Inspirasi Remaja untuk dan dari Jepang
Jepang adalah sebuah negara kepulaun di wilayah Asia Timur. Jepang juga termasuk golongan negara maju.
Oleh: Muthahara
Siswi SMKN 3 Pinrang
APA sih, yang Indonesia dapat contoh dari Jepang?
Jepang adalah sebuah negara kepulaun di wilayah Asia Timur. Jepang juga termasuk golongan negara maju.
Dalam budaya Jepang terkenal dengan istilah ojigi (budaya membungkuk). Walaupun sekarang sudah zaman modern, budaya ojigi ini masih dilakukan di Jepang. Dari informasi yang saya dapatkan, ojigi digunakan untuk berterima kasih, memohon sesuatu, memberi selamat, menghormati seseorang dan meminta maaf. Hal ini merupakan contoh etika yang baik.
Pada zaman modern sekarang ini, di Indonesia budaya sopan santun dan keramahan terhadap orang lain sudah mulai memudar. Hal ini dapat dilihat dari generasi muda atau remaja yang cenderung kehilangan etika dan sopan santun terhadap teman, orang tua, bahkan guru. Seperti yang banyak terjadi kasus antara murid dan guru.
Dulu orang tua kita sangat menghormati gurunya. Berbeda dengan zaman sekarang. Siswa tidak lagi menganggap guru sebagai panutan, seorang yang memberikan ilmu dan pengetahuan yang patut dihormati dan disegani.
Seperti contohnya ketika berbicara dengan gurunya seakan-akan berbicara dengan temannya ataupun ketika berpapasan dengan gurunya. Bahkan, kadang menyapanya dengan cara gaul seperti berkata, “Hai, bro.” Bahkan tidak sedikit yang terjadi siswa melawan, bertengkar, bahkan sampai berkelahi dengan gurunya.
Saya berharap dengan mempelajari budaya Jepang ini akan meningkatkan rasa hormat bagi remaja-remaja Indonesia, khususnya di sekolah saya.
Arigatou gozaimasu, artinya terima kasih, dalam bahasa Jepang. Ucapan ini kadang diucapkan sambil membungkukkan badan (ojigi).
Orang Jepang sangat menghargai pemberian baik itu berupa barang, saran, atau apa pun itu. Mereka sangat menghargai, merasa senang, dan menghormati orang yang memberikan dengan mengucapkan terima kasih.
Sayangnya di Indonesia masih ada beberapa orang yang beranggapan mengucapkan terima kasih ini tidak usah diucapkan, cukup diucapkan dalam hati.
Hal ini biasa terjadi di lingkungan sekolahku. Teman-teman saya menganggap bahwa bantuan yang kita berikan itu adalah wajar.
Dalam hubungan pertemanan, terima kasih jadi tak usah diucapkan. Padahal, ucapan terima kasih, akan membuat senang dan bahagia bagi orang yang mendengarnya.
Saya sangat bersyukur dengan mempelajari bahasa Jepang terutama aisatsu (pengucapan salam dan selamat, misalnya konnichiwa selamat siang, ohayo gozaimasu, selamat pagi), sekaligus mengenal budaya Jepang.
Saya berharap hal ini semoga bisa menjadi inspirasi buat saya dan teman-teman, terutama di kelas saya.
Selain ojigi, bangsa Jepang juga mempunyai prinsip menghargai waktu.
Mereka berpendapat demikian, karena mereka menganggap waktu itu sesuatu yang tidak dapat dikembalikan.
Dari artikel yang saya baca, orang Jepang selalu datang lebih awal ketika bekerja dan juga tidak mengenal yang namanya pulang cepat. Orang Jepang lebih suka lembur dari pada pulang lebih awal. Prinsip tersebut sebaiknya diterapkan di Indonesia.
Apalagi seperti yang kita ketahui, orang Indonesia identik dengan istilah jam karet, yang selalu terlambat. Saya berikan contoh kecil dari siswa-siswi yang ada di sekolah saya. Beberapa dari mereka sering terlambat ke sekolah. Hal itu terjadi berulang kali. Sudah pasti, hal ini bukan lagi merupakan sebuah kebetulan, tapi pasti sudah menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan ini terjadi karena tidak ada kesadaran diri sendiri.
Parahnya lagi, keseringan datang terlambat lebih biasanya juga ingin cepat pulang. Hal ini sering terjadi ketika guru mata pelajaran terakhir berhalangan hadir pada hari itu. Sebagian siswa sangat senang dan menyiapkan barang mereka dan menunggu di depan pintu gerbang untuk pulang. Bahkan ada beberapa siswa yang bolos ke luar halaman sekolah dengan melompat pagar atau pintu gerbang sekolah.
Ada beberapa hal juga yang dapat dijadikan contoh inspirasi dari Indonesia untuk Jepang,
Di antaranya, dalam masyarakat budaya suku Bugis terkenal dengan budaya tudang sipulung. Tudang sipulung berarti duduk bersama merupakan suatu kegiatan secara bersama-sama membicarakan dan merundingkan untuk memecahkan suatu masalah. Budaya musyarawarah ini untuk mencapai hasil kesepakatan bersama. Melalui tudang sipulung, tidak akan terjadi lagi perpecahan karena merupakan hasil kesepakatan bersama. Hal ini mencerminkan sikap menghargai pendapat orang lain dan tidak memaksakan kehendak seseorang terhadap orang lain.
Sikap ini patut dijadikan contoh. Dalam dunia politik juga diperlukan musyawarah agar tidak memicu terjadinya konflik. Saat ini banyak terjadi konflik antara tokoh politik satu dengan tokoh politik lainnya. Prasangka negatif dan tidak adanya keterbukaan biasanya memicu terjadinya perpecahan atau konflik.
Di daerah asal saya, terkenal sebuah budaya yang kental, yaitu budaya gotong royong. Biasanya budaya gotong royong ini dilakukan apabila ada kerabat atau tetangga membutuhkan bantuan, seperti misalnya untuk memindahkan rumah. Mayoritas masyarakat di wilayah saya, yaitu Pinrang, Sulawesi Selatan, kebanyakan tinggal di rumah panggung.
Pada saat pengangkatan atau pemindahan rumah panggung ini, dilakukan oleh laki-laki sebanyak puluhan sampai ratusan orang. Tergantung besar rumah panggung tersebut. Ketika laki-laki bertugas untuk mengangkat rumah, para wanitanya beserta ibu-ibu di kampung berpartisipasi dengan cara membantu pemilik rumah untuk menyiapkan makanan. Kegiatan ini biasanya berlangsung dari pagi hingga sore hari.
Selain itu gotong royong juga dilakukan di saat mengadakan acara pernikahan, acara penamatan Al Quran, acara akikah, dan lain sebagainya. Budaya gotong royong ini masih dijalankan sampai saat ini. Orang Bugis berpendapat bahwa siselle selle motu limae monri yasekang yang artinya tangan bergantian untuk membantu.
Jadi perlu untuk saling membantu membantu karena setiap manusia memerlukan bantuan orang lain.(*)
*) Tulisan ini merupakan juara III lomba esai persahabatan Jepang - Indonesia untuk siswa/i SMA se-Sulsel 2019