Sulsel Masih Butuh Pemimpin
Buku Sulawesi Selatan Dalam Perpektif Karya AM Sallatu Pantik Supersenior Wali WanuaTurun Gunung
Taslim Arifin menegaskan, “yang dibutuhkan pendekatan sparsial, pendekatan yang menjadi hak milik rakyat. Inilah yang seharusnya dilaksanakan
Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: AS Kambie
“Jadi yang dibutuhkan sebenarnya pendekatan sparsial, pendekatan yang menjadi hak milik rakyat. Inilah yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah oleh partai politik yang kelihatan sekarang ini semakin jauh dari fungsi seperti ini,” kata Taslim.
Pengamat Komunikasi Politik Unhas, Dr Hasrullah MA, menyebut AM Sallatu marah. Salah satu sumber “kemarahan” AM Sallatu karena pemimpin saat ini dinilai abai pada “warisan” pemimpin terdahulu.
“Padahal seharusnya apa yang dirintis pemimpin terdahulu dilanjutkan oleh pemimpin saat ini, bukannnya berusaha mengubur semua yang dirintis di masa lalu,” tegas Hasrullah.
Aktivis menilai, AM Sallatu geram! Ini terlihat jelas dalam buku “Sulawesi Selatan Dalam Lintasan Perspektif”
Mantan aktivis mahasiswa Unhas, Yarifai Mappeati, mengatakan, AM Sallatu geram karena daya saing Sulsel tidak pernah masuk lima besar dalam skala nasional.
“Tertinggi hanya tahun 2016 di urutan ke-6, dan terus merosot. Apa yang salah? Padahal Sulsel tidak kurang potensinya, letak geografisnya sebagai gerbang Indonesia timur, tapi kenapa Surabaya, Itu yang membuat Pak Madjid geram dan berteriak, ‘Woeh, kita butuh pemimpin pemerintahan’,” jelas Yarifai.
Ekonom Unismuh, Dr Idham Halid, mengatakan, kebanggaan Sulsel selama ini karena memiliki pertumbuhan ekonomi di atas nasional. “Cuma sayang sekali, pertumbuhan ekonomi itu tidak didorong oleh investasi, hanya didorong oleh konsumsi,” katanya.
Para pembicara sepakat bahwa Prof Dr Amiruddin adalah pemimpin visioner sebagai penggagas awal wawasan kewilayahan.
Sulawesi Selatan itu wilayah! Hanya saja pengembangan wilayah masih belum berwujud hingga saat ini. Pengembangan wilayah berhenti pada istilah.
Sehingga, cara pandang sektoral lebih unggul dari pendekatan wilayah.
Publik sering mendengar pembangunan saat ini bertumpuh pada sektor seperti infrastruktur, pertanian, perikanan, pertambangan, industri pengolahan, perdagangan, dan seterusnya.
Menurut AM Sallatu dalam bukunya, ada anggapan, pembangunan sektoral secara otomatis akan mampu mengembangkan wilayah, yang secara nyata tidak memiliki dukungan empirik. Bahkan, pembangunan sektoral ini banyak menimbulkan kesenjangan.
Peran pemerintah saat ini selaku pengampu kebijakan pembangunan hanya lebih banyak dalam bentuk pembangunan infrastruktur fisik, menarik investasi, dan sejumlah proyek mercusuar.
Efek samping dari semua keberhasilan pembangunan sektoral ini adalah ketimpangan wilayah. Hasil-hasil pembangunan sektoral masih lebih tampak sebagai penjumlahan.
Masalah lain, kinerja pembangunan kabupaten dan kota, masih jauh dari wawasan pembangunan yang terintegrasi. Padahal, itu peran pemerintah provinsi untuk mengaitkan antar sektor dan daerah di wilayahnya.