Keadilan dalam Pelayanan Kesehatan
DALAM menciptakan keadilan diperlukan fasilitas kenegaraan yang sangat kompleks sebagai alat untuk menunjang kepentingan rakyat

Oleh: M Aris Munandar SH
Ketua Bidang Kebijakan Publik KAMMI Daerah Makassar 2019-2021/ Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum PPS Unhas
DALAM menciptakan keadilan diperlukan fasilitas kenegaraan yang sangat kompleks sebagai alat untuk menunjang kepentingan rakyat guna menghasilkan keadilan. Sebagaimana dalam sebuah asas hukum bahwa “solus publica suprema lex” (kepentingan publik/rakyat berada di atas segala-galanya termasuk di atas undang-undang).
Asas tersebut bermakna bahwa negara yang beradab haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan untuk menciptakan perdamaian. Sebab, perdamaian hanya akan tercapai jika keadilan ditegakkan.
Sehingga keadilan merupakan cikal bakal dalam tercapainya kepentingan publik secara proporsional. Berbicara tentang keadilan sangat sarat akan pelayanan publik.
Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dijelaskan bahwa yang dimaksud pelayanan publik “kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”.
Pada Pasal 1 angka (2) UU Pelayanan Publik bahwa yang menyelenggarakan pelayanan publik, “setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undangundang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dilihat secara intrinsik bahwa pelayanan publik dapat diselenggarakan oleh badan hukum yang dibentuk untuk kegiatan pelayanan publik.
Jaminan Kesehatan
BPJS merupakan salah satu badan hukum publik yang dibentuk oleh pemerintah untuk melaksanakan kegiatan pelayanan publik berupa jaminan kesehatan sebagaimana dijelaskan pada Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).
Oleh karena itu, sebagai badan hukum publik, maka dalam melaksanakan kegiatan publik, BPJS harus mengedepankan asas kepentingan publik sebagaimana Pasal 4 huruf a, dan f UU Pelayanan Publik yang berbunyi “Penyelenggaraan Pelayanan Publik berasaskan Kepentingan Umum, dan partisipatif.”
Yang dimaksud kepentingan umum adalah pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan. Yang dimaksud dengan partisipatif adalah peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dipahami bahwa dalam hal pelaksanaan pelayanan publik harus mengedepankan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Sanksi
Menilik BPJS selaku lembaga yang bergerak dibidang pelayanan publik, mulai sejak dibentuknya (2011) hingga penghujung tahun 2019 ini terdapat kompleksitas persoalan yang nyata diliat secara nyata oleh masyarakat Indonesia.
Selain persoalan kedudukan BPJS selaku badan hukum publik yang mengalami ketidakjelasan posisinya dalam kelembagaan negara, juga persoalan fundamental lainnya kian mendera tubuh BPJS tersebut.
Persoalan pertama adalah terkait sanksi pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat yang tidak ikut dalam kepesertaan BPJS. Berbicara tentang BPJS tidak luput dari adanya penghukuman berupa sanksi-sanksi yang sifatnya administratif.
Hal ini menjadi salah satu jalan atau corong untuk menegakkan ketentuan bahwa setiap warga negara Indonesia wajib menjadi peserta BPJS sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Terkait sanksi tersebut, terdapat beberapa ketentuan yang mengaturnya. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 17 ayat (1) Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang berbunyi:
“Kewajiban melakukan pendaftaran sebagai Peserta Jaminan Kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan batas waktunya namun belum dilakukan maka dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Berkenaan dengan hal tersebut, dijabarkan sanksi-sanksi yang dapat diterima baik pemberi kerja maupun yang bukan pemberi kerja. Pada Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Sanksi Administrasi Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Ketentuan ini berbunyi “sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada setiap orang, selain pemberi kerja, Pekerja, dan penerima bantuan iuran yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program jaminan sosial meliputi: a) Izin Mendirikan Bangunan (IMB), b) Surat Izin Mengemudi (SIM), c) Sertifikat Tanah, d) Paspor, atau e) Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).”
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dilihat sebuah kerancuan yang amat nyata dalam pengenaan sanksi bagi masyarakat yang tidak ikut serta dalam BPJS. Hal ini disebabkan, terkait keikutsertaan masyarakat menjadi peserta BPJS bukanlah merupakan suatu kewajiban.
Secara konstitusional telah dijabarkan, terkait pelayanan kesehatan bagi warga negara Indonesia berbentuk hak. Secara letterlijke hukum, yang dimaksud hak adalah segala sesuatu yang bukan merupakan beban.
Hak secara konsepsional dapat digunakan dan dapat juga tidak digunakan. Sehingga dalam hal pengenaan sanksi bagi masyarakat yang tidak mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS adalah sangat keliru dan inkonstitusional.
Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 yang secara maknawi memuat ketentuan setiap warga negara Indonesia “berhak” memperoleh pelayanan kesehatan.
Selain itu, sanksi-sanksi yang ditawarkan dalam peraturan pemerintah di atas telah dijamin UUD NRI 1945 pemenuhannya dan tidak ada setiap orang yang berhak menghalangi untuk memperolehnya. Sebagai contoh, sertifikat tanah merupakan bagian dari semangat reforma agraria melalui pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional.
Hal ini dijamin pemenuhannya melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang dipertegas melalui Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi:
“Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.
Lebih lanjut pada Pasal 19 ayat (1) UUPA memuat ketentuan bahwa: “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Jelaslah bahwa sertifikat tanah atas suatu tindakan pendaftaran tanah oleh masyarakat merupakan hak konstitusional yang harus dipenuhi oleh pemerintah bagi seluruh warga negara Indonesia.
Sehingga dengan adanya sanksi untuk tidak menerbitkan sertifikat tanah bagi masyarakat yang tidak ikut serta dalam BPJS adalah suatu perbuatan yang inkonstitusional karena hal tersebut tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan juga mengalami konkurensi norma antara peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya. Sehingga sanksi tersebut dapat dikatakan keliru dan dapat batal demi hukum.
Kenaikan Iuran
Tibalah pada persoalan yang menjadi sambutan tahun baru pemerintah untuk rakyat Indonesia yakni melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, di mana terjadi kenaikan pembayaran iuran BPJS Kesehatan.
Kelas 1 Rp 160.000 per orang, Kelas 2 Rp 110.000 per orang, dan Kelas 3 Rp 42 ribu. Jika dikalkulasikan dari kebijakan tahun 2018 dengan tahun 2019 mengalami peningkatan hampir 100 persen. Inilah wajah baru BPJS yang ditawarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam menyambut tahun baru 2020.
Tentunya wajah baru BPJS Kesehatan ini bukanlah hal yang menggembirakan bagi kaum proletar, justru akan menciptakan hilangnya partisipasi masyarakat dalam penggunaan BPJS. Hal itu dibuktikan melalui tanda awal dengan adanya keinginan masyarakat yang awalnya kepesertaannya berada pada kelas 1 pindah ke kelas 3.
Dampak yang dihasilkan dari migrasi tersebut tentunya terjadi lonjakan pada kelas 3 yang akan mengakibatkan pelayanan kesehatan kurang maksimal. Pada ujungnya tidak tercapai yang namanya partisipasi masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan UU Pelayanan Publik.
Akhirnya, ada wajah baru yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. KAMMI Daerah Makassar sebagai salah satu contoh organisasi kepemudaan yang memberikan pernyataan sikap BPJS harus digratiskan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika tidak kunjung dilaksanakan oleh pemerintah maka jalan terakhir adalah mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk menerbitkan undang-undang pembubaran BPJS sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 46 UU BPJS bahwa “BPJS hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang”.
Sehingga bukan tidak mungkin dibentuk program jaminan sosial nasional yang baru dengan nama serta bentuk yang berbeda. Ada banyak tawaran solusi yang bisa dijalankan pemerintah. Salah satunya dengan memaksimalkan pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam menutupi kebutuhan kesehatan rakyat Indonesia.
Hal tersebut diperkuat dengan mengoptimalkan pemberdayaan sumber daya alam (SDA) sebagai sumber pendapatan negara yang besar dengan menitikberatkan pada pengelolaan secara domestik dan menolak pengelolaan SDA oleh negara asing.
Mengakhiri tulisan ini, penulis ingin mengungkapkan bahwa keadilan dalam bidang pelayanan kesehatan adalah suatu hal mutlak yang harus diperjuangkan oleh para penguasa dan wakil rakyat untuk menciptakan kesejahteraan sosial secara komprehensif dan masif. Sebab keadilan adalah to render to each man what is his due (memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya).(*)