Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Hamil saat Gabung ISIS

Hamil 9 Bulan saat Gabung di ISIS, Hidup Wanita Usia 20 Tahun ini Hancur, Tempat Tinggal Bukan Rumah

Hamil 9 Bulan saat Gabung di ISIS, Hidup Wanita Usia 20 Tahun ini Hancur, Tempat Tinggal Bukan Rumah

Editor: Ansar
AFP/Delil Souleiman
Hamil 9 Bulan Saat Bergabung di ISIS, Hidup Wanita Usia 20 Tahun Hancur, Tinggal di Tenda 

TRIBUN-TIMUR.COM - Hamil 9 Bulan saat Gabung di ISIS, Hidup Wanita Usia 20 Tahun ini Hancur, Tempat Tinggal Bukan Rumah.

Shamima Begum, gadis asal Inggris kini menyesal telah begabung dengan ISIS setelah kewarganegaraannya dicabut.

Saat ini, hidupnya berantakan setelah pemerintah Inggris mencabut kewarganegaraannya.

Mantan siswi di Inggris ini, merupakan satu dari tiga lainnya yang juga dicabut kewaranegaraannya.

Mereka melakukan perjalanan ke Suriah dan bergabung dengan ISIS pada Februari 2015.

Kini, Shamima sedang hamil 9 bulan.

Dia ditemukan di kamp pengungsian di Suriah pada Februari tahun lalu.

Kewarganegarannya dicabut oleh Menteri Dalam Negeri Inggris, Sajid Javid pada tahun lalu

Saat ditemui di tempat tinggalnya, kamp al Roj di Suriah Utara, Shamima sedang tidak memakai burka (cadar)nya.

Dia mengatakan, selama ini dia berbagi tenda dengan Kimberly Polman asal Kanada, Amerika Serikat.

Dilansir Mirror, tenda mereka saat itu tengan di dekorasi dengan nuansa Valentine.

Di sana terdapat pemanas ruangan, televisi, dan peralatan memasak.

Shamima mengaku seluruh dunianya hancur, setelah kewarganegarannya dihapus, dilansir Mirror dari BBC.

"Ketika kewarganegaraan saya ditolak, saya merasa seluruh dunia saya hancur berantakan di depan saya," ujarnya.

Nahasnya, dia mengetahui itu dari wartawan.

"Kamu tahu, cara saya bisa tahu."

"Saya bahkan, tidak diberi tahu oleh pejabat pemerintah."

"Saya diberi tahu wartawan."

Dia mengira, bisa kembali ke Inggris karena tidak melakukan kejahatan apapun.

"Aku pikir, aku akan sedikit diberi pengecualian karena aku tidak melakukan kesalahan sebelum datang ke ISIS," jelasnya.

Pengacara Shamima, mengatakan mereka akan mengajukan banding terhadap keputusan pencabutan kewarganegaraan ini.

Shamima melakukan tindakan hukum, melalui Kantor Pusat Pengadilan Tinggi dan Komisi Banding Imigrasi Khusus (SIAC).

Pengadilan ini khusus menyelesaikan permasalahan kewarganegaraan Inggris, dengan alasan keamanan nasional.

Pengacara gadis 20 tahun itu, berpendapat bahwa keputusan pencabutan kewarganegaraan itu melanggar hukum.

Selain itu, juga melanggar kebijakan hak asasi manusia.

Ini menjadikan Shamima, tidak memiliki kewarganegaraan apapun.

Kondisi ini, bisa menjerumuskannya pada perlakuan tidak manusiawi karena dia tidak memiliki negara yang bisa melindunginya.

Namun, pada putusan awal bulan ini, Hakim Agung Elisabeth Laing mengatakan kewarganegaraan Inggris Shamima dicabut.

Tetapi, dia bisa menjadi warga negara Bangladesh lantaran ibunya berasal dari sana.

Jadi, dia dianggap memiliki kewarganegaraan berdasarkan keturunan.

Pengadilan menemukan, bahwa keputusan ini tidak melanggar kebijakan hak asasi manusia ekstrateritorial.

Hakim menganggap, situasi yang kini dihadapi Shamima adalah akibat perilakunya sendiri.

"Pemohon berada di situasi sekarang ini, akibat dari pilihannya sendiri."

"Ini bukan terjadi karena kesalahan dari Sekretaris Negara (Inggris)."

Pengadilan juga menganggap Shamima, tidak bisa memanfaatkan usaha bandingnya.

Tanpa Lewat Proses Hukum, Mahfud MD Tegaskan Negara Tolak Pulangkan 689 WNI Eks ISIS

Nasib 689 warga negara Indonesia teroris pelintas batas dan eks ISIS akhirnya ditentukan.

Secara tegas pemerintah Indonesia menolak memulangkan mereka karena dikhawatirkan menjadi teroris baru yang bisa mengancam 267 juta rakyat Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

Ia memastikan bahwa pemerintah tak akan memulangkan WNI terduga eks ISIS ke Indonesia.

"Pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris. Bahkan tidak akan memulangkan FTF (foreign terorist fighter) ke Indonesia," kata Mahfud seusai rapat tertutup bersama Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2/2020).

Mahfud mengatakan, pemerintah lebih mementingkan keamanan 267 juta penduduk yang berdiam di Tanah Air.

Ia juga mengatakan, berdasarkan data dari Central Inteligence Agency (CIA), terdapat 689 WNI terduga eks ISIS yang tersebar di Turki, Suriah, dan beberapa negara lain.

Namun, pemerintah tetap membuka opsi memulangkan anak-anak dari WNI teroris pelintas batas (foreign terorist fighter) dan terduga eks ISIS ke Indonesia.

Pemerintah memberikan kelonggaran bagi anak-anak mereka yang sama sekali tak tersangkut-paut aksi terorisme orang tuanya.

Saat ditanya bagaimana jika anak-anak yang akan dipulangkan ternyata telah terpapar paham radikalisme dan terorisme, Mahfud menjawab, pemerintah akan mengkajinya lebih dalam.

"Anak-anak di bawah 10 tahun akan dipertimbangkan, tapi case by case. Ya lihat aja apakah ada ortunya atau tidak, yatim piatu (atau tidak)," ujar Mahfud seusai rapat membahas hal tersebut bersama Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2/2020).

Ketika ditanya jumlah anak-anak dari total rombongan para WNI teroris pelintas batas dan terduga eks ISIS, Mahfud mengatakan, pemerintah belum memiliki data secara detail.

Ia menambahkan, pemerintah akan terus menelusuri jumlah terbaru dari WNI teroris pelintas batas dan terduga eks ISIS yang tersebar di Suriah dan beberapa negara lainnya.

"Pemerintah juga akan menghimpun data yang lebih valid tentang jumlah dan identitas tentang orang-orang yang dianggap terlibat bergabung dengan ISIS," ucap Mahfud.

Diminta kaji ulang

Menanggapi keputusan pemerintah tersebut, Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri menyarankan pemerintah untuk mengkaji ulang keputusan tidak memulangkan WNI yang diduga teroris lintas batas, terutama mantan anggota ISIS, ke Indonesia.

"Pemerintah perlu meninjau ulang rencana kebijakan tersebut (tidak memulangkan). Sebab, dengan tidak memulangkan mereka, sama saja artinya pemerintah lepas tanggung jawab dari kewajiban konstitusionalnya untuk ikut serta dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan global," kata Ghufron dalam keterangan tertulis, Selasa (11/2/2020).

Proses Penegakan Hukum

Ghufron menyatakan, opsi memulangkan mereka juga sebenarnya harus dilakukan secara cermat.

Pemerintah dinilainya perlu menyusun kebijakan yang komprehensif guna memastikan bahwa pemulangan mereka tidak menimbulkan ancaman bagi keamanan di masyarakat.

Pemerintah, menurut Ghufron, dinilai memiliki modal yang cukup secara legal dan institusional dalam menangani terorisme secara komprehensif, baik dari sisi pencegahan, penindakan dan deradikalisasi.

"Kita punya perundang-undangan yang cukup memadai untuk memulangkan mereka. Secara kelembagaan kita punya instansi yang punya sumber daya, misalnya Kemenag, Kemensos, BNPT, Kepolisian dan lainnya," kata dia.

"Di sisi lain pemerintah bisa mengembangkan peran stakeholder masyarakst. Saya kira ini yang ditunggu masyarakat bagaimana langkah konkret kebijakan pemerintah dalam menangani persoalan ini," ujar dia.

Kedepankan proses hukum

Sementara itu Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengingatkan pemerintah untuk tetap terlibat dalam proses penegakan hukum terhadap WNI yang teridentifikasi dalam kelompok teroris ISIS.

Taufan menjelaskan, Indonesia tidak boleh absen dalam proses hukum WNI yang teridentifikasi terlibat menjadi kombatan eks ISIS.

"Ya, pertanyaannya sekarang adalah lantas langkah pemerintah apa? Dalam rangka penegakan hukum ya. Orang banyak salah tangkap ini, seolah pemulangan itu begitu saja pulang. Padahal yang paling penting adalah penegakan hukum," kata Taufan kepada Kompas.com, Selasa (11/2/2020).

Ada dua cara yang bisa ditempuh pemerintah Indonesia terhadap WNI yang memang terindikasi menjadi kombatan ISIS.

Pertama, memulangkan mereka ke Indonesia dan diproses sesuai hukum yang berlaku di dalam negeri.

Kedua, menggandeng negara-negara lain yang warga negaranya juga teridentifikasi bergabung dengan ISIS untuk diproses melalui mekanisme hukum internasional.

"Itu melalui peradilan internasional bersama negara internasional lainnya lewat ICC (International Criminal Court) kah atau lainnya. Masak kita mendiamkan saja?" ujar dia.

Berdasarkan UU Terorisme dalam negeri, lanjut Taufan, mereka yang aktif melakukan aksi terorisme, sekadar bergabung menjadi anggota atau ikut pelatihan kelompok terorisme bisa dijerat pidana.

"Nah sebagian dari mereka kan ada yang terlibat itu. Tindakan Indonesia ini apa gitu? Proses penegakan hukumnya gimana harus diperjelas. Apakah kita bawa mereka ke mekanisme internasional? Atau dalam negeri? Kan ini enggak jelas, cuma bilang enggak mau bawa pulang," kata dia.

Penegakan hukum dinilainya penting sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia di mata dunia internasional.

Negara lain, kata Taufan, bisa saja meminta tanggung jawab Indonesia jika ada warga negaranya terbukti aktif terlibat dalam ISIS.

"Internasional akan minta tanggung jawab kita juga, gimana ini wong ada orang Indonesia terlibat kok, kemudian dia dibiarkan keluyuran kemana-mana, kan enggak mungkin," katanya.

"Jangan lupa loh, Indonesia ini anggota Dewan Keamanan PBB dan anggota Dewan HAM PBB. Kalau kita bilang oh itu bukan warga negara kami, ya enggak bisa dong," tutup Taufan.

(*)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Gadis Asal Inggris Hamil 9 Bulan di Camp ISIS, Mengaku Hidupnya Kini Berantakan

Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved