Bandingkan Reaksi Surya Paloh dengan Tanggapan Kubu AHY Seusai 'Dipermalukan' Megawati
Bandingkan Reaksi Surya Paloh dengan Tanggapan Kubu AHY Seusai 'Dipermalukan' Megawati
Ini adalah kali pertama bagi SBY menghadiri upacara kemerdekaan di Istana Kepresidenan setelah lengser sebagai Presiden keenam RI.
Pada HUT RI tahun 2015 dan 2016 lalu, SBY lebih memilih merayakan kemerdekaan di kampung halamannya di Pacitan, Jawa Timur.
Sementara, Megawati juga tidak pernah hadir di Istana selama 10 tahun SBY menjabat.
Namun, begitu SBY lengser dan digantikan Jokowi, Megawati tak pernah absen merayakan hari kemerdekaan di Istana.
Terakhir, pertemuan keduanya terjadi dalam suasana duka saat meninggalnya suami Megawati, Taufiq Kiemas, pada tahun 2013.
SBY ketika itu memimpin upacara penghormatan terakhir kepada Ketua MPR itu.
Mega Kembali Bertemu SBY saat Pemakaman Ani Yudhoyono
Mega kembali bertemu SBY dalam momen pemakaman istri SBY, Kristiani Herawati atau Ani Yudhoyono di Taman Makam Pahlawan (TMP) Jakarta, Minggu, 2 Juni 2019 sore.
Dikutip dari Kompas.com, SBY dan Mega terlihat berjabat tangan.
Kedua tokoh ini sudah lama tak bertemu.
Peristiwa jabat tangan itu, terjadi saat SBY tiba di titik pemakaman Ani Yudhoyono.
Megawati dan sejumlah pejabat yang duduk sejajar berdiri menyambut SBY yang langsung menyalami mereka.

Di antaranya mantan wakil presiden Boediono, Presiden ke-3 RI BJ Habibie, dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo.
Megawati tampak mengucapkan sesuatu kepada SBY dan tersenyum.
Sementara SBY menganggukan kepala, lalu duduk di antara BJ Habibie dan Iriana Jokowi.
Tempat duduk SBY dan Megawati hanya dipisahkan Iriana.
3. Prabowo Subianto
Dalam pidato politiknya sebagai peserta konvensi capres di Istora Senayan pada Februari 2004, Prabowo menyoroti penjualan aset negara.
Ia sedang mengkritik Megawati yang menjual saham sejumlah BUMN kepada asing.
Melalui pidato berapi-api yang dihadiri 4.200 kader Golkar DKI Jakarta di Lapangan Tenis Tertutup Istoran Senayan, Prabowo menyerukan agar bangsa ini jangan terus-terusan menjual aset negara ke pihak asing agar tidak menjadi "kacung" di negeri sendiri.
"Setelah Indosat, lalu diumumkan BNI 46 akan dijual ke pihak asing. Dulu, kakek saya, almarhum Margono Djojohadikusumo, diperintahkan Bung Karno dan Bung Hatta untuk mendirikan bank milik Indonesia yang pertama dan sekarang akan dijual. Artinya, telekomunikasi dijual dan bank-bank juga dijual. Kita akan jadi kacung di negara kita sendiri," ujarnya.
Kebijakan privatisasi aset di era Megawati memang menjadi kontroversi. Megawati menjual Indosat seharga Rp 4,6 triliun kepada Tamasek Holding Company, BUMN Singapura.
Kebijakan privatisasi adalah peluru yang digunakan lawan untuk menjadikan Megawati sebagai bulan-bulanan politik. Prabowo menuding elite sebagai pihak yang bertanggung jawab atas buruknya perekonomian saat itu.
"Elite kita telah mengkhianati bangsanya sendiri. Aset dijual, elite diam saja. Padahal, kita sudah kehilangan kehormatan dan kemerdekaan kita sebagai bangsa. Kita masih tenang saja, padahal kita sudah dijajah orang asing. Saya terus terang malu. Bank-bank dijual murah, telekomunikasi kita juga dijual. Kita akan menjadi kacung di negara kita sendiri. Saya maju karena saya malu sebagai bangsa Indonesia," kata Prabowo pada 21 Februari 2004.
Prabowo gagal memenangi tiket capres dari Partai Golkar. Ia dikalahkan Wiranto yang kemudian menggandeng Salahuddin Wahid sebagai calon wakil presiden. Sementara Megawati berduet dengan Hasyim Muzadi.
Keduanya kalah oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla.
Bersatu di 2009
Tiga tahun setelah kekalahan di 2004, Prabowo akhirnya hengkang dari Golkar.
Ia memilih mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra bersama Suhardi, Fadli Zon, Ahmad Muzani, M Asrian Mirza, Amran Nasution, Halida Hatta, Tanya Alwi, Haris Bobihoe, Sufmi Dasco Ahmad, Muchdi Pr, hingga Widjono Hardjanto. Bersama dengan PDI-P yang kalah pemilu, Gerindra berdiri di kubu oposisi.
Lewat diskusi yang amat alot, karena tak ada yang bersedia menjadi calon wakil presiden, kedua partai akhirnya bersepakat mengantarkan duet Megawati-Prabowo di 2009.
Di Batu Tulis, Bogor, Megawati dan Prabowo menyepakati perjanjian yang kelak dikenal dengan Perjanjian Batu Tulis. Salah satu isinya, jika nanti pasangan Megawati-Prabowo menang, Megawati dan PDI-P akan mengusung Prabowo untuk maju sebagai calon presiden di Pilpres 2014.
Sayangnya, pasangan Megawati-Prabowo hanya meraup 26,7 persen suara dan kalah telak dengan SBY-Boediono yang mengantongi 60,8 suara. Kendati kalah di 2009, hubungan keduanya baik-baik saja. Gerindra kembali berkoalisi dengan PDI-P di luar pemerintahan. Mereka berjuang bersama di Pilgub DKI 2012.
Joko Widodo yang kala itu menjabat Wali Kota Solo diboyong ke Jakarta dan dipasangkan dengan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Mereka menang dengan 53,8 persen suara, mengalahkan petahana Fauzi Bowo.
Terbelah di pilpres
Menjelang Pilpres 2014, kepentingan politik masing-masing membuat keduanya bersimpangan jalan. Saat itu, Mega memutuskan tak maju lagi di pilpres.
Ia memilih mengusung Jokowi. Hal ini tentu saja membuat Gerindra kesal. Jokowi yang namanya ikut dibesarkan oleh Gerindra diusung oleh PDI-P bersaing dengan Prabowo dalam pilpres.
Prabowo tak banyak memberikan pernyataan politik. Kekecewaan Gerindra banyak disuarakan Fadli Zon yang selalu lugas dan tajam menyerang Megawati terkait Perjanjian Batu Tulis.
Prabowo memilih diam. Ia bahkan masih berharap bisa berduet dengan Mega.
"(Koalisi dengan PDI-P) kenapa tidak? Bangsa Indonesia butuh partai yang baik dan saya pikir PDI-P baik dan diisi oleh tokoh-tokoh yang nasionalis," kata Prabowo seusai memantau hasil quick count pileg 2014 di DPP Partai Gerindra, 9 April 2014.
Menurut Prabowo, bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, tetapi juga memiliki masalah besar.
Prabowo mengatakan, masalah-masalah yang besar itu tidak mungkin bisa diselesaikan oleh satu partai saja, sehebat dan sekuat apa pun partai itu.
"Saya sudah sering menjelaskan, masalah bangsa kita sangat besar. Gerindra ingin jadi bagian dari solusi bangsa. Oleh karena itu, dengan siapa saja yang ingin membangun bangsa ini, kami siap bekerja sama," ujarnya.
Gerindra kemudian mengusung Prabowo sebagai presiden dengan berkoalisi bersama Partai Golkar, PAN, PKS, PPP, dan PBB.
Sementara di kubu Jokowi-Kalla ada PKB, Nasdem, dan Hanura.
Seperti halnya pada Pilpres 2019, pada 2014 pun Prabowo menggugat kemenangan Jokowi. Namun, toh akhirnya Prabowo menerima kekalahannya.
4. Rahmawati Soekarnoputri
Hubungan Megawati Soekarnoputri dengan saudara kandungnya, Rahmawati Soekarnoputri juga sempat dikabarkan renggang.
Menurut Rachma, memang ada perbedaan antara dia dan Mega terkait pemahaman mengenai visi dan ideologi sang ayah, Presiden pertama dan proklamator RI, Soekarno.
Kritikan pun kerap dilontarkan Rachma terhadap kakaknya.
"Saya enggak iri. Biasa saja. Saya kira, saya mengkritik sudah lama," ucap dia.
Kritik kepada Mega, kata Rachma, sudah disampaikannya sejak Mega diproyeksikan sebagai ketua umum PDI Perjuangan.
"Ajaran Bung Karno mana mereka yang jalankan? Mereka (PDI-P di bawah Mega) liberal, federalis," kata dia.
Puncaknya, kata Rachma, terjadi saat Mega menjadi presiden RI. Dia mengkritik dan mengingatkan Mega dengan berbagai cara agar tidak mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 membawa Indonesia ke arah yang liberal.
"Ini masalah prinsipil. Ini bisa jadi pintu asing untuk mengacak-acak NKRI," kata dia.
Sebelumnya, Rachma menyatakan telah mundur dari Partai Nasdem sejak 23 Juli lalu.
Rachma beralasan pengunduran dirinya disebabkan posisinya di Dewan Pertimbangan Nasdem diabaikan oleh DPP Nasdem, termasuk oleh Ketua Umum Nasdem Surya Paloh.
"Selama menjadi (Ketua) Wantim, saya tidak digubris secara sosiologis politis maupun ideologis. Kalau suara Wantim tidak didengar, saya berpikir pada waktu itu, mungkin saya akan mengundurkan diri," ujar dia.
Rachma mengaku sudah mengirimkan surat resmi kepada DPP Nasdem ihwal alasan partai tersebut masuk dalam barisan pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Kendati demikian, dia mengatakan surat itu pun tidak dijawab oleh DPP Nasdem.
Namun saat ini, Rachmawati yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra besutan Prabowo Subianto itu, menilai hubungannya dengan Megawati (Ketua Umum PDI-P) tidak ada masalah.
Meskipun lanjut dia, selama ini antara dirinya dengan kakaknya Megawati dikenal selalu berseberangan dalam hal politik.
"Hubungnya dengan Mbak Mega (Megawati) tetap saja saudara," katanya kepada TribunSolo.com usai peresmian posko Garda Relawan Suka Prabowo (RSP) di Jalan Rajiman nomor 483, Laweyan, Kelurahan Bumi, Kecamatan Laweyan, Kota Solo, Jumat (8/2/2019).
"Nah, prinsip ya kita bisa saja berbeda," kata dia menegaskan.
Bahkan Rachmawati yang saat ini juga menjadi tokoh sentral Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi itu, menekankan, bahwa dirinya tidak hanya anak biologis Bung Karno, sapaan akrab Soekarno.
"Anak Bung Karno tidak hanya satu, saya tidak hanya anak biologis, tapi ideologis," tuturnya.
"Itu yang merasa saya punya kebanggan," terang dia.
Dia menambahkan, sebenarnya anak Bung Karno menaati konsensus keluarga yakni tidak akan berpolitik sebagai bentuk kekecewaan difusikannya Partai Nasional Indonesia (PNI) menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
"Sudah lama tidak berjalan konsensus itu dengan keluarnya Megawati dari situ," ungkap dia. (*)