikonfirmasi Kapolsek Panakkukang Komisaris Polisi Jamal Fathurrahman (35).
Kapolsek urban di area pusat jasa dan perdagangan kota mengkonfirmasi hampir semua personel markas polisi level kecamatan itu, mulai unit sabara, lalulintas, reserse, intel hingga bintara administrasi turunkan untuk mensosilisasikan imbauan “jaga jarak’ dan kumpul-kumpul jika tak penting.
Namun kesadaran itu dikalahkan desakan perut.
Dia bercerita, beberapa kali dia dan personelnya coba membubarkan ‘kongkow-kongkow” warga di warung kopi, tapi respon yang dia dapat membuatnya ‘mafhum’.
“Kami mau makan apa Pak kalau hanya tinggal di rumah,” ujar perwira lulusan Akpol 2005 ini, di markasnya, Rabu (1/4) malam.
Sepekan terakhir, mantan Kapolsek Mamajang ini, aktif mendampingi aksi penyemprotan, bagi-bagi masker dan handsanitizer oleh kelompok relawan Fakultas Teknologi Industri UMI, tim gugus medis Ikatan Dokter Indonesia, Palang Merah Indonesia dan kelompok masyarakat lain.
Ketua Tim Relawan FTI UMI, Dr Zakir Sabara HW MT, juga miris menemukan respons rendahnya kesadaran warga kota.
Sejak dua pekan lalu, sekitar 20-an relawan mahasiswa dan dosen ini, memilih aksi sosial tinimbang berkoar imbauan di sosial media.
Hingga Kamis (2/4) ini, setidaknya sudah 83 fasilitas publik yang mereka rambah.
Ada 38 sarana medis; 15 rumah sakit, 13 puskesmas, 16 sarana ibadah; (13 masjid 2 gereja, 1 klenteng), dan tujuh markas aparat (polsek dan koramil) serta 32 sarana layanan publik sektor pendidikan, pemerintah, dan transportasi.
Dia menggarisbawahi kesadaran #stayathome atau #workfromhome hanya di level kelas menengah kota.
Untuk menaikkan level kesadaran ini, Panglima Kodam XIV Hasanuddin Mayjen TNI Andi Sumangerukka, Kapolda Sulsel Irjen Pol Mas Guntur Laupe, dan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah selaku penanggungjawab Gugus Kendali COVID-19 Sulsel, terus mengingatkan aparat untuk aktif sosialisasi ke level lorong.
Kesadaran publik hanya untuk pencegahan.
Namun tantangan lain keresahan COVID-19 ini justru muncul di sektor penanganan medis.
Keterbatasan alat pengaman diri (APD) bagi dokter dan paramedik, masker khusus, kaos tangan, rapid test pack untuk sampel darah, obat-obatan, juga tantangan tersendiri.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Makassar Dr dr Siswanto Wahab Sp KK CK kepada Tribun, awal pekan ini, mengkonfirmasikan kondisi ini.
“Rumah sakit rujukan kita terbatas, peralatan dan fasilitas medik dan dokter juga demikian, Namun penanganan ini bisa teratasi jika warga membatasi mobilitas sosial, dan tak panik jika menghadapi gejala sakit, demam, flu, batuk dengan langsung ke rumah sakit. Bantu kami dengan berdiam di rumah,” ujarnya.
Ini belum lagi jika menyoal ketersediaan alat peredam virus bagi pasien positif seperti alat medik polymerase chain reaction (PCR) dengan metode pengambilan lendir di tenggorokan atau organ pernafasan (SWAB), atau ventilator (alat bantu pernafasan).
“Dibanding dua pekan lalu, beberapa hari terakhir, metode penanganan medik relatif lebih rapi. Logistisk APD berangsur mulai datang dari pusat,” ujar salah dr Onasis Ande Sp.Rad, kepada Tribun, Kamis (2/4).
Kebijakan menjadikan semua rumah sakit ‘siaga’ Covid-19 di Sulsel, setidaknya bisa menambah optimisme, Sulsel bisa menghadapi ini.
Dia mengakui, ruang pengetesan atau penanganan khusus seperti metode PCR yang membutuhkan laboratorium Biosafety Level (BSL) atau ICU, juga terbatas.
Menurutnya, dibanding dua pekan lalu, penanangan medik kasus CoVID di Makassar, bisa mengobati keresahan tenaga medik.
Dia mengakui, dokter dan paremedis juga masih dihantui ‘kecamasan terpapar’ virus.
Namun, menurut dokter Onasis, sembuhnya dokter ‘spesialis bencana’ senior Prof Dr dr Idrus Paturusi, Selasa (31/3) lalu, jadi penyemangat baru, bahwa Sulsel bisa melalui masa-masa kritis dan keresahan COVID.
Kini, jelasnya, meski pneumonia ini sejatinya jadi ranah dokter spesialis paru dan penyakit dalam, namun kondisi ini sudah memunculkan kesadaran baru di korps dokter.
“Dalam kondisi ini semua dokter bisa ambil langkah medik. Ini sudah sumpah profesi, keterbatasan APD, juga mulai teratasi, tapi kalau kepanikan warga terus bertambah, tak mau pakai masker kalau keluar rumah, atau terus kongkok-kongkow di luar, virus ini bisa tambah ganas.” (Thamzil Thahir)