Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Revisi UU KPK

7 Poin Revisi UU KPK Disahkan DPR, Isi yang Dinilai Lemahkan KPK, Sikap Jokowi, Pegawai KPK Ricuh

TRIBUN-TIMUR.COM - 7 poin revisi UU KPK disahkan DPR, isi yang dinilai lemahkan KPK, sikap Jokowi, pegawai KPK ricuh.

Editor: Aqsa Riyandi Pananrang
Kompas.com
7 poin revisi UU KPK disahkan DPR, isi yang dinilai lemahkan KPK, sikap Jokowi, pegawai KPK ricuh. 

TRIBUN-TIMUR.COM - 7 poin revisi UU KPK disahkan DPR, isi yang dinilai lemahkan KPK, sikap Jokowi, pegawai KPK ricuh.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada rapat paripurna, Selasa (17/9/2019).

Rapat pengesahan UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah.

Sebelumnya, berdasarkan rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah, Senin (16/9/2019), ada tujuh poin perubahan RUU KPK yang disepakati.

Sejak awal bergulir, revisi UU KPK menuai kontroversi, pro dan kontra, hingga kritik dari berbagai kalangan.

Meski demikian, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK jalan terus meski mendapat kritik dari banyak pihak.

Apa saja yang mengiringi perjalanan revisi UU KPK hingga disetujui pemerintah dan disahkan DPR?

Berikut selengkapnya 7 poin revisi UU KPK disahkan DPR, isi yang dinilai lemahkan KPK, sikap Jokowi, hingga pegawai KPK ricuh:

Baca: Iming-iming Investasi Emas, Dokter dan Pengusaha Muda Makassar Ngaku Rugi Ratusan Juta, Kronologis

Baca: Siapa Ningsih Tinampi? Wanita Penantang Jin yang Viral di YouTube

Baca: Harga, Spesifikasi, Realme 5, Vivo Z1 Pro, Oppo A9 2020, Samsung Galaxy A50s, Xiaomi Redmi Note 8

Isi yang Dinilai Lemahkan KPK

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode M Syarif menyebut ada sejumlah isi revisi UU KPK yang dapat melemahkan penindakan di KPK.

"Jika dokumen yang kami terima via ‘hamba Allah’, (karena KPK tidak diikutkan dalam pembahasan dan belum dikirimi secara resmi oleh DPR/Pemerintah), banyak sekali norma-norma pasal yang melemahkan penindakan di KPK," kata Laode dalam keterangan tertulis, Selasa (17/9/2019).

Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif (Kompas.com)

Laode membeberkan, poin-poin tersebut antara lain dewan pengawas yang diangkat oleh presiden yang menyebabkan komisioner tak lagi menjadi pimpinan tertinggi di KPK.

Kemudian, Laode menyebut status kepegawaian KPK akan berubah drastis dengan beralih menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Lalu, penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan KPK pun harus berdasarkan izin dewan pengawas.

Menurut Laode, hal-hal di atas berpotensi mengganggu independensi KPK dalam mengusut sebuah kasus korupsi.

"Masih banyak lagi detil-detil lain yang sedang kami teliti dan semuanya jelas akan memperlemah penindakan KPK," ujarnya dikutip dari Kompas.com.

DPR RI telah mengesahkan revisi UU KPL pada rapat paripurna Selasa siang. Perjalanan revisi ini berjalan singkat.

Sebab, DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September 2019.

Dengan demikian, hanya butuh waktu sekitar 11 hari hingga akhirnya UU KPK yang baru ini disahkan.

Hanya Dihadiri 102 Anggota DPR

Hanya 102 dari 560 anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna pengesahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU  KPK), Selasa (17/9/2019) siang.

Meski begitu, DPR dan pemerintah tetap mengesahkan UU KPK undang-undang tersebut.

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan, mekanisme rapat paripurna di DPR tidak dihitung berdasar anggota DPR yang hadir secara fisik.

Melainkan dari jumlah tanda tangan di daftar hadir.

"Bahwa sistem di DPR itu yang izin yang sudah menandatangani daftar hadir itu yang dianggap hadir," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/9/2019).

Menurut Arsul, tidak masalah jika anggota DPR hanya mengikuti rapat paripurna sebentar lalu meninggalkan ruangan.

Sebab, kehadiran anggota dewan dihitung berdasar tanda tangan daftar hadir.

Dalam rapat paripurna siang tadi, anggota DPR yang menandatangani daftar hadir sebanyak 289. Artinya, jumlah tersebut dinilai sudah kuorum.

"Walaupun setelah katakanlah rapat paripurna berlangsung, beberapa saat kemudian (anggota DPR) meninggalkan ruang rapat paripurna, yang paling penting secara tanda tangan itu telah memenuhi kuorum," kata Arsul dikutip Kompas.com.

DPR telah mengesahkan revisi UU KPK. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna pada Selasa (17/9/2019).

Rapat paripurna pengesahan revisi Undang-undang KPK menjadi undang-undang berlangsung selama 30 menit.

Tak ada satupun fraksi yang menolak pengesahan revisi Undang-undang KPK.

Hanya tiga fraksi yang menginterupsi rapat. Ketiga fraksi itu ialah Fraksi PKS, Gerindra, dan Demokrat.

Namun, interupsi mereka tidak menolak pengesahan, melainkan hanya memberi catatan.

Penolakan Pegawai KPK Ricuh

Aksi protes para pegawai KPK sempat ricuh di halaman Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (17/9/2019).

Aksi tersebut menyikapi Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang disahkan DPR.

Keadaan sempat memanas ketika para pegawai KPK menyanyikan lagu Gugur Bunga sebelum menutup aksi.

Saat itu, ada teriakan dari luar kelompok pegawai KPK. Akhirnya, nyanyian terhenti.

Dalam waktu bersamaan, ada kelompok lain yang juga berunjuk rasa di depan Gedung KPK. Mereka mengaku mendukung revisi UU KPK.

Setelah teriakan tersebut, Kapolsek Setiabudi AKBP Tumpak berdebat dengan seorang peserta aksi dari KPK.

Sontak, peristiwa itu mencuri perhatian peserta aksi lain yang langsung menyoraki Kapolsek.

"Tugasmu mengayomi, tugasmu mengayomi. Pak polisi, pak polisi, jangan ganggu aksi kami," teriak pegawai KPK dikutip dari Kompas.com.

Setelah itu, Tumpak langsung meninggalkan lokasi dan situasi mereda.

Tumpak mengaku berusaha meredam suasana agar tidak terjadi bentrok dengan massa yang sedang menggelar aksi di luar Gedung KPK.

"Yang massa di sini kan harus diam, nah masa di sana (dalam gedung) KPK biar diam ya.  biar nggak bentrok. Gitu loh. Semua aman-aman saja," kata dia saat dikonfirmasi di lokasi.

Pantauan Kompas.com situasi depan gedung KPK sudah kondusif.

Sebelumnya, para pegawai KPK mengibarkan bendera kuning di depan gedung KPK.

Mereka keluar secara bersamaan. Masing-masing memegang bendera kuning, tanda duka cita.

Aksi ini sebagai bentuk kekecewaan pegawai KPK atas Revisi UU KPK yang telah disahkan DPR.

Mereka menganggap situasi KPK saat ini sedang dalam masa krisis. Mereka merasa KPK dilemahkan.

"Kedekatan emosional karena mencintai KPK inilah yang membuat suasana sendu ketika KPK dikebiri. Hanya koruptor yang akan tertawa melihat KPK lemah seperti ini.

Mereka seolah-olah menemukan kebebasan setelah 16 tahun dalam ketakutan akibat bayang-bayang OTT KPK," kata Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo dalam keterangan persnya.

"Karena entah besok KPK akan dimiliki siapa. Karena dengan revisi ini, KPK tidak seperti dulu lagi, gedung tetap ada namun nilai-nilainya tergerus," tambah dia.

Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK akhirnya disahkan dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

Sikap Jokowi

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi)
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) (Instagram Jokowi @jokowi)

Presiden Joko Widodo menegaskan, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jalan terus meski mendapat kritik dari banyak pihak.

Jokowi pun mengajak semua pihak untuk mengawasi jalannya pembahasan revisi UU KPK antara pemerintah dan DPR.

"Mengenai revisi UU KPK itu kan ada di (gedung) DPR (pembahasannya). Marilah kita awasi bersama-sama, semuanya awasi," kata Jokowi di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (16/9/2019).

Jokowi juga menegaskan bahwa substansi revisi UU KPK yang diinginkan pemerintah sampai saat ini tidak berubah dari yang sudah disampaikan sebelumnya.

Pemerintah menyetujui pembentukan Dewan Pengawas, penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas.

Wewenang KPK bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), hingga status penyidik KPK sebagai aparatur sipil negara.

Substansi yang disusulkan pemerintah itu hanya sedikit berubah dari draf RUU KPK yang diusulkan di DPR.

Misalnya, jangka waktu penghentian penyidikan yang diperpanjang dari satu tahun menjadi dua tahun.

Lalu, Jokowi juga menolak KPK harus berkoordinasi dengan kejaksaan dalam melakukan penuntutan.

Jokowi juga tidak setuju jika pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dikeluarkan dari KPK.

"Saat ini pemerintah sedang bertarung memperjuangkan substansi-substansi yang ada di revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR seperti yang sudah sampaikan beberapa waktu yang lalu," kata Jokowi.

Tuai Kritik

Salah satu kritik terhadap revisi UU KPK adalah berpotensi hilangnya KPK sebagai lembaga yang independen. 

Sebab, revisi UU KPK akan menghapuskan frasa KPK sebagai lembaga negara yang independen dan "bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun".

Meski demikian, Jokowi tetap mengklaim bahwa revisi UU KPK dilakukan untuk memperkuat lembaga antirasuah itu. Harapan itu kembali diungkap Jokowi.

"KPK tetap dalam posisi kuat dan terkuat dalam pemberantasan korupsi. Ini tugas kita bersama," tuturnya.

Sebelumnya, revisi UU KPK mendapat kritik dan penolakan dari kalangan akademisi, aktivis antikorupsi, hingga pimpinan KPK sendiri.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai klaim Presiden Joko Widodo yang ingin memperkuat KPK lewat revisi Undang-Undang hanya delusi semata.

Donal menilai, sikap Presiden Jokowi atas revisi Undang-Undang KPK sebenarnya tak berbeda jauh dari draf yang disusun DPR.

Ia menyimpulkan Presiden dan DPR sama-sama ingin merevisi UU untuk melemahkan KPK.

"Kalau DPR itu drafnya sangat melemahkan, presiden kadarnya lebih kecil dari DPR. Itu saja. Poinnya tetap bertemu untuk memperlemah," ucap Donal dikutip dari Kompas.com.

Sementara itu, tiga pimpinan KPK menyatakan menyerahkan mandat pengelolaan lembaganya ke Presiden karena merasa tidak pernah diajak bicara dalam pembahasan revisi UU KPK.

Tiga pimpinan KPK itu yakni Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Laode Syarif. Ketiganya juga beranggapan revisi UU yang dilakukan bisa melemahkan KPK.

7 Poin Revisi UU KPK

Sebelumnya, DPR dan pemerintah akhirnya menyepakati seluruh poin revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Kesepakatan tersebut diambil dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) di ruang Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2019).

"Ada beberapa hal-hal pokok yang mengemuka dan kemudian disepakati dalam rapat panja," ujar Ketua Tim Panja DPR Revisi UU KPK Totok Daryanto saat menyampaikan laporan hasil rapat.

Menurut Totok dilansir Kompas.com, ada tujuh poin perubahan yang telah disepakati dalam revisi UU KPK.

Pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.

Baca: Iming-iming Investasi Emas, Dokter dan Pengusaha Muda Makassar Ngaku Rugi Ratusan Juta, Kronologis

Baca: Siapa Ningsih Tinampi? Wanita Penantang Jin yang Viral di YouTube

Baca: Harga, Spesifikasi, Realme 5, Vivo Z1 Pro, Oppo A9 2020, Samsung Galaxy A50s, Xiaomi Redmi Note 8

Kedua, terkait pembentukan dewan pengawas.

Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.

Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK.

Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.

Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.(*)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved