Ada Apa? PBB Desak Pemerintah Indonesia Bebaskan Veronica Koman yang Kini Lari ke Luar Negeri
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak pemerintah Indonesia mencabut perkara yang menjerat aktivis HAM Veronica Koman.
Ada Apa? Organisasi Terbesar Dunia PBB Desak Pemerintah Indonesia Bebaskan Veronica Koman yang Kini Lari ke Australia
TRIBUN-TIMUR.COM-Organisasi terbesar dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak pemerintah Indonesia mencabut perkara yang menjerat aktivis HAM Veronica Koman.
Diketahui saat ini Veronica Koman menjadi tersangka dalam isu provokatif isu Papua di Twitter.
Setelah jadi tersangka, Veronica Koman memilih meninggalkan Indonesia dan tinggal bersama suaminya di Australi. Kini ia menjadi kejaran Interpol.
Dikutip dari Kompas.com, para ahli komisaris tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mendesak pemerintah Indonesia memberikan perlindungan terhadap Veronica Koman.
"Kami mempersilakan pemerintah mengambil langkah terhadap insiden rasisme, tetapi kami mendorong agar pemerintah segera melindungi Veronica Koman dari segala bentuk pembalasan dan intimidasi," kata para ahli seperti dikutip dari laman OHCHR, Rabu (18/9/2019).
"Dan mencabut segala kasus terhadap dia (Veronica) sehingga dia dapat kembali melaporkan situasi mengenai HAM di Indonesia secara independen," kata mereka.
Para ahli diketahui bernama Clement Nyaletsossi Voule dari Togo, David Kaye dari Amerika Serikat, Dubravka Šimonovi dari Kroasia, Meskerem Geset Techane dari Etiopia, dan Michel Forst dari Perancis.
Lowongan Kerja Pegawai Baru BUMN Bank Indonesia, Segera Daftar di Link Resmi, Besok Terakhir!
Polisi Akhirnya Tangkap Tersangka Dalang Kerusuhan Jayapura, Bagaimana Nasib Veronica Koman?
Jadwal Tanding 7 Wakil Indonesia di Hari ke-2 China Open 2019, Anthony Ginting dan Ahsan/Hendra Main

Selain itu, para ahli itu sekaligus menyampaikan bahwa keinginan polisi mencabut paspor Veronica, memblokir rekening, dan meminta Interpol menerbitkan red notice turut menjadi perhatian mereka.
Dalam keterangan tertulisnya, OHCHR juga mendorong pemerintah Indonesia untuk memperhatikan hak-hak peserta aksi serta memastikan layanan internet tetap tersedia di Papua dan Papua Barat.
Sebab, pembatasan layanan internet yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sejak 21 Agustus maupun penggunaan kekuatan militer yang berlebihan dinilai tak akan menyelesaikan masalah.
Sebaliknya, para ahli menganggap pembatasan kebebasan berekspresi itu dapat membahayakan keselamatan para aktivis HAM untuk melaporkan dugaan pelanggaran.
"Secara umum, pembatasan internet dan akses terhadap informasi memiliki dampak yang merugikan terhadap kemampuan berekspresi seseorang, serta untuk membagikan dan menerima informasi," demikian tertulis dalam sikap mereka.
"Di sisi lain, akses terhadap internet berkontribusi untuk mencegah terjadinya disinformasi serta memastikan transparansi dan akuntabilitas," kata mereka.
Kelima ahli tersebut pun sekaligus menyambut baik ketika pemerintah mulai membuka akses internet di sejumlah daerah di Papua pada 4 September 2019.