Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Deradikalisasi Memandulkan Daya Kritis

Deradikalisasi terus diopinikan. Tak terkecuali ke dunia pendidikan terlebih dunia kampus.

Editor: syakin
zoom-inlihat foto Deradikalisasi Memandulkan Daya Kritis
tribun timur
Dosen STT Baramuli Pinrang, Alumni Pendidikan Doktor Teknik Sipil Unhas

Oleh: Suryani Izzabitah
(Dosen dan Pemerhati Generasi)

NARASI radikalisme kembali mencuat di saat fenomena hijrah menghampiri umat. Gelombang kesadaran umat akan kehidupan yang ideal sudah tak terbendung lagi. Namun di saat yang sama, ada tren di ranah global yang berubah. Setelah Amerika Serikat dipimpin oleh Donald Trump, slogan “Global War on Terrorism” menjadi Global War on radicalism”.

Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono juga pernah menyampaikan kepada generasi muda soal bahaya intoleransi dan radikalisme. Keduanya dianggap merupakan jalan menuju terbentuknya terorisme.

Hal ini dikatakan Gatot saat menyampaikan kuliah umum bertema 'Peran Mahasiswa dalam Merawat Kebinekaan' di Kampus A Universitas Trisakti, Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta Barat. Gatot menilai bahwa mahasiswa rentan terpapar paham ini karena mahasiswa masih mencari jati dirinya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Namun sayangnya, penggunaan istilah radikalisme pada faktanya bermakna ganda.

Radikalisme seolah-olah hanya disematkan pada berbagai kegiatan atau isu yang bernuansa Islam, tidak kepada yang lain (di luar Islam). Hal inilah yang kemudian memunculkan istilah tandingan yang hampir senada, yakni kata deradikalisasi.

Dari pengertian di atas dapat ditarik benang merahnya bahwa radikalisme tidak sejalan dengan Islam. Bahkan Islam menolak radikalisme. Islam memang radikal, dari bahasa Latin radix yang berarti ‘akar; karena Islam terdiri atas akidah (yang sangat mendasar) dan syariah (sebagai implementasi dari akidah).

Pun dalam KBBI, radikal memiliki arti mendasar (sampai pada hal yang prinsip): maju dalam berpikir dan bertindak. Sama halnya ketika Islam mengakui manusia sebagai makhluk sosial, tetapi Islam menolak sosialisme.

Islam mengakui bahwa berbisnis butuh kapital (modal), tetapi Islam menolak kapitalisme. Tambahan kata isme itulah yang membuat arti sebuah kata berubah secara fundamental.

Fakta yang masih berlangsung hingga tulisan ini dibuat adalah kerusuhan yang terjadi di Papua. Pengrusakan aset negara, pembakaran bendera Merah Putih, dan yang terkini adalah pengibaran bendera Bintang Kejora di depan Istana Merdeka.

Apa yang dilakukan pemerintah atas semua tindakan? Tidak ada sikap tegas dari aparat keamanan. Pemerintah hanya sibuk dengan urusan yang lebih ‘seksi’ yakni narasi pindah Ibu Kota Negara serta urusan-urusan lain yang seolah-olah lebih urgen daripada isu kerusuhan yang sudah sangat kompleks tersebut.

Sungguh sikap yang sangat jauh berbeda. Jadi pertanyaannya sekarang, siapa sebenarnya yang terpapar radikalisme?

Memandulkan

Selanjutnya narasi deradikalisasi diopinikan untuk membendung paham radikal tersebut. Deradikalisasi menurut KBBI adalah praktik mendorong penganut ideologi agama atau politik yang radikal untuk mengadopsi pandangan yang lebih moderat.

Adapun fungsi deradikalisasi secara utuh adalah untuk menetralisir paham-paham garis keras atau radikal melalui pendekatan yang bersifat interdisipliner. Pendekatan itu berupa hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau terekspose paham radikal dan/atau prokekerasan.

Program deradikalisasi memiliki multi tujuan bagi penanggulangan masalah terorisme secara keseluruhan, seperti di antaranya adalah mencegah proses radikalisme dan mencegah provokasi, penyebaran kebencian, permusuhan antar umat beragama (wikipedia.com).

Deradikalisasi terus diopinikan. Tak terkecuali ke dunia pendidikan terlebih dunia kampus. Melalui jalur formal, dirancang kegiatan-kegiatan di kampus dengan agenda deradikalisasi. Output dari kegiatan tersebut dicurigai agar mahasiwa maupun dosen jauh dari Islam yang hakiki.

Umat dijauhkan dari simbol-simbol Islam, hingga framing negatif terus mereka lakukan dengan massif hingga Islamophobia menjangkiti umat. Masih jelas dalam ingatan tentang pemberhentian jabatan struktural Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Prof Suteki, SHMHum pada 28 November 2018.

Dosen yang mengajar mata kuliah Pancasila dan Filsafat Pancasila selama 25 tahun itu diduga anti Pancasila dan NKRI karena berseberangan dengan pemerintah. Ruang diskusi pun seakan ditutup untuk hal-hal yang berbau Islam politik, bahkan model berdiskusi secara melingkar pun dicurigai sebagai bibit-bibit radikalisme.

Dengan berbagai instrumen yang dibuat pemerintah, membuat daya kritis masyarakat terlebih para intelektual otomatis dimandulkan dengan alasan takut dicap ‘radikal’

Jika kita ingin pure menilai bahwa narasi deradikalisasi ini hanya untuk membendung kesadaran umat akan rusaknya sistem saat ini.
Ketakutan akan kebangkitan Islam kaffah begitu terlihat hingga melakukan cara-cara yang zalim dan keji. Oleh karenanya, kita harus cerdas membaca konspirasi global yang terus diopinikan negara Kapitalis kepada negeri-negeri jajahannya, sehingga bisa bersikap bijak dalam setiap narasi jahat yang mereka hembuskan.

Hanya dengan sistem Islam dalam intitusi negara semua ini akan berakhir, karena kekuatan sistem hanya bisa dilawan dengan sistem. Dalam QS. Ali Imran: 54, Allah Swt. berfirman: “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”.

Wallahua’lam bishshowab.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Angngapami?

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved