Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Karantina Wilayah (Lockdown) dan Prinsip Hidup

Sejak zaman dahulu kala, lelaki Bugis-Makassar adalah keturunan pekerja keras. Lelaki yang tinggal di rumah adalah aib bagi keluarga karena mereka ber

Editor: syakin
zoom-inlihat foto Karantina Wilayah (Lockdown) dan Prinsip Hidup
DOK
A Nojeng Galla Nonci, Dosen Unismuh Makassar/Pengurus Masika-ICMI Makassar

Oleh: A Nojeng Galla Nonci
Dosen Unismuh Makassar/Pengurus Masika-ICMI Makassar

Dunia saat ini sedang diguncang oleh yang tak kasat mata. Walaupun tidak kasat mata, tapi mampu mengguncang dunia dengan teror penyakit dan kematian. Sampai saat ini, sudah ribuan nyawa yang melayang, tanpa pemakaman seperti biasanya, tanpa tangis sanak saudara di pusara.

Setiap saat, manusia menjadi intaian dan incaran virus ganas Covid-19, tanpa memandang usia, kasta, pekerjaan, dan jabatan. Manusia resah, pejabatpun harus berpikir keras dalam mengambil sebuah kebijakan. Salah satu kebijakan yang membuat pemerintah bagaikan makan buah simalakama yakni karantina wilayah (lockdown).

Apakah karantina (lockdown) perlu dilakukan? Semakin meningkatnya jumlah korban setiap saat membuat kekhawatiran dan kepanikan di mana-mana, membuat kecemasan yang amat sangat mengganggu keseharian kita semoga tidak berujung pada gangguan psikologi. Olehnya itu, di beberapa daerah muncullah wacana untuk melakukan karantina wilayah (lockdown) parsial. Wacana ini diembuskan karena sudah hampir setiap daerah sudah terpapar oleh virus Covid-19 tersebut.

Saat ini kepala daerah se-Sulawesi berani menyepakati melakukan hal tersebut tapi belum berujung kepada sebuah putusan, hal ini dikhawatirkan banyaknya protes yang ditakutkan akan berujung kegaduhan dan penjarahan. Walaupun banyak pengamat dan ahli kesehatan yang mengatakan bahwa karantina wilayah (lockdown) secepatnya harus dilakukan untuk menghindari semakin banyaknya korban yang berjatuhan dan memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19.

Karantina wilayah (lockdown) dan prinsip hidup nenek moyang!

Bajikanngangi mate acceraka
Alangkanayya mate cipuruka

Terjemahan:
Lebih baik mati berdarah
Daripada mati dalam kelaparan

Sejak zaman dahulu kala, lelaki Bugis-Makassar adalah keturunan pekerja keras. Lelaki yang tinggal di rumah adalah aib bagi keluarga karena mereka bertanggung jawab. Bahkan ada yang merantau berbulan-bulan hingga bertahun-tahun demi menunaikan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Mereka itulah yang merasa tersiksa dengan kebijakan “di rumah saja”.

Mereka dikarantina, tidak boleh beraktivitas di luar sedangkan mereka butuh biaya, butuh makan.

Ketika ada keputusan pembatasan sosial (social distancing) dan jaga jarak (Psychal distancing), maka berbagai protes terjadi dari beberapa masyarakat yang harus mengais rezeki di luar rumah. Protes terjadi dari masyarakat yang bukan penerima upah bulanan, protes terjadi dari pencari gaji harian, protes terjadi dari bukan penerima gaji yang makannya bergantung dari berapa yang ia dapatkan hari itu, dan beberapa protes yang dilakukan dari kalangan masyarakat.

Protes dilayangkan lewat media sosial, lewat lisan dan lewat tindakan. Walaupun ada larangan untuk tidak keluar rumah, namun imbauan itu tidak diindahkan segelintir masyarakat oleh karena alasan yang amat sangat logis “kalau saya tidak bekerja, anak dan istri saya mau makan apa kodong?” karena belum ada keputusan pemberian bantuan bagi pekerja yang menerima upah harian, belum ada kebijakan untuk memberikan santunan bagi fakir miskin. Bunyi protes yang lain “kalau saya tidak bekerja, siapa yang bayarkan cicilan saya pak?” karena belum diterapkannya kebijakan dari presiden bahwasanya boleh tidak membayar agunan atau cicilan selama setahun.

Provinsi Sulawesi selatan akan sulit menerapkan karantina wilayah (lockdown) kalau tidak ada bantuan dan kebijakan dari pemerintah sebab aturan atau imbauan akan berbenturan dengan prinsip yang telah mendarah daging di tubuh masyarakat Sulawesi selatan yang lebih rela mati berdarah daripada mati kelaparan. Sebab, mati dalam kelaparan adalah mati dalam kehinaan, mati yang tak sewajarnya.

Sekarang ini memang karantina wilayah (lockdown) belum diterapkan melainkan hanya pembatasan sosial (social distancing). Namun, hal itu sudah menimbulkan protes, bukan mereka bebal, kepala batu, atau acuh tak acuh melainkan lebih kepada kesadaran tanggung jawab mengais rezeki.

Yah, walaupun masih ada beberapa yang memang betul-betul acuh terhadap peristiwa ini, semisal masih banyak yang berbaur, nongkrong di warkop, ataupun di tempat-tempat lain.

Halaman
12
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved