Sulsel Masih Butuh Pemimpin
Buku Sulawesi Selatan Dalam Perpektif Karya AM Sallatu Pantik Supersenior Wali WanuaTurun Gunung
Taslim Arifin menegaskan, “yang dibutuhkan pendekatan sparsial, pendekatan yang menjadi hak milik rakyat. Inilah yang seharusnya dilaksanakan
Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: AS Kambie
Sangat jarang publik mendengar pengembangan wilayah. Kita pun mendengar pengembangan wilayah saat kampanye politik lima tahunan, Pemilihan kepala Daerah (Pilkada).
Setelah itu, pengembangan wilayah ini menguap bersama janji-janji setelah terpilih. Pembangunan kembali ke pembangunan sektoral yang mengejar pertumbuhan ekonomi dan income perkapita.
Gagasan Prof Amiruddin ketika memimpin senantiasa untuk menemukan temukan baru. Sehingga, kala itu Prof Amir dianggap sebagai manusia pembaharu.
Prof Amir berhasil karena dia menggunakan kewenangan otonom dan mengelola pemerintahan untuk pembangunan.
Sehingga, saat ini, Prof Amiruddin masih mewariskan tri konsepsi pembangunan, perubahan pola pikir, konsepsi kewilayahan dan ‘petik-olah-jual’. Baca penjelasannya!
Pembangunan itu bukan pekerjaan sebentar atau pekerjaan jin yang mengucap Abrakadabra dan Simsalabim, maka pembangunan itu langsung muncul. Pembangunan itu memerlukan kesabaran.
Hal itu menjadi poin utama tanggapan dari panelis guru besar sekaligus mantan Wakil Rektor I Unhas, Prof Dr Junaidi Mahidong M Sc.
“Kita tak terbiasa berbicara untuk sesuatu sangat prinsip dan kita tak sabar. Sementara kita ingin hasil yang cepat,” katanya.
Ia mencontohkan ketika Inggris keluar dari Uni Eropa pada tahun 2016 sudah memutuskan dengan cara voting.
“Brexit 2016 sudah voting, kejadiannya baru brexit tadi malam. Kita ingin memikirkan lebih, mungkin kita ingin 25 tahun. Cuman sekali lagi, itu butuh kesabaran, pembangunan butuh kesabaran,” katanya.
Menurutnya, Sulsel sebagai basis pengembangan wilayah, peringatan kontrol mengelola pemerintahan sangat penting.
Sementara itu, Prof Dr Mujahidin MT Dev, menganggap pendekatan spasial adalah sasaran tembak dari buku ‘Sulawesi Selatan Dalam Lintasan Perspektif’.
“Membangun pendekatan wilayah untuk bargaining tool untuk kekuasaan. Kita harus bersabar untuk pendekatan spasial, karena demokrasi itu memerlukan kesabaran. Pak Madjid mengkritik dengan jelas partai politik dan ormas. Induk parpol lahir dari ormas,” katanya.
Sementara itu, Sukri Tamma PhD mengatakan wacana efek pembangunan itu ada pinggiran.
“Dalam perspektif politik, wacana itu ada di pinggiran, bukan di pusat. Sebagai contoh, ketika detektif ingin untuk memeriksa pembunuhan, maka yang pertama diperiksa adalah tempat sampah. Wacana itu harus melihat dari pinggiran. Kalau ingin membaca dengan baik maka harus perhatikan pinggiran,” katanya.
Ia mengatakan ketika pemerintah ingin melihat efek pembangunan maka, mesti melihat dari sisi pinggiran.
“Ini menjadi perhatian, kita hanya menjadi elitis kalau hanya di pusat. Buku ini berpesan, wahai mereka di sana, yang memegang kekuasaan maka akan selalu ada virus supaya bisa berjalan lurus,” katanya.(*)