Eks Aktivis PMII dan Kader NU Nurul Ghufron Terancam Tak Dilantik Jadi Pimpinan KPK, Penyebab
Eks aktivis PMII dan kader NU Nurul Ghufron terancam tak dilantik jadi pimpinan KPK, penyebab.
"Akhirnya terhadap pertimbangan, saudara Ghufron ini telah kami berikan dari pimpinan DPR dan disepakati dalam rapat konsultasi pengganti Bamus bahwa untuk Ghufron itu tetap masih mengikuti usia yang tertulis dalam UU 30 tahun 2002 yaitu 40 tahun," katanya pungkas.
Sebelumnya, polemik batas usia Capim KPK terjadi sejak tipo dalam UU KPK hasil revisi.
Dalam draf UU KPK hasil revisi terdapat ketidaksesuaian persyaratan usia yaitu dalam angka dituliskan "50" tahun, tapi dalam huruf dituliskan "empat puluh" tahun.
Adapun DPR telah mengoreksi, usia yang ditetapkan adalah lima puluh tahun.
Namun, Hal ini berdampak pada salah satu Capim KPK Nurul Ghufron yang berusia 45 tahun.
Nurul Ghufron terancam tak dapat dilantik sebagai pimpinan KPK bila UU KPK hasil revisi telah berlaku dan diundangkan.
Pakar hukum tata negara dari IPDN, Juanda, mengatakan, Nurul Ghufron terancam tak bisa dilantik karena UU KPK hasil revisi mengatur pimpinan KPK minimal berusia 50 tahun, sedangkan Nurul Ghufron baru berusia 45 tahun.
"Kalau berlaku, berdasarkan undang-undang itu, jelas seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang itu tidak bisa dilantik" kata Juanda kepada Kompas.com, Jumat (11/10/2019).
Menurut Juanda, hal itu menimbulkan problematika karena Nurul Ghufron sesungguhnya telah sah terpilih sebagai pimpinan KPK bila berdasarkan UU KPK yang lama.
"Ini kan membuat seseorang itu dirugikan. Ini harusnya tidak boleh terjadi karena dia itu sudah terpilih, berdasarkan undang-undang lama sah dia, cuma waktu pelantikannya berdasarkan undang-undang yang baru," kata Juanda.
Bila Nurul Ghufron dipaksakan untuk dilantik, kata Juanda, jabatannya sebagai pimpinan KPK dapat dianggap tidak sah.
Efeknya, Nurul Ghufron tidak berhak memperoleh kewenangan sebagai pimpinan KPK.
"Kalau seseorang dilantik tidak sesuai undang-undang yang berlaku, konsekuensinya kan cacat. Kalau cacat, itu berarti tunjangan segala macam yang ia terima itu terindikasi pada korupsi," ujar Juanda.(*)