Gagasan Segar dan Inovasi Nadiem Makarim
Akreditasi tidak menjamin mutu, sebab begitu banyak sekolah dan perguran tinggi dengan status akreditasi A atau B, tetapi mutu luarannya sangat rendah
Oleh: Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar - Wakil Ketua Dewan Pendidikan Sulawesi Selatan
Kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamim kesiapan kerja. Kita memasuki era di mana akreditasi tidak menjamin mutu.
Pernyataan-pernyataan di atas adalah beberapa point penting yang disampaikan oleh Mendikbud Nadiem Anwar Makarim saat berpidato di depan para guru besar dan civitas akademika di Universitas Indonesia pada 4 Desember 2019 lalu.
Pidato tanpa teks itu kemudian menjadi trending topik di berbagai media dan ditanggapi beragam oleh masyarakat, terutama kaum akademisi itu sendiri. Ada yang menyambut dengan positif sebagai gagasan segar dan inovatif. Tetapi tidak kurang juga yang menilai negatif karena dinilai sangat ideal tetapi kurang realistis.
Kompetensi
Gelar tidak menjamin kompetensi. Pernyataan ini menurut saya benar adanya. Ini karena begitu banyak orang yang bergelar sarjana, baik S1, S2, S3, bahkan Guru Besar sekalipun tetapi kompetensinya sangat lemah. Orang-orang seperti ini biasanya memperoleh gelar kesarjanaan melalui cara-cara instan, tanpa melalui proses.
Orang-orang seperti ini juga biasanya kuliah di perguruan tinggi ‘abal-abal’. Perguruan tinggi yang hanya berorientasi pada jumlah dan uang tanpa memikirkan proses akademik yang benar. Perguruan tinggi seperti ini jumlahnya banyak dan peminatnya sangat besar.
Tidak sedikit orang yang bergelar master, doktor bahkan guru besar tetapi minim karya ilmiahnya. Juga tidak jarang di kantor-kantor pemerintah orang-orang bergelar tinggi tetapi jika diberi amanah menyelesaikan masalah, mereka tidak percaya diri bahkan seringkali menolak. Hal ini karena kompetensi yang kurang.
Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan kerja, pernyataan ini juga benar. Tidak sedikit luaran perguruan tinggi karena mereka tidak siap kerja, akhirnya menganggur. Jangankan dari perguruan tinggi abal-abal, luaran dari perguran tinggi ternama pun banyak yang bingung mau kerja apa.
Akibat dari semua ini membuat angka pengangguran meskipun menurun setiap tahun tetapi pengangguran dari kalangan perguruan tinggi trendnya semakin meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data terbaru bahwa jumlah pengangguran per Februari 2019 menurun, tetapi dari sisi pendidikannya, lulusan diploma dan universitas makin banyak yang tidak bekerja.
Pendidikan para penganggur pada Februari 2017 setingkat Diploma I/II/II naik 8,5% . Sementara Februari 2019 setingkat univeritas (S1) naik menjadi 25 %. Selanjutnya dikemukakan sebab-sebab mereka menganggur. Pertama, keterampilan tidak sesuai dengan kebutuhan. Kedua, ekspektasi penghasilan dan status lebih tinggi.
Ketiga, penyediaan lapangan kerja terbatas. Ini adalah sebuah fakta yang memberi pembenaran pernyataan Nadiem bahwa kelulusan tidak menjamin kesiapan kerja. Akreditasi tidak menjamin mutu. Pernyataan ini juga ada benarnya sebab kita banyak menemukan begitu banyak sekolah dan perguran tinggi dengan status akreditasi A atau B, tetapi mutu luarannya sangat rendah.
Banyak perguruan tinggi memiliki akreditasi institusi A, demikian juga akreditasi prodi A, tetapi alumninya tidak pernah lulus kalau mengikuti tes kompetensi atau tes untuk menjadi karyawan atau ASN. Tidak sedikit alumni kedokteran, keperawatan, kebidanan yang berasal dari perguran tinggi dengan akreditasi terbaik dan dinyatakan tidak lulus ujian kompetensi. Ini belum kita melihat bagaimana proses inputnya. Sebab tidak sedikit juga perguruan tinggi dengan akreditasi A baik institusi maupun prodi, tetapi mahasiswanya tidak melalui tes yang benar, akibatnya banyak mahasiswa yang masuk tetapi sesungguhnya mereka tidak layak untuk kuliah.
Solusi
Pernyataan Nadiem tentu membuat orang atau sekelompok orang merasa tersinggung, tetapi menurut saya kalau memang realitasnya demikian. Ya harus kita terima seraya melakukan instrospeksi dan mencari solusinya. Apa yang dilakukan oleh Ketua Majelis Senat Akademik 11 PTNBH Pak Nachrowi Djalal sangat positif.
Beliau justru memasukkan pernyataan Nadiem tersebut sebagai salah satu agenda penting dalam sidang paripurna Majelis Senat Akademik 11 Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) yang dilaksanakan di Bandung, 9-10 Desember 2019.
Dalam pernyataan persnya, Nachrowi mengemukakan bahwa pola permintaan pasar tenaga kerja memang sudah berubah. Google dan Facebook misalnya, akhir-akhir ini dalam rekrutmen pegawai barunya lebih mengutamakan kompetensi pelamar dari pada ijazah.
Pernyataan ini secara tidak langsung membenarkan apa yang dikemukakan oleh Nadiem bahwa soal gelar yang tidak menjamin kompetensi, lulusan tidak menjamin kesiapan berkarya dan bekerja, akreditasi yang tidak menjamin mutu pendidikan.
Solusi dari masalah di atas tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi institusi yang kini dipimpin Nadiem. Pertama melakukan evaluasi terhadap kebijakan Link and Match yang selama ini dilakukan. Sebab terbukti bahwa yang banyak memberi kontribusi pada tingkat pengangguran pada level sekolah menengah atas adalah pada sekolah kejuruan (SMK).
Padahal lembaga pendidikan inilah yang diharapkan untuk menjadi penyanggah ekonomi kecil dan menengah dan sumber tenaga kerja (man power) potensial mengisi pembangunan dan tentu saja alumninya tersalurkan dan tidak ada yang menganggur. Kemerdekaan bagi guru dan pembelajar agar bisa lebih kreatif dan inovatif sebagaimana dikemukakan Nadiem menurut penulis itu hanya penunjang dalam proses pembelajaran.
Solusi berikutnya adalah ketersediaan lapangan kerja dan ini menjadi tanggung jawab semua komponen anak bangsa, tetapi tentu saja yang terdepan adalah pemerintah. Meskipun lembaga pendidikan dari semua tingkatan diperbaiki dan ditingkatkan mutunya tetapi kalau pemerintah tidak sanggup menyediakan lapangan kerja pasti juga akan mengalami kegagalan.
Oleh sebab itu pemerintah seyogyanya membangunan infrasturuktur. Tetapi jangan hanya menjadi properti atau pencitraan saja, akan tetapi infra sturuktur itu sekaligus mendorong perekonomian dan dalam waktu bersamaan bisa menyerap tenaga kerja yang besar.
Model pembangunan yang mengejar pertumbuhan berbasis teknologi tinggi, juga harus di evaluasi sebab model ini hanya menyerap tenaga kerja yang terdidik dan terampil tetapi mengabaikan tenaga kerja tidak terdidik dan rendah keterampilan.
Oleh sebab itu pemerintah seyogyanya tetap memperhatikan model pembangunan padat karya. Sebab tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terampil seperti buruh dan tenaga kasar dari desa dan pedalaman jumlahnya juga sangat besar.
Solusi-solusi di atas dalam perspektif kependidikan tentu menjadi tanggung jawab Nadiem dan jajarannya. Kita berharap, mudah-mudahan gagasan-gasan beliau yang segar dan inovatif bisa menjadi kenyataan sehingga lembaga pendidikan bisa memberi kontribusi positif bagi pembangunan bangsa dan negara. Dengan begitu gelar bisa menjamin kompentensi, kelulusan bisa menjamin kesiapan kerja dan akreditasi dapat menjamin mutu. Semoga. (*)