Pemkot Makassar Kurang Peduli Terhadap Kesehatan dan Pendidikan Difabel?
Meski, frekuensinya tidak begitu signifikan. Namun kenyataannya, perlakukan diskrimintarif itu dilakukan oleh petugas kesehatan, baik dokter maupun
Penulis: Muslimin Emba | Editor: Ansar
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) menemukan masih adanya perlakuan diksriminatif terhadap difabel saat mengakses layanan kesehatan di Kota Makassar.
Meski, frekuensinya tidak begitu signifikan. Namun kenyataannya, perlakukan diskrimintarif itu dilakukan oleh petugas kesehatan, baik dokter maupun perawat.
Hal itu terkuak dari hasil survei yang dilakukan PerDIK dan Indonesia Corruption Wacth (ICW) di lima kecamatan Kota Makassar (Tallo, Biringkanaya, Panakukkang, Manggala dan Rappocini).
Dari 200 difabel yang dijadikan responden pada survei yang dilakukan ICW dan PerDik pada April 2018 lalu.
Sembilan diantaranya mengaku masih mendapatkan perlakuan diskriminatif dari petugas kesehatan saat mengakses layanan kesehatan.
Dua Anggota Dewan Asal PPP Ikut Daftar, Sebanyak Ini Balon Bupati yang Diterima PDIP
Hasil FP3 dan Kualifikasi MotoGP San Marino 2019, Maverick Vinales Pole Position, Marc Marquez ke-5
Diiming-imingi Uang Rp 4 Juta, Gadis ini Rela Berpose Tanpa Busana
Seperti yang diungkapkan komisioner Perdik Sulsel Kandachu, yang menjadi peserta saat ICW dan PerDIK, memaparkan hasil riset layanan publik bagi difabel di hotel Ibis, Jl Jenderal Sudirman Makassar, Sabtu (14/9/2019) siang.
Menurutnya, perlakuan diskrimintaif yang pernah ia temui saat mengakses layanan kesehatan, terjadi di front office.
"Yang penah saya alami itu di front office, kadang-kadang kita datang, mungkin karena ketidak tahuan petugas (kesehatan) tentang kebutuhan sibuta dan situli misalnya," katanya.
"Kita disambut, dengan kata 'mauko apa anu', dari segi nada saja kita dengar itu saya rasa sudah diskriminitafi," katanya.
Beberapa difabel berpendidikan sarjana atau sekolah menengah atas, memilih melaporkan perlakuan diskriminatif itu.
Namun kebanyakan, mereka (difabel) yang berpendidikan hanya tamatan sekolah dasar memilih diam arau pasif.
Perwakilan dari Dinas Kesehatan Kota Makasdar dr Ida yang turut hadir sebagai peserta pada presentase hasil survei itu.
Dia mengungkapkan, pada puskesmas di Kota Makassar, pihaknya telah melakukab pemilhan, untuk pasien disabilitas, lansia dan anak-anak. Khususnya pada front office puseksemas.
Dua Anggota Dewan Asal PPP Ikut Daftar, Sebanyak Ini Balon Bupati yang Diterima PDIP
Hasil FP3 dan Kualifikasi MotoGP San Marino 2019, Maverick Vinales Pole Position, Marc Marquez ke-5
Diiming-imingi Uang Rp 4 Juta, Gadis ini Rela Berpose Tanpa Busana
"Untuk diskriminasi yang diungkapkan, itu mungkin kelemahan individu per individu, karena tidak semua puskesmas juga seperti itu".
"Bisa jadi, pada saat itu terjadi krodet, misalnya banyak antrean dan mungkin petugas ini juga mulai kelelahan," kata Ida.
Pada segmen kepemilikan jaminan kesehatan, terdapat 151 responden atau sekitar 75 persen dari total 200 responden yang memiliki kartu JKN atau BPJS. Sementara, 48 diantaranya atau 24,1 persen mengaku belum memiliki.
Namun, hanya 85 yang paham tentang sistem rujukan JKN. Dari hasil itu, PerDIK dan ICW menyimpulkan sosialisasi informasi terkait layanan JKN bagi difabel belum menyeluruh.
Selain itu, pengadaan dan keterbukaan anggaran Pemerintah Kota Makassar bagi penyandang disabilitas masih dianggap minim.
Terbukti, dalam kurung waktu dua tahun terakhir, hanya 13 atau 6,6 persen responden yang pernah mendapatkan bantuan alat bantu.
Baik berupa tongkat, kursi roda, dan beberapa alat bantu lainnya.
Sementara, sisanya 185 orang atau atau 93,4 persen mengaku belum pernah mendapatkan bantuan alat bantu dari pemerintah. Bahkan, bantuan yang diperoleh rupanya didominasi dari swasta.
Begitu juga soal data, dari 200 responden hanya 18 orang difabel atau 9 persen yang pernah didata pemerintah Kota Makassar dan hanya 6 atau 9 persen yang pernah didata pemerintah pusat.
90 persen dari toral 200 responden juga mengaku tidak tahu tentang adanya informasi pengadaan dan alokasi anggaran dari pemerintah pusat dan daerah.
Hal ini mengakibatkan para kaum difabel tidak mengetahui cara dan prosedur mengakses pengadaan dan alokasi dana, khususnya alat bantu.
Untuk Kartu Penyandang Disabilitas (KPD), sebanyak 169 atau 84,5 persen dari 200 responden yang mengaku tidak mengetahui adanya KPD.
Meskipun, Kementrian Sosial RI telah meluncurkan KPD pada Desember 2018. Namun kenyataannya, pemberian KPD di kota Makassar belum berjalan maksimal.
Atas hasil riset atau survei itu, disimpulkan:
-Aksesibikitas layanan kesehatan di Kota Makassar bagi difabel masih belum maksimal. Walau, aksesibiltas fisik untuk menjangkau fasilitas kesehatan sudah terbilang cukup baik.
-Akses terhadap program-program pendukung kesehatan (kususnya ketersediaan alat bantu) dan JKN-PBI dinikmati menyeluruh oleh oenyandang disabikitas di Kota Makassar.
-Beberapa layanan kesehatan belum memberikan pelayanan yang baik, serta menyediakan sarana dan prasarana khusus penyandang disabilitas. Seperti, Unit Layanan Disabilitas.
-Ketersediaan dan penyebaran informasi tentang adanya program-program dan alokasi anggaran untuk penyandang disabilitas masih sangat minim.
-Lebih dari 90 persen penyandang disabilitas di Kota Makassar tidak tahu cara mengakses. Bahkan tidak tahu tentang adanya program-program dan alokasi anggaran terhadap mereka.
ICW dan PerDIK pun merekomendasikan ke Pemkot Makassar untuk:
-Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan (Puskesmas) agar dapat melayani difabel dengan beragam kemampuan.
-Difabel perlu mendapatkan jaminan sosial atau kesehatan
-Pemerintah menyiapkan rencana aksi daerah Dinas Kesehatan untuk membenahi kualitas pelayanan akses baik fisik maupun non fisik.
-Dinas Kesehatan mengembangkan sistem informasi akses bagi difabel. Termasuk, digunakan sebagai praktik transparansi perencanaan dan oengelolaan anggaran Dinas Kesehatan Kota Makassar.
Selain sektor kesehatan, Ketua PerDIK Sulsel Dr Ishak Salim juga menganggap akses pendidikan bagi difabel di Kota Makassar masih sangat minim.
"Terbukti kata Ishak Salim, dengan masih banyaknya sekolah di Makassar yang tidak menerima peserta didik difabel. Kesulitan mengajar kalau ada anak didik difabel karena memang sekolah tidak siap, walauoun sekolah itu sudah ditunjuk inklusi," ujar Ishak.
Kondisi itu lanjut Ishak, berdampak pada kurangnya difabel yang terserap untuk mengakses lapangan pekerjaan yang juga berpengaruh pada meningkatnya tingkat pengangguran.
Ia pun berharap agar Pemkot Makassar dapat menindaklanjuti rekomendasi dari hasil riset itu, agar kepedulian dan kesetaraan terhadap penyandang disabilitas dapat dirasakan menyeluruh para difabel.
Selain di Kota Makassar, survei yang sama juga digelar di beberapa dserah di Indonesia. Seperti, Bandung, Surakarta, Solo dan Kupang.(tribun-timur.com).
Laporan wartawan tribun-timur.com, Muslimin Emba.
Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur
Follow akun instagram Tribun Timur: