Wisata Sulsel
Melancong di Sengkang? Jangan Lupa Beli Kain Sutra Sebagai Buah Tangan
Sengkang, ibu kota Kabupaten Wajo dikenal sebagai Kota Sutra. Tentu, ada alasan dong nama tersebut disematkan ke Sengkang.
Penulis: Hardiansyah Abdi Gunawan | Editor: Suryana Anas
TRIBUN-WAJO.COM, TANASITOLO - Sengkang, ibu kota Kabupaten Wajo dikenal sebagai Kota Sutra.
Tentu, ada alasan dong nama tersebut disematkan ke Sengkang.
Sutra adalah ciri khas buah tangan bagi para pelancong.
Tak sempurna rasanya melancong di Kabupaten Wajo tanpa membawa pulang kain sutra.
Bagi yang karib ke Kabupaten Wajo, baik pelancong lokal maupun mancanegara, sutra Sengkang amat dikenal.
Di kabupaten yang jaraknya sekitar 190 km dari Kota Makassar ini, ada satu kampung yang dikenal sebagai Kampung Sutra.
Letaknya di Desa Pakkanna, Kecamatan Tanasitolo.
Mayoritas masyarakat di Desa Pakkanna bekerja di bidang pertenunan.
Tak heran jika berkunjung ke kampung ini pengunjung akan disambut dengan suara khas alat tenun. Berdetak-detak begitu keras.
Untuk memproduksi kain mapun sutra, di Desa Pakkanna setiap kepala keluarga biasanya mengerjakan satu proses dari pembuatan sutra. Masyarakat bekerja secara kolektif.
Misalnya saja, keluarga A mengerjakan proses pemintalan benang, sementara keluarga B mengerjakan pewarnaan benang, dan keluarga C menenun. Begitulah seterusnya.
"Di sini macam-macam, misalnya ini proses pembuatan sutra, termasuk sarungnya itu kan melalui beberapa tahapan. Jadi selalu ada yang dipekerjakan, mulai dari menggulung benang, mewarnai, memintal. Dari situlah kegiatan sehari-hari mereka menjadi kebiasaan," kata Kepala Desa Pakkanna, Wikra Wardana.
Di kampung sutra, masyarakat hanya mengolah bahan baku. Sementara, untuk melihat kebun murbai yang merupakan habitat ulat sutra letaknya di daerah lain.
"Di sini pengolahan bahan baku, ada yang benang dari sutra ada juga yang sintetis, memang di sini sudab dak ada kebun murbai. Dulu memang pernah ada," katanya.
Sejarah tradisi menenun Sutra di Wajo
Tak ada yang bisa melacak, kapan pastinya masyarakat Kabupaten Wajo menggeluti aktivitas menenun. Salah satu pengusaha kain sutra di Desa Pakkanna, Ridwan menyebutkan, pertanyaan perihal kapan pertama kali orang menenun di Kabupaten Wajo pernah ditanyakan ke orang tuanya.
"Jawaban mama saat itu juga sama, pernah ditanyakan ke mamanya, nenekku dan jawabannya sama juga ternyata. Jadi artinya sudah lama sekali dan tidak terlacak," ungkapnya.
Kendati alat tenun saat ini kian canggih. Namun, masyarakat di Desa Pakkanna tetap menggunakan tenaga manusia.
Peralihan alat tenun dari manual ke alat tenun bukan mesin (ATBM) sendiri dimulai pada 1951.
Meski demikian, Ridwan tetap menjaga keaslian motif dan corak khas kain sutra Sengkang. Perihal bahan baku pun, tergantung ketersediaan.
Tak banyak masyarakat yang beternak kokon, tapi Ridwan berharap dengan komitmen Pemerintah Provinisi Sulawesi Selatan untuk memperkuat persutraan lokal, kejayaan sutra Sengkang bisa kembali bersinar.
Omong-omong soal harga, kain sutra asli yang terbuat dari benang ulat sutra bisa mencapai jutaan rupiah per meternya, tergantung kerumitan motifnya.
Ada juga yang terjangkau, tapi tentu saja kualitasnya tak sebanding dengan sutra yang terbuat dari ulat sutra.
Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur
Follow akun instagram Tribun Timur:
Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur:
(*)