Opini: Corona dan Isu Inter-Agama di Makassar
Jangan sampai swasta lebih dihadirkan dari pemerintah. Pemerintah perlu ada dan dapat di lihat rakyatnya memerangi isu ini. Jika pemerintah lambat
Penulis: Dian Aditya Ning Lestari,

Dewasa ini kita melihat bagaimana berita penyebaran Corona di gereja di Italy sangat meningkat. Banyak sekali korban[1] di Negara yang masyarakatnya masih sering ke geraja ini, bahkan jumlahnya meningkat. Di Indonesia dan di Makassar bahkan misa gereja pra paskah, eastern, dan pasca paskah di tunda. Gereja Katedral Jakarta bahkan mengadakan misa online. Bukan hanya itu Konferensi NU pun di batalkan begitu pula Konferensi Ulama Islam dunia yang terjadi di sudiang.
Corona adalah momen di mana kita mengingat bahwa kita punya masalah yang sama apapun agama kita. Bukan hanya umat kristiani yang harus menunda ibadahnya. Di setiap masjid berkumandang solat jumat di rumah bila perlu. Solat boleh di lakukan di rumah dengan amal yang sama. Selain itu kita mendapatkan amal dari menghindarkan orang dari tertular penyakit dan mendengarkan institusi islam.
Sebagai umat Islam, penulis memiliki saran kepada umat lain dan warga Indonesia yang saat ini tengah di uji dalam pengejaran mereka atas agama yang lebih baik: 1) Beragama niatnya baik tapi jangan sampai membahayakan ummat, 2) Agar mendengarkan otoritas agama masing-masing yang pastinya paling tahu masalah ini dan tidak nekat menciptakan acara agama mendadak di mana orang harus berkumpul, 3) Agar menyadari masing-masing agama memiliki masalah yang sama, saatnya berempati dan bersimpati kepada sesame warga Indonesia kerena kita sedang melihat pandemik yang menyerang tanpa melihat identitas kita.
Sholat jumat di masjid amalnya sangat baik, namun kini masing-masing masjid memiliki kebijakannya masing-masing. Banyak pula organisasi swasta yang menawarkan jasa penyemprotan disinfektan di masjid. Di sini pemerintah kurang hadir. Jangan sampai swasta lebih dihadirkan dari pemerintah. Pemerintah perlu ada dan dapat di lihat rakyatnya memerangi isu ini. Jika pemerintah lambat dalam mengambil keputusan maka rakyat akan bergerak duluan.
Seharusnya saat ini sudah ada mass screening dan petugas-petugas yang datang dari rumah ke rumah untuk mengecek kesehatan seluruh warga. Seluruh tempat ibadah harus di screening, tidak hanya Islam. Dalam 12 hari terakhir, korban bertambah dari 2, 4, 9 lalu 13. Lajunya bisa di tekan apabila kita mengadakan 1) isolasi pribadi, 2) work from home, 3) dan #stayathomeforawhile serta mendukung kebijakan lockdown.
Memang lockdown berbahaya untuk kebijakan ekonomi dan masa depan Indonesia namun kita tidak akan punya masa depan jika tidak menangani pandemic ini dengan baik. Sri Mulyani sudah menyiapkan budget apabila masyarakat harus mengalami lockdown secara partial or full.[2] Dalam partial lockdown Sri Mulyani sudah siap, begitu pula full lockwodn. Masyarakat bisa bebas dan pemerintah bisa mengatasi lockdown dengan baik. Yang kita butuhkan hanyalah ketegasan dari pemerintah untuk segera menetapkan lockdown.
Sesuai salah satu curhat dokter Indonesia di Itali, kita tidak boleh meremehkan hal ini dan bergerak lambat dalam mengatasinya. Indonesia harus lebih tegas, memberikan sanksi hukum bagi mereka yang tidak menurut social distancing, self isolation, dll. Menghukum mereka yang menimbun antiseptic, dll. Pemerintah butuh lebih dari sekedar membangun wisma atlet dan kebijakan populis lainnya. Kita butuh kebijakan riil. Harusnya saat ini kita sudah memiliki data apakah warga kita memiliki Corona atau tidak.
Sebagai Negara dengan agama Kristen juga kita harus berempati pada batalnya Konferensi Misa mereka. Begitu pula mereka berempati pada batalnya Ijtima Ulama. Corona mengingatkan kita bahwa kita satu bangsa, satu Negara, bukan saat-nya terpecah-pecah. Ijtima Ulama walaupun niatnya baik tetap saja keselamatan fisik kita adalah yang utama. Islam adalah Rahmatan Lil Alamin atau agama yang baik bagi seluruh alam semesta, bukan agama yang akan memaksa kita melakukan hal yang membahayakan secara fisik.
Lagipula Imam Masjid Istiqlal juga sudah menegaskan pentingnya ibadah from home dan banyak sekali ceramah dapat kita lihat di Youtube, hasil rekomendasi penulis, selama ia tidak mempopulerkan radikalisme, melainkan moderasi, agar tercipta kehidupan beragama yang kohesif.
Corona merupakan masa di mana kita menyadari bahwa ini bukan masalah 1 (satu) agama saja, tapi semua agama. Ada 99% warga muslim di Sulawesi Selatan, di Tana Toraja dan Toraja Utara terdapat 15% Katolik dan antara 70% sampai 80% protestan. Sebagai tambahan di daerah Luwu, utara dari Toraja, terdapat 15% Protestan. Di Makassar terdapat 11% agama Kristen, termasuk 3% Katolik. Dalam totalnya Sulawesi Selatan memiliki 2% Kristen.[3]
Di saat ini laiknya bukan saatnya kita saling membenci. Mari lupakan sejenak isu “menolak ucapan selamat natal” Chocolicious atau “penghentian bagu stall makanan untuk non Islam” di salah satu mall di Makassar. Yang perlu kita ingat adalah bagaimana walaupun kita berbeda, kita di uji oleh Allah hal yang sama. Corona tidak melihat suku, agama, ras, budaya, untuk menyerang semua orang. Ia menyerang tanpa pandang bulu. Sehingga kita pun seperti itu.
Laiknya kita membantu tanpa pandang bulu. Dokter menolong tanpa memandang bulu. Laiknya kita membantu dengan mengadakan social distancing, membatalkan acara yang tidak diperlukan yang membutuhkan gabungan massa, dan mempopulerkan ibadah di rumah. Pahalanya tentu sama bahkan lebih baik daripada kita mengorbankan orang karena kematian.
Lagi pula berkembangnya laju iptek membuat ibadah lebih mudah. Semoga kita semua bisa menonton ceramah, melaksanakan ibadah, di masa social distancing ini . Insya Allah pahala kita di lipat gandakan di masa Corona ini. Semoga Allah mendengar doa kita agar yang sakit di sembuhkan dan yang tidak sakit tidak tertularkan.
Footnote
[1] https://www.bbc.com/news/ world-europe-51777049
[2] https://en.tempo.co/read/ 1321370/sri-mulyani-sets- coronavirus-lockdown-budget- as-worst-scenario
[3] "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut" [Population by Region and Religion]. Sensus Penduduk 2010. Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik. 15 May 2010. Retrieved 20 November 2011. “Religion is belief in Almighty God that must be possessed by every human being. Religion can be divided into Muslim, Christian, Catholic, Hindu, Buddhist, Hu Khong Chu, and Other Religion.” Moslem 207176162 (87.18%), Christian 16528513 (6.96%), Catholic 6907873 (2.91%), Hindu 4012116 (1.69%), Buddhist 1703254 (0.72%), Khong Hu Chu 117091 (0.05%), Other 299617 (0.13%), Not Stated 139582 (0.06%), Not Asked 757118 (0.32%), Total 237641326
[4] Collectie van TropenMuseum