Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Citizen Reporter

Banyak Sampah di CPI, Dicoreng Kebiasaan Membuang Sampah Masyarakat Makassar

Banyak Sampah di CPI, Dicoreng Kebiasaan Membuang Sampah Masyarakat Makassar

Penulis: CitizenReporter | Editor: Ina Maharani
Sanovra/tribun-timur.com
Warga menikmati fasilitas ruang publik yang berada di lokasi reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) yang menjadi tempat wisata baru di Makassar, Minggu (26/10/19). 

Laporan: Dian Aditya Ning Lestari, warga Makassar

founder Indonesian Future Leaders Asal Makassar Dian Aditya Ning Lestari
founder Indonesian Future Leaders Asal Makassar Dian Aditya Ning Lestari (handover)

Center Point of Indonesia atau yang di singkat COI/CPI merupakan sebuah landmark baru yang menjadi kebanggaan masyarakat Makassar. Landmark ini berada di posisi strategis yakni di Pantai Losari, dekat dengan rumah sakit maupun kawasan perumahan.

Hal yang iconic dari CPI ini yakni Gerbang Toraja yang besar dan Mesjid 99 Kubah. Namun, apakah masyarakat Makassar dapat menjaganya?

Sudah bukan misteri bahwa masyarakat Makassar merupakan penyumbang sampah terbanyak di Pantai Losari. 1200 ton sampah di produksi Makassar menurut Dinas Lingkungan Hidup. Berarti, satu orang Makassar memproduksi 0,7 kg sampah per hari

.Di antara sampah tersebut 57 % (persen) sampah organik, 43% (persen) sampah non organik.

Hal ini di akibatkan budaya membuang sampah yang seharusnya sudah punah. Tiap hari pengeras suara di CPI harus memperingatkan pendatang di Kawasan Ruang Terbuka Hijau untuk masyarakat berkegiatan lari pagi/berolahraga (Taman BPJS Kesehatan EMMY SAELAN) untuk tidak membuang sampah. Harusnya hal ini tidak perlu di peringatkan lagi. Membuang sampah sembarangan harusnya sudah punah. Anak kecil saja tahu hal itu di larang.

Di bawah Gerbang Toraja yang iconic dari CPI terdapat banyak sekali sampah.

Sampah rokok yang berada di mana-mana dan sampah plastik yang seolah-olah harus di edukasi ulang sedari level Sekolah Dasar bahwa mereka harus di buang per jenis sampah di tempat yang sepatutnya (organik/anorganik).

Jangan sampai CPI menjadi seperti anjungan Pantai Losari yang kini di penuhi coretan dan tulisan serta limbah sampah yang tak hanya ada di air melainkan juga di darat tempat pendatang biasa menikmati Anjungan Makassar, Mandar, Toraja, dan Bugis.

Percuma pemerintah kota dan provinsi membuatkan warga Makassar dan masyarakat Sulawesi Selatan landmark terbuka yang membanggakan kota dan daerah jika tidak dirawat.

Perilaku warga Makassar sendiri dapat merusak apa yang sudah di buat pemerintahnya dan berpotensi menurunkan lagi harga diri Makassar yang sudah indah dengan adanya anjungan dan taman Emmy Saelan.

Emmy Saelan merupakan tokoh perempuan Makassar dan sangat baik bagi Pemerintah Provinsi untuk mengapresiasinya dengan memberikan taman Emmy Saelan.

Hanya saja area tempat ruang publik terbuka tidak di lengkapi dengan sejarah mengenai beliau ataupun berita akan siapa beliau. Namun sangat di apresiasi niatan pemerintah Sulsel untuk mengedukasi rakyat mengenai kesehatan dengan adanya Taman Emmy Saelan BPJS.

Gerbang Toraja yang begitu megah dan taman untuk lari pagi yang tertata rapi. CPI/COI menjadi potensi sebagai landmark di Makassar yang bahkan selevel dengan berbagai tujuan wisata di luar negeri.

Mesjid 99 kubah membuat penulis merasa sedang berada di Padang Gurun Arab Saudi dan Gerbang Toraja mengingatkan penulis pada sahabat-sahabatnya.

Apa gunanya jika tidak di jaga? Selain masalah sampah, kemacetan juga menjadi momok di Masyarakat Sulawesi Selatan apa lagi Makassar. Di jalan masuk menuju Center Point of Indonesia dan hampir berbagai ruas jalan utama di lengkapi kemacetan.

Selain karena pembangunan yang dapat di tolerir, yang menjadi fokus penulis adalah kebiasaan melanggar lalu lintas Warga Makassar. Apa gunanya memiliki land mark kelas dunia dan pembangunan yang membantu rakyat namun perilakunya tidak mencerminkan harga diri bangsa yang memiliki land mark tersebut? Selain kebiasaan melanggar lalu lintas terdapat juga kebiasaan membuang sampah di jalan raya, tidak memakai seat belt, dan mengklakson lalu melambung kiri.

Sepertinya angkutan kota perlu di edukasi agar tidak sembarangan berhenti dan warga pengguna angkutan non-elektronik seperti tricycle (atau becak), seharusnya tidak melalui jalur-jalur utama karena sangat mengganggu lalu lintas.

Begitu pula “mobil yang parkir di lorong,” sepertinya sudah menjadi momok bagi Masyarakat Sulawesi Selatan dan Warga Makassar.

Mobil yang parkir di lorong membahayakan pengguna jalan yang harus memasuki area tersebut dan seharusnya pemilik kendaraan bermotor memikirkan apakah mereka memiliki garasi yang menampung kendaraan mereka. Pengguna kendaraan beroda empat yang kerap membuang rokok atau puntung rokok ke jalan harusnya menyadari bagaimana perilaku mereka membahayakan pengguna kendaraan bermotor beroda dua yang notabene di gerakkan dengan knalpot bertenaga api.

Sepertinya pembuang sampah di jalan raya tidak mengerti bagaimana perbuatan mereka merusak ke indahan tata kota. Semestinya wali kota sebelumnya dapat menyelesaikan permasalahan ini dan anggota DPR serta politisi yang merusak pohon dengan balihonya dapat menyadarkan masyarakat.

Percuma membuat jargon lingkungan namun tidak melakukan apapun untuk mempreservasi lingkungan di Makassar. Taman CPI yang begitu hijau di khawatirkan menjadi hitam akibat sampah dan laut biru yang menjadi sumber pencari nafkah bagi para nelayan bisa menjadi cokelat akibat sampah yang tidak lain berasal dari warga.

Kita laiknya tidak hanya memprotes politisi tapi memperbaiki diri sendiri. Apakah kita masih membuang sampah sembarangan. Sekarang sedang ada wabah virus Corona. Sudahkah kita bersalaman tanpa menyentuh tangan. Sekarang sedang lazim dukungan atas pemimpin perempuan. Sudahkah kita mendukung pemimpin perempuan? Janganlah kita hanya berkoar-koar saja namun segala yang kita lakukan di buktikan dengan tindakan kecil sehari-hari.

Stop membuang sambah sembarangan, parkir liar, mendukung para begal. Apapun yang terjadi, warga Makassar harus mengkoreksi dirinya sendiri agar pantas untuk land mark kelas dunia yang di bangunkan untuknya. Untuk apa membanggakan landmark kelas dunia kalau kita tidak memiliki kelakuan kelas dunia? Masyarakat Makassar harus mengubah diri dulu. Lalu orang lain.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved