Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

TRIBUN WIKI

Dukung Ahok Pimpin BUMN Pertamina, Ini Sosok Buya Syafii Maarif, Kontroversi Kasus Penistaan Agama

Dukung Ahok Pimpin BUMN Pertamina, Ini Sosok Buya Syafii Maarif, Kontroversi Kasus Penistaan Agama

Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Anita Kusuma Wardana
Istimewa
Dukung Ahok Pimpin BUMN Pertamina, Ini Sosok Buya Syafii Maarif, Kontroversi Kasus Penistaan Agama 

TRIBUNTIMURWIKI.COM- Kabar masuknya, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai banyak komentar dari berbagai pihak.

Adapula yang tak setuju jika Mantan Gubernur DKI Jakarta itu jika memimpin BUMN.

Namun, Mantan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Buya Syafii Maarif mengimbau untuk jangan mendengar penolakan kelompok tertentu.

Dilansir dari Kompas.com, ia menyarankan untuk menunjukkan prestasi dan bekerja dengan baik, daripada mendengarkan kelompok yang menentang.

"Kelompok yang mana, ya biarkan saja jangan dengar, tunjukkan prestasi, kerja yang baik," katanya, di Pendopo Agung Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Jumat (15/11/2019), melihat tayangan YouTube KOMPASTV, Minggu (17/11/2019).

Kembali ditanya terkait banyak pihak yang menentang Ahok karena sikapnya yang sering emosi, Buya menegaskan jika Ahok sudah banyak belajar dan bisa mengendalikan emosinya itu.

"Sudah banyak belajar ya, saya rasa Ahok sudah bisa mengerem itu (emosi)," katanya.

Buya Syafii Maarif menilai Ahok cocok menduduki posisi pimpinan BUMN.

"Kan belum pasti, saya rasa oke, kenapa tidak?" ungkapnya.

Sebelumnya, anggota Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade menilai Ahok harus mengubah cara kepemimpinannya jika nanti terpilih memimpin perusahaan BUMN.

Andre ingin Ahok tidak menggunakan gaya kepemimpinan seperti dirinya menjabat Gubernur DKI Jakarta sebelumnya.

“Saya hormati rencana Menteri BUMN mau mengangkat beliau (Ahok). Kepada Pak Ahok tolong ikuti UU BUMN dan UU perseroan. Jangan sampai nanti diulang lagi petantang-petenteng waktu jadi gubernur DKI. Itu harapan kita,” ujar Andre saat dihubungi, Kamis (14/11/2019), dikutip dari Kompas.com.

Dirinya mengharapkan, Ahok bisa membawa terobosan baru bagi BUMN, bukan membuat kegaduhan.

“Menjadi direksi BUMN diharapkan membawa terobosan dan perbaikan bagi BUMN, bukan cari ribut. Itu harapan kita,” kata Andre.

Sementara itu, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera mempersilakan Ahok untuk menjadi pimpinan perusahaan BUMN.

Meski mempersilakan langkah Ahok tersebut, Mardani Ali Sera menyebut harus dilaksanakan sesuai aturan.

Mengingat Ahok diketahui masih menjadi bagian dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Mardani Ali Sera takut jika akan terjadi konflik kepentingan apabila Ahok jadi pimpinan perusahaan BUMN.

"Intinya ikuti aturan mainnya, karena aturan main itu dibuat agar tidak terjadi conflict of interest (konflik kepentingan)," jelas Mardani Ali Sera, Kamis (14/11/2019), melihat tayangan YouTube KOMPASTV, Kamis (14/11/2019).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya sudah memastikan Ahok kemungkinan akan menjabat sebagai komisaris atau bagian dari direksi, atau juga bisa dua-duanya.

Menanggapi kabar tersebut, Mardani Ali Sera menilai Ahok harus mengikuti sesuai aturan yang berlaku.

"Pertama, komisaris atau direksi BUMN itu ada aturannya, menurut saya kalau aturan diikuti, ya monggo," katanya.

Mardani Ali Sera ingin Ahok konsisten untuk tetap berada di partai politik, atau ingin keluar dan menjabat di BUMN.

"Semisal kalau beliau melepaskan anggotanya, kalau berjuang ya konsisten saja, kalau mau di jalur politik ya di politik saja, jangan di jalur lain," jelas Mardani Ali Sera.

Ketua DPP PKS itu menganggap hal tersebut bisa dijadikan sebagai pembelajaran di masyarakat, terkait etika dan moralitas yang dianggapnya menjadi hal penting.

"Ini baik bagi edukasi publik, etika-etika, moralitas-moralitas itu penting," ujarnya.

Siapa Buya Syafii Maarif?

Dilansir dari wikipedia, Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif adalah seorang ulama, ilmuwan dan pendidik Indonesia.

Ia pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute, dan juga dikenal sebagai seorang tokoh yang mempunyai komitmen kebangsaan yang tinggi.

Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja telah memposisikannya sebagai "Bapak Bangsa".

Ia tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri.

Ahmad Syafii Maarif lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau pada 31 Mei 1935.

Ia lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, dan Fathiyah.

Ia bungsu dari 4 bersaudara seibu seayah, dan seluruhnya 15 orang bersaudara seayah berlainan ibu.

Ayahnya adalah saudagar gambir, yang belakangan diangkat sebagai kepala suku di kaumnya.

Sewaktu Syafii berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal. Syafii kemudian dititipkan ke rumah adik ayahnya yang bernama Bainah, yang menikah dengan adik seibu ibunya yang bernama A. Wahid.

Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke sekolah rakyat (SR, setingkat SD) di Sumpur Kudus.

Sepulang sekolah, Pi'i, panggilan akrabnya semasa kecil, belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu.

Pendidikannya di SR, yang harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun.

Ia tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan.

Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun.

Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk di bangku kelas tiga.

Merantau ke Jawa

Pada tahun 1953, dalam usia 18 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jawa.

Bersama dua adik sepupunya, yakni Azra'i dan Suward, ia diajak belajar ke Yogyakarta oleh M. Sanusi Latief.

Namun, sesampai di Yogyakarta, niatnya semula untuk meneruskan sekolahnya ke Madrasah Muallimin di kota itu tidak terwujud, karena pihak sekolah menolak menerimanya di kelas empat dengan alasan kelas sudah penuh.

Tidak lama setelah itu, ia justru diangkat menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah tersebut tetapi tidak lama.

Pada saat bersamaan, ia bersama Azra'i mengikuti sekolah montir sampai akhirnya lulus setelah beberapa bulan belajar.

Setelah itu, ia kembali mendaftar ke Muallimin dan akhirnya ia diterima tetapi ia harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga.

Selama belajar di sekolah tersebut, ia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar (Kini Dibawahi oleh Lembaga Pers Mu'allimin), sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta.

Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya.

Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru.

Sesampai di Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru.

Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya, kemudian kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta.

Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964.

Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat sarjana penuh (doktorandus) pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968.

Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya.

Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958.

Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo.

Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.

Karier

Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS.

Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.

Selama di Chicago inilah, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman.

Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya.

Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi'i Maarif, yang berjudul 'Si Anak Kampung'.

Novel ini telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival (AIFF).

Aktivitas

Setelah meninggalkan posisnya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini ia aktif dalam komunitas Maarif Institute.

Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam sejumlah seminar.

Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak.

Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit antara lain berjudul: Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?, kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984.

Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985.

Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.

Kontroversi

Pada November 2016, ia membela Ahok dengan mengatakan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama.

Pandangannya ini melawan pendapat mayoritas tokoh Islam lainnya termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah memfatwakan bahwa Ahok melakukan penistaan agama islam dan para ulama.

"Sekiranya saya telah membaca secara utuh pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu yang menghebohkan itu, dalam fatwa itu jelas dituduhkan bahwa Ahok telah menghina al-Qur'an dan menghina ulama sehingga harus diproses secara hukum, semua berdasarkan Fatwa MUI yang tidak teliti itu, semestinya MUI sebagai lembaga menjaga martabatnya melalui fatwa-fatwa yang benar-benar dipertimbangkan secara jernih, cerdas, dan bertanggung jawab, fatwa atau pandangan agama itu benar, shahih, jelas atau sama seperti apa yang disampaikan ahli agama, jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin pakai Surat Al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya. Perhatikan, apa terdapat penghinaan Al-Qur'an? Hanya otak sakit saja yang kesimpulan begitu, yang dikritik Ahok adalah mereka yang menggunakan ayat itu untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih dirinya, apakah kita mau mengorbankan kepentingan bangsa dan negara itu akibat fatwa yang tidak cermat itu? Atau apakah seorang Ahok begitu ditakuti di negeri ini, sehingga harus dilawan dengan demo besar-besaran? Jangan jadi manusia dan bangsa kerdil, untuk kepentingan klarfiikasi atas legalitas pendapat keagamaan atau fatwa tentang adanya dugaan kasus penistaan atau penistaan agama yang dilakukan oleh saudara petahana Basuki Purnama."

— Ahmad Syafii Maarif, tribunnews

Data Diri:

Nama: Ahmad Syafi'i Ma'arif

Sapaan: Buya Syafii Ma'arif

Lahir: 31 Mei 1935

Tempat Lahir: Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatra Barat

Kebangsaan: Indonesia

Pekerjaan: Dosen

Aktivis

Sejarawan

Negarawan

Penghargaan: Ramon Magsaysay Award (2008)

Karier ilmiah

Bidang: Sejarah

Institusi: Universitas Negeri Yogyakarta

Tesis: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent

Assembly Debates in Indonesia (1983)

Terinspirasi: Fazlur Rahman

Amien Rais

Nurcholish Madjid

Keluarga

Istri : Hj. Nurkhalifah

Anak: Salman

Mohammad Hafiz

Pendidikan:

SR Negeri Sumpur Kudus, Sumatera Barat (1947)
Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus, Sumatera Barat
Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Lintau, Sumatera Barat
Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah, Yogyakarta (1956)
BA, Fakultas Sejarah dan Kebudayaan Universitas Cokroaminoto Surakarta (1964)
S1, Jurusan Sejarah, IKIP Yogyakarta (1968)
S2, Jurusan Sejarah, Ohio University, Athens, Ohio, AS, (MA, 1980)
S3, Pemikiran Islam, Universitas Chicago, Amerika Serikat, (Ph.D, 1983)

Karier:

Guru di Sekolah Muhammadiyah, Lombok Timur, NTB (1957-)
Guru Bahasa Inggris dan Indonesia SMP di Baturetno, Surakarta (1959-1963)
Guru Bahasa Inggris dan Indonesia SMA Islam Surakarta (1963-1964)
Dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (1964-1969)
Dosen IKIP Yogyakarta (1967-1969)
Asisten dosen paruh waktu Sejarah dan Kebudayaan Islam di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1969-1972)
Asisten Dosen Sejarah Asia Tenggara IKIP Yogyakarta (1969-1972)
Dosen paruh waktu Sejarah Asia Barat Daya IKIP Yogyakarta (1973-1976)
Dosen senior Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1983-1990)
Profesor tamu di University of Iowa, AS (1986)
Dosen senior (paruh waktu) Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Kalijaga, Yogyakarta (1983-1990)
Dosen senior (paruh waktu) di UII Yogyakarta (1984-1990)
Dosen senior (paruh waktu) Sejarah Ideologi Politik Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (1987-1990)
Dosen senior (pensyarah kanan) di Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1994)
Dosen senior Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1992-1993)
Profesor tamu di McGill University, Kanada (1992-1994)
Profesor Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1996)
Wakil Ketua PP Muhammadiyah (1995-1998)
Ketua PP Muhammadiyah (1998-2000)
Ketua PP Muhammadiyah (2000- 2005)
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia
Pemimpin Redaksi majalah Suara Muhammadiyah Yogyakarta (1988-1990)
Anggota Staf Ahli jurnal Ummul Qur'an (1988)
MAARIF Institute for Culture and Humanity (2002)
Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).(*)

Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur

Follow akun instagram Tribun Timur:

Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur:

(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved