Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tergerusnya Integritas Penyelenggara Pemilu

Kata demokrasi seringkali dikumandangkan ketika bangsa kita telah memasuki masa pemilihan wakil rakyat

Editor: syakin
zoom-inlihat foto Tergerusnya Integritas Penyelenggara Pemilu
DOK
Dr Sakka Pati SH MH, Kapuslitbang Konflik, Demokrasi, Hukum, dan Humaniora LPPM Unhas

Oleh: Dr Sakka Pati SH MH
Kapuslitbang Konflik, Demokrasi, Sosial, Hukum, dan Humaniora LPPM Unhas

KATA “demokrasi” seringkali dikumandangkan ketika bangsa kita telah memasuki masa pemilihan wakil rakyat, baik pada saat penyelenggaraan proses pemilihan umum (pemilu) maupun proses pemilihan kepala daerah (pilkada).

Kalimat “demokrasi menjadi tujuan utama dalam penyelenggaran proses pemilu” atau “proses demokrasi harus ditegakkan” sudah lumrah diucapkan hampir semua kalangan termasuk penyelenggara.

Baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemiliham Umum (Bawaslu) juga para calon wakil rakyat yang maju berkompetisi di panggung politik pemilu/ pilkada.

Namun bagaimana jadinya jika pelanggaran terhadap proses demokrasi justru dilakukan oleh mereka yang diberikan amanah sebagai “penjaga” proses demokrasi? Tampaknya hal ini cukup menjadi persoalan pada penyelenggaraan proses demokrasi di Indonesia.

Beberapa waktu lalu kepercayaan publik kembali diruntuhkan dengan adanya pemberitaan mengenai operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap salah satu Komisioner KPU, yaitu Wahyu Setiawan.

Komisioner KPU yang bersangkutan diduga telah menerima suap dari salah seorang yang bernama Saeful terkait penetapan calon legislatif PDIP Harun Masiku sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terpilih menggantikan Nazaruddin Kiemas melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).

Penangkapan terhadap komisioner KPU ini di satu sisi cukup menambah kepercayaan publik terhadap kinerja KPK sejak diterpa isu pelemahan lembaga tersebut.

Namun, di sisi lain meruntuhkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu yaitu KPU dan mungkin juga terhadap Bawaslu sebagai pilar penjaga proses demokrasi.

Penangkapan ini juga semakin menunjukkan bahwa serangan terhadap proses demokrasi datangnya bukan dari luar, melainkan dari dalam, yang menggerus integritas penyelenggara yang harusnya menjadi modal dasar sebagai pemegang amanah bangsa.

Terasa Janggal

Jika mencermati kasus yang menimpa penyelenggara ini, maka ada beberapa poin yang perlu dicermati. Pertama adalah mengenai kinerja KPU dan Bawaslu sepanjang proses pemilu tahun 2019.

Sebagaimana diketahui dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah diatur salah satu tugas KPU adalah merencanakan dan melaksanakan pemilu, sementara Bawaslu yaitu mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu.

Salah satu tahapannya adalah penetapan hasil pemilu. Selain itu, Bawaslu juga bertugas untuk mencegah terjadinya praktik politik uang.
Berdasarkan pemberitaan di media, KPU telah menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazaruddin Kiemas. Namun, bukan nama Riezky Aprilia, melainkan nama Harun Masiku yang akhirnya naik sebagai penggantinya.

Terasa janggal juga Bawaslu tidak mengetahui adanya perubahan hasil rapat pleno penetapan ini, sementara tugasnya adalah mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilu.

Selanjutnya, yang kedua adalah keputusan KPU yang bersifat kolektif kolegial. Sebagaimana diketahui bahwa keputusan yang bersifat kolektif kolegial merupakan keputusan yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam mengeluarkan keputusan atau kebijakan.

Melalui mekanisme yang ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat atau pemungutan suara dengan mengedepankan semangat kebersamaan.

Adanya perubahan pengganti Nazaruddin Kiemas dari Riezky Aprilia menjadi Harun Masiku harusnya diketahui oleh jajaran KPU, namun tampaknya tidak ada klarifikasi terkait perubahan tersebut. Perubahan tersebut baru diketahui publik setelah adanya penangkapan oleh KPK.

Kepercayaan Publik

Terakhir, yang ketiga adalah dampak dari adanya penangkapan terhadap komisioner KPU ini. Dampak yang paling besar tentunya adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap demokrasi dan KPU secara kelembagaan, karena KPU selama ini dianggap sebagai lembaga yang independen dan mengedepankan integritas, justru meruntuhkan integritas moralnya sendiri dengan praktik korupsi.

Fakta lain menunjukkan bahwa ini merupakan penangkapan komisioner KPU yang keenam oleh KPK.

Di mana sebelumnya pernah dilakukan penangkapan Komisioner KPU Mulyana Wira Kusumah pada April 2005, Komisioner KPU Achmad Rojadi pada September 2005, dan Rusadi Kantaprawira pada Juli 2005 atas kasus pengadaan tinta Pemilu 2004.

Selain itu, Komisioner KPU Nazaruddin Sjamsuddin pada Mei 2005 atas kasus aliran dana taktis KPU dan Komisioner KPU Daan Dimara atas kasus pengadaan segel sampul surat suara Pemilu 2004.

Penangkapan keenam kalinya ini semakin memperbesar luka di hati publik terhadap penyelenggara demokrasi di Indonesia. Melihat beberapa poin di atas seyogyanya menjadi pembelajaran bagi kita semua khususnya penyelenggara dalam pelaksanaan pemilu/pilkada.

Integritas, profesionalisme serta independensi menjadi “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan dan dibenahi kedepannya untuk mengembalikan marwah dan kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara pemilu sebagai ujung tombak demokrasi Indonesia.

Apalagi tahun 2020 ini adalah tahun politik, ada 270 daerah yang akan mengadakan pilkada serentak. Terdiri dari sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Untuk Sulawesi Selatan (Sulsel) sendiri akan ada 12 kabupaten dan satu kota yang akan melaksanakan pilkada. Kita berharap apa yang menimpa anggota KPU RI ini tidak berimbas dan terjadi lagi terhadap semua penyelenggara pemilu.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved