Hari Air Sedunia
OPINI: Hari Air Sedunia 22 Maret 2020 Terselubung Virus Corona, Air dan Perubahan Iklim
Air hujan yang sejatinya sebagai berkah, kadang datang sebagai bencana. Pemangku kepentingan diharapkan tidak melihatnya sebagai kehendak alam, tapi

Muhammad Arsyad
Dosen KBK Fisika Bumi UNM Makassar, Peneliti Karst dan Ketua PSI (Physical Society of Makassar) Cabang Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Hari Minggui, 22 Maret, kembali diperingati sebagai Hari Air Sedunia. Tema tahun ini adalah Water and Climate Change, diterjemahkan menjadi Air dan Perubahan Iklim.
Sidang Umum Ke-47 PBB, 22 Desember 1992, di Rio de Janeiro, Brasil, mendeklarasikan Hari Air Sedunia. World day for water adalah perayaan yang ditujukan sebagai usaha untuk menarik perhatian publik akan pentingnya air bersih dan usaha penyadaran untuk pengelolaan sumber-sumber air bersih yang berkelanjutan.Hampir semua sektor pekerjaan berkaitan langsung dengan air, walaupun perlindungan terhadap buruh yang bekerja di sektor keairan ini belum terlindungi regulasi secara memadai.
Tulisan ini mencoba menggugah kepedulian pembaca akan pentingnya air bagi kehidupan manusia, bagi hewan, bagi tanaman,bagi industri dan lainnya. Segi lain, harus disadari bahwa Sumber Daya Air (SDAir) bukan barang yang tersedia sepanjang masa, ada keterbatasan dalam ketersediaannya. Untuk itu dibutuhkan regulasi di dalam proses pengadaan, pemeliharaan dan penggunaannya.
Prilaku manusia yang kadang (baca selalu) hedonis membuat SDAir menjadi terbatas, padahal Indonesia ini merupakan kawasan dengan curah hujan yang teratur setiap tahun.
Walaupun satu dekade terakhir, keteraturan ini mulai terganggu dengan sulitnya memprediksi musim hujan dan musim kemarau secara pasti. Terjadi perubahan musim dan intensitas curah hujan yang tinggi, sedangkan kemampuan tanah untuk melakukan peresapan semakin berkurang. Gejala seperti ini bukan hanya dirasakan di Makassar dan Indonesia saja tetapi seluruh dunia kuatir dan terus mempelajari dan mengumpulkan data tentang perubahan iklim.
Perubahan iklim (climate change) merupakan hal yang tidak dapat dihindari akibat pemanasan global (global warming), diyakini akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, seperti sektor kesehatan, transportasi, ekonomi terutama sektor pertanian.
Perubahan pola curah hujan, peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrem, serta kenaikan suhu udara dan permukaan air laut merupakan dampak serius dari perubahan iklim. Malahan berbagai macam penyakit, baik yang memang kronis, maupun akut.
Berbagai virus baru muncul dan mengakibatkan kepanikan bagi manusia, seperti virus Corona saat ini. Untuk sektorpertanian merupakan sektor yang mengalami dampak paling serius akibat perubahan iklim.
Di tingkat global, sektor pertanian menyumbang sekitar 14% dari total emisi, sedangkan di tingkat nasional sumbangan emisi sebesar 12% (51,20 juta ton CO2e) dari total emisi sebesar 436,90 juta ton CO2e. Walaupun angka ini mengecil jika emisi dari degradasi hutan, kebakaran gambut, dan dari drainase lahan gambut dimasukkan dalam perhitungan, maka kontribusi sektor pertanian hanya sekitar 8%.
Walaupun relatif kecil, dampak yang dirasakan sangat besar. Perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara menyebabkan produksi pertanian menurun secara signifikan. Kejadian iklim ekstrem berupa banjir dan kekeringan menyebabkan tanaman yang mengalami puso semakin luas.
Peningkatan permukaan air laut menyebabkan penciutan lahan sawah di daerah pesisir dan kerusakan tanaman akibat salinitas. Ini adalah proses otomatis yang diakibatkan oleh alam sendiri, bayangkan apa yang terjadi jika campur tangan manusia ikut dalam proses itu, seperti reklamasi pantai seperti yang dilakukan di kota-kota besar Indonesia, termasuk Makassar dengan dalih pembangunan.
Dampak perubahan iklim yang demikian besar memerlukan upaya aktif untuk mengantisipasinya melalui strategi mitigasi dan adaptasi. Teknologi mitigasi bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan pertanian melalui penggunaan varietas rendah emisi serta teknologi pengelolaan air dan lahan.
Teknologi adaptasi yang dapat diterapkan meliputi penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman dan salinitas, serta pengembangan teknologi pengelolaan air. Tiba saatnya, warga kota sadar akan terjadinya degradasi lingkungan.
Air hujan yang sejatinya sebagai berkah, kadang datang sebagai bencana. Pemangku kepentingan (Pemerintah, Legislatif, LSM dan lainnya) diharapkan tidak melihatnya sebagai kehendak alam, dan akibat lain yang menyertainya (perubahan iklim, hanya dampak turunan dari badai yang memang harus diteruma, dan alasan lainnya).