LAPAR Gelar Halaqah Kebangsaan Bahas Keberagaman dan Kebangsaan
Halaqah Kebangsaan ini menghadirkan sejumlah tokoh baik akademisi maupun tokoh masyarakat.
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulawesi Selatan menggelar diskusi bertajuk Halaqah Kebangsaan di Kantor Tribun Timur, Jl Cendrawasih No 430, Kamis (19/9/2019).
Kegiatan ini digelar sebagai rangkaian menjelang Hari Perdamaian Internasional 2019.
Halaqah Kebangsaan ini menghadirkan sejumlah tokoh baik akademisi maupun tokoh masyarakat.
Pasalnya Halaqah kebangsaan ini membahas terkait dengan keberagaman dan kebangsaan.
Adapun tokoh yang hadir diantaranya yakni Prof Qasim Mathar (Akademisi UIN Alauddin), Yonggris (Ketua Walubi Sulsel), dan Herwanita (Fatayat NU).
Lumpuh, Sebatang Kara Tinggal di Gubuk Reot, BII Galang Dana untuk Semmang di Maros
Datangnya Subuh Hari, Kerjanya Meraba dan Mencium Dalam Gelap, Sasarannya Mama Muda & Ibu-ibu
Paripurna, Fraksi PKS Enrekang Usulkan Penjualan Aset Daerah Tak Efektif
Ini Spesifikasi Lengkap Oppo A5 2020, Empat Kamera Harga Rp 2 Jutaan, Resmi Hadir di Indonesia
Serta sejumlah tokoh agama lainnya seperti Pdt Adri dan Pdt Diks Pasande.
Diskusi dipimpin atau dimoderatori oleh Syamsurijal Adhan yang merupakan peneliti Litbang Kemenag Makassar.
"Tujuan Halaqah Kebangsaan ini bertujuan untuk merumuskan gagasan dan strategi gerakan baru, demi menanamkan kembali nilai-nilai keberagaman dan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat Sulawesi Selatan," ucap Syamsurijal.
Intoleransi di Sulsel
Keberagaman suku, adat istiadat, agama, dan kepercayaan lokal merupakan corak masyarakat Sulawesi Selatan sejak lama.
Berbagai identitas dapat berbaur tanpa sekat dan tanpa batas. Keberbauran ini mencipta produk kebudayaan berupa nilai dan prinsip hidup bersama.
Demi terwujudnya ketentraman, kesejahteraan, dan kedamaian.

Nilai dan prinsip itu dituangkan dalam tiga terma khas yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Sipakatau yang berbasis pada kemanusiaan dan kesetaraan, di mana sesama manusia mesti saling memanusiakan.
Sipakainge’ yang berdasar pada kodrat sebagai makhluk sosial, di mana dituntut untuk saling mengingatkan di jalan kebaikan dan mengutamakan musyawarah di tengah perbedaan pandangan.
Sipakalebbi yang artinya saling menghargai keberagaman latar belakang identitas masing-masing.
Beberapa tahun belakangan ini, nilai dan prinsip itu seolah mengalami keterputusan dalam praktik hidup bermasyarakat.
Momen tahun politik memberikan banyak pelajaran penting bahwa keberagaman bangsa ini sedang gawat.
Namun, usai pemilihan presiden berakhir, harapan akan menurunnya intensitas aksi intoleran, penyebaran berita bohong, dan persekusi terhadap minoritas menguap begitu saja.
Lumpuh, Sebatang Kara Tinggal di Gubuk Reot, BII Galang Dana untuk Semmang di Maros
Datangnya Subuh Hari, Kerjanya Meraba dan Mencium Dalam Gelap, Sasarannya Mama Muda & Ibu-ibu
Paripurna, Fraksi PKS Enrekang Usulkan Penjualan Aset Daerah Tak Efektif
Ini Spesifikasi Lengkap Oppo A5 2020, Empat Kamera Harga Rp 2 Jutaan, Resmi Hadir di Indonesia
Tindakan-tindakan intoleran masih saja berlangsung dan semakin merembes ke beberapa daerah, termasuk Makassar.
Akhir bulan Juli 2019, terjadi pelarangan penjualan makanan olahan daging babi di restoran Mall Pipo oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya Aliansi Penjaga Moral Makassar.
Berselang kemudian, awal Agustus 2019, publik Makassar kembali dihebohkan oleh ulah Brigade Muslim Indonesia (BMI) Sulawesi Selatan yang melakukan razia terhadap buku-buku bersampul tokoh komunis Karl Marx di salah satu outlet Trans Mal.
Peristiwa paling menyita perhatian dan benar-benar melukai nilai dan prinsip tersebut adalah aksi rasisme terhadap orang Papua, yang dimulai dari Surabaya dan merambat hingga Makassar.
Bahkan, kejadian di Makassar sampai menimbulkan keributan di depan Asrama Papua Jalan Lanto Dg Pasewang.
Hingga kini pun, peristiwa rasisme ini belum terselesaikan sepenuhnya dan gejolaknya masih terasa.
Rentetan peristiwa ini harus menjadi perhatian bersama.
Sebab, tentu saja akan berdampak buruk pada nilai dan prinsip yang selama ini telah terbangun.
Peristiwa-peristiwa tersebut mengancam keberagaman yang telah menjadi patokan hidup bersama.
Lebih jauh, bakal menggoncang sendi-sendi kebangsaan yang sudah terajut sejak lama di negeri ini.(tribun-timur.com)
Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur
Follow akun instagram Tribun Timur: